Fenomena Taylor Swift dan Budaya Patriarki

Hayven Arianne Mastoyo
Mahasiswi dari Universitas Bina Nusantara
Konten dari Pengguna
11 Januari 2023 14:35 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hayven Arianne Mastoyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi - Live Concert Audience People Crowd | Foto: Pixabay | Sumber: https://pixabay.com/photos/concert-live-audience-people-crowd-3387324/
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi - Live Concert Audience People Crowd | Foto: Pixabay | Sumber: https://pixabay.com/photos/concert-live-audience-people-crowd-3387324/
ADVERTISEMENT
Taylor Swift merupakan fenomena langka karena menjadi seorang penyanyi sukses yang berhasil sepenuhnya menyeberang dari genre country ke genre mainstream. Mengikuti jejak Dolly Parton dan Willie Nelson, legenda ikon budaya pop yang bertahan lama berdasarkan karya mereka tahun 1970-an, Swift mampu melepaskan akar country-nya seperti kulit kedua.
ADVERTISEMENT
Selama bertahun-tahun, Swift menghasilkan banyak lagu menjaring dari genre Pop, Indie-Folk, R&B/Soul, dan banyak genre lainnya. Pada Oktober 2006, Taylor merilis album debutnya yang berjudul Taylor Swift. Sejak itu, ia menghasilkan sepuluh album studio, dua album re-record, dua extended play, serta banyak single dan soundtrack film. Taylor meraih banyak prestasi seperti menjadi artis dengan penghargaan terbanyak di American Music Awards (AMA) dan mengadakan Reputation Stadium Tour yang merupakan tur terlaris dalam sejarah AS. Taylor juga telah menerima Grammy Awards terbanyak untuk Album of the Year dan memenangkan penghargaan Artist of the Decade.
Taylor Swift sudah bukan nama asing lagi dalam dunia musik, tetapi meskipun menjadi penyanyi terkenal, banyak orang masih mendiskreditkan bakat dan pekerjaannya. Media menggambarkan Taylor sebagai sosok yang sering berganti pasangan romantis dan selalu menulis lagu tentang pasangan-pasangannya. Oleh karena itu, masyarakat dikenal selalu mengejek Taylor Swift setiap kali ia memiliki pacar baru.
ADVERTISEMENT
Meskipun banyak selebriti lain yang memiliki romansa gagal dan yang baru berkembang, dengan Taylor narasinya selalu berbeda. Media melihat seorang gadis muda berbakat yang sukses di usia 16 tahun, dan mereka tidak menyukainya. Jadi, melainkan merayakan kesuksesannya, media dan masyarakat mengkritik Taylor untuk setiap hubungan baru yang dimilikinya.
Taylor menyatakan bagaimana masyarakat dan media secara tidak adil membahas laki-laki dan perempuan dalam narasi yang berbeda. Jika seorang pria memiliki banyak pasangan romantis, itu adalah sebuah penaklukan, tetapi bagi seorang wanita, itu adalah sebuah kemaluan. Taylor, seperti banyak perempuan, mengetahui bahwa laki-laki mendapatkan banyak kilau dan izin dari masyarakat untuk menjalani hidup sesuka mereka. Karena Taylor adalah perempuan, tidak peduli apa yang dilakukannya karena media dan publik akan selalu menemukan cara untuk menggambarkan dirinya dalam pencahayaan negatif
ADVERTISEMENT
Dalam upayanya untuk melawan budaya patriarki, Taylor Swift mengeluarkan lagu yang berjudul “The Man”. Dalam lagu ini, Taylor menyoroti standar ganda seksis yang dianut masyarakat bagi pria dan wanita, dengan cara membandingkan dirinya dengan sosok Leonardo DiCaprio dan Ed Sheeran. Secara total, Taylor Swift memiliki 9 mantan pacar, dan untuk itu ia dikritik dan dipermalukan oleh masyarakat luas.
Di sisi lain, Leonardo Dicaprio yang memiliki 24 mantan malah dihormati, dipuji, dan dihargai oleh media. Terlebih lagi, Ed Sheeran yang juga menulis lagu putus cinta diabaikan, sementara Taylor dibenci dan dicap sebagai mantan gila. Melalui lagu The Man, Taylor menunjukkan bagaimana perempuan sering dinilai atas dasar semua atau tidak sama sekali.
ADVERTISEMENT
Taylor juga membahas kritik yang telah dilontarkan padanya dan perempuan lain tentang kehidupan cinta, pilihan karier, dan perilaku mereka, dan dia membingkai ulang kritikan tersebut dengan mempertanyakan apa yang akan terjadi jika dia seorang laki-laki. Dia bahkan menyinggung kekerasan seksual, di mana perempuan sering dibungkam atau disambut dengan ketidakpercayaan oleh masyarakat untuk melindungi pelaku. Lagu ini tidak hanya mengungkapkan ketidaksetaraan dan pengawasan yang Taylor hadapi karena jenis kelaminnya, tetapi juga permasalahan-permasalahan yang dapat dirasakan oleh mayoritas perempuan.
Dalam film dokumenter Netflix, Miss Americana (2020), Taylor berbicara mengenai pengalamannya hidup di bawah pengawasan media patriarki yang benar-benar mencekik dan tanpa henti selama 14 tahun karirnya. Sepanjang karirnya, ada banyak konten media yang mengejek Taylor, seperti headline berita yang berbunyi, “Taylor Swift tidak seperti selebritas lainnya. Dia lebih buruk”, seorang presenter televisi berkata “Dia mengencani pria secepat kereta api”, dan komedian yang menyatakan “Dia terlalu kurus. Itu sangat mengganggu kan”.
ADVERTISEMENT
Namun, proyeksi dan narasi yang dilontarkan media pada Taylor menanamkan kesadaran bahwa mustahil baginya untuk mengikuti standar masyarakat. Sejak itu, Taylor Swift mulai angkat bicara dalam wawancara, penampilan publik, dan bahkan karya ciptaannya bahwa perempuan perlu bekerja lebih keras daripada pria di industri hiburan.
Selain harus menderita dengan pengawasan media, ada label seksis di mana perempuan harus selalu mengubah diri mereka agar tetap menarik di mata masyarakat. Pada saat seorang bintang perempuan berusia 30 tahun, dia mencapai titik di mana dia menjadi tua dan melelahkan. Taylor mencatat hal ini, dengan mengatakan, "Artis perempuan yang saya tahu telah mengubah diri mereka sendiri 20 kali lebih banyak daripada artis laki-laki. Mereka harus berubah, atau mereka keluar dari industri". Oleh karena itu, Swift telah beralih dari country ke pop hingga genre alternatif yang menunjukkan bagaimana artis perempuan harus terus-menerus merubah dirinya untuk tetap relevan.
ADVERTISEMENT
Seluruh karier Taylor Swift dinodai oleh seksisme, misogini, dan patriarki. Seksisme sistemik dan misogini yang dihadapi Swift sering membayangi banyaknya penghargaan dan prestasi yang diraih. Dari kritik yang terus-menerus di media hingga berjuang untuk menggunakan suaranya untuk berbicara tentang patriarki, Taylor telah mengalami misogini sistemik sejak awal karirnya di industri musik.
Media lebih sering menggambarkan Taylor Swift sebagai mantan pacar yang gila daripada ikon feminis yang berbakat, ambisius, dan cerdas. Taylor Swift adalah korban dari budaya patriarki yang ada dalam masyarakat di mana perempuan kurang dihargai dan terus-menerus dipermalukan karena hal yang sama dilakukan pria.
Penulis: Hayven Arianne Mastoyo