Konten dari Pengguna

Polemik Jelang Pengesahan RUU Kesehatan Omnibus Law

dr Haznim Fadhli SpS
Ketua IDI Cabang Jakarta Pusat, 2019-2022, 2022-2025 Bidang Organisasi PB IDI, 2022-2025 Bidang Pengabdian Masyarakat IDI Wilayah DKI Jakarta, 2022-2025 ILUNI SMAN 8 - FKUI Forum Peduli Dokter Ketahanan Kesehatan Bangsa - Somasi Menkes Sp.Saraf
24 Juni 2023 9:51 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari dr Haznim Fadhli SpS tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dokter. Foto: Andrei_R/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dokter. Foto: Andrei_R/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Jika tak ada aral melintang, RUU Kesehatan yang sedang dibahas di DPR RI bersama pemerintah—cq. Kemenkes RI—mendekati tahap akhir. Setelah selesai dibahas dalam pembahasan Tk I, akan memasuki pembahasan Tk II. Dengan disetujuinya untuk dibawakan ke Sidang Paripurna DPR RI, bisa dipastikan RUU Kesehatan Omnibus Law yang baru akan disahkan.
ADVERTISEMENT
Berharap akan proses penyusunan perundang-undangan yang baik yang baik, pembentukan RUU Kesehatan OBL mengalami berbagai kendala dan tantangan. Meniru UU Cipta Kerja yang telah lebih dahulu terbit, RUU Kesehatan ini memiliki persoalan hukum dan kebijakan, antara lain sebagai berikut.

1. Proses Pembahasan Tidak Dilakukan Secara Transparan dan Terbuka untuk Publik

Saat dibahas dalam pembahasan DPR RI melalui panja komisi IX dan pemerintah cq. Kemenkes RI. Kegagalan ini menunjukkan kemunduran dalam proses partisipasi publik yang bermakna secara demokratis. Semakin lanjut tingkat pembahasan, malah menutup ruang bagi partisipasi publik.
Keadaan ini membuat publik menganggap bahwa rangkaian dengar pendapat yang digelar secara terbuka hanya lip service semata, karena tahapan selanjutnya tidak lagi diketahui publik. Para wakil rakyat memiliki kesempatan untuk melakukan hal ini, namun kenyataannya hingga akhir pembahasan RUU Kesehatan di Panja Komisi IX, tidak dilakukan.
ADVERTISEMENT

2. Dihapusnya Mandatory Spending APBN dan APBD untuk Kesehatan

Dengan akan terbitnya RUU Kesehatan yang akan disahkan, mandatory spending anggaran minimal untuk kesehatan dalam APBN sebesar 5 persen dan APBD sebesar 10 persen, akhirnya tidak dicantumkan lagi.
Hal ini akan sangat berdampak pada komitmen realisasi anggaran yang tidak lagi mematok besaran anggaran kesehatan, dan berpotensi tidak dijalaninya komitmen bagi pemerintah untuk belanja negara dalam bidang Kesehatan, karena tidak lagi diatur dalam Undang-Undang.
Hal ini akan sangat dirasakan oleh para pembuat kebijakan termasuk di Kementerian Kesehatan dan pemerintah daerah, dalam hal ini dinas kesehatan provinsi, kabupaten/kota dalam mengejar target dalam pencapaian indikator program bidang kesehatan.

3. Sentralisasi Pengawasan Tenaga Kesehatan oleh Pemerintah

Dengan dihapuskannya rekomendasi praktik dari organisasi profesi dokter (IDI, PDGI) dan tenaga kesehatan lainnnya, tanggung jawab disiplin, etik dan hukum atas pengawasan terhadap siapa saja praktisi kesehatan yang melakukan pelanggaran di tengah masyarakat menjadi tanggung jawab pemerintah dengan menskrining profil dokter/nakes bermasalah saat proses perizinan praktik dengan sistem digital.
ADVERTISEMENT
Entah bagaimana caranya melakukan verifikasi secara digital, namun yang pasti proses tersebut berbeda dengan sistem pengawasan organisasi profesi yang selama ini dipantau melalui penerbitan rekomendasi, yang sudah dilakukan dari pusat hingga tingkat kabupaten kota.
Kelak, sebanyak satu juta lebih tenaga Kesehatan harus diawasi oleh pemerintah, sesuatu yang perlu pembuktian tingkat efektivitasnya. Kita pernah disibukkan dengan data sistem digital kemenkes melalui peduli lindungi pernah bocor, dan ditambah lagi pekerjaan baru mengaktifkan sistem rekam medik elektronik yang sedang digalakkan di seluruh fasilitas kesehatan di Indonesia secara terintegrasi juga akan membutuhkan infrastruktur yang kompleks.

4. Sinkorinisasi UU Kesehatan dengan Regulasi Peraturan Lainnya di Indonesia

Tercatat kelompok masyarakat sipil seperti YLBHI, ICMI, KNPI, dll selain Organisasi Profesi seperti IDI, PDGI, PPNI IBI, IAI dkk, dan juga para akademisi bidang kesehatan dan hukum, telah menyuarakan terhadap pentingnya kehati-hatian dan kecermatan dalam penyusunan RUU Kesehatan ini, dengan tidak tergesa-gesanya pembahasan RUU Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Namun soal penundaan pengesahan tersebut tidak ditanggapi oleh mayoritas wakil rakyat/DPR dan pemerintah yang secara tertutup terus melanjutkan pembahasan RUU Kesehatan. Melihat banyaknya penolakan dalam ketergesaan pengesahan RUU Kesehatan yang masih ada, sedikit banyaknya akan berdampak pada pelaksanaan RUU Kesehatan yang nanti akan disahkan.
UU yang bersifat regulasi pokok, sangat segera membutuhkan petunjuk operasional regulasi di bawahnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan/Peraturan Presiden, dan seterusnya.
Bila pengesahan UU Kesehatan dilakukan secara terburu-buru, maka akan menyisakan pekerjaan rumah berupa sinkronisasi dengan peraturan lainnya yang sudah berkekuatan tetap, yang bisa jadi tercecer saat dalam penyusunan, di mana aspek kesehatan tidak lepas dari kebijakan dan peraturan lainnya, termasuk bidang pertahanan, informatika, sosial, ekonomi dan pendidikan.
ADVERTISEMENT
Aspek penting yang berpotensi masalah di kemudian hari adalah terkait ketahanan nasional seperti penyimpanan penggunaan informasi data genomik dan data kesehatan pribadi, aspek pemberantasan KKN seperti pengendalian gratifikasi dalam bidang pelayanan kesehatan, transplantasi organ, aborsi, transfer materi genetik, dll.
Perdebatan yang akan menjadi penting, bagaimana pemberlakuan UU yang disahkan tersebut terhadap peraturan turunan dari 9 UU yang akan dihapuskan. Jika tidak segera diselesaikan, akan menyebabkan ketidakpastian hukum.

5. Komitmen dan Partisipasi Publik dalam Pelaksanaan Undang-Undang

Dengan meruncingya perbedaan aspirasi yang masih belum ditampung dalam RUU Kesehatan Omnibus Law—terutama dari pegiat lima organisasi profesi kesehatan dengan anggota terbanyak, dan kelompok masyarakat sipil—akan menyebabkan sulit tercapainya secara kolaboratif upaya untuk mendorong pelaksanaan transformasi kesehatan.
Bila sekiranya pemerintah dan DPR berupaya mengambil jalan tengah untuk menampung dan mengakomodasi kepentingan yang belum termaktub, untuk mewujudkan tujuan yang sangat diharapkan, memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, setiap pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, tak terkecuali bidang kesehatan, merupakan kebijakan yang strategis, dan di era pasca pandemi Covid-19, bangsa ini diuji ke depan termasuk aspek biosecurity, yang merupakan bagian strategis dalam ketahanan nasional.
Mampukah RUU Kesehatan yang akan disahkan ini menjawab semua tantangan tersebut, dengan pengesahan RUU Kesehatan secara prematur? Semoga. Harapan itu masih ada.