Konten dari Pengguna

Digital Native Hidup Mencari Informasi Lewat Media Sosial

Diego
Dosen Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Andalas
11 Agustus 2024 9:02 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Diego tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Kehidupan Generasi yang Lahir di Era Digital dalam Mencari Informasi di Media Sosial

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Digital Native merupakan sebutan bagi generasi yang lahir di era digital, dan sejak kecilnya terpapar dengan informasi digital secara terus menerus.Teknologi informasi dunia telah banyak berkembang pada era globalisasi sekarang. Perkembangannya ini berperan besar dan penting untuk kehidupan dan peradaban dunia manusia layaknya seperti sekarang ini. Sedari awal, informasi yang dapat diakses menjadi kunci bagaimana peradaban juga tumbuh. Teknologi dan informasi merupakan dua poin yang tak dapat dipisahkan. Bersama kemajuan teknologi yang sangat pesat semua akses informasi termudahkan.
ADVERTISEMENT
Informasi dapat dengan singkat menyebar secara cepat dan masif. Ini semua memengaruhi perubahan perilaku dan opini masyakarat dalam berkehidupan juga. Masyarakat semakin mudah terkoneksi kepada masyarakat dibelahan dunia lain untuk berinteraksi ataupun mencari informasi.
Lambat laun, tanpa kita sadar sebagai digital native akan terjerumus ke dalam suatu pola interaksi, gaya dan budaya yang baru. Semua perubahan yang terjadi akan memengaruhi keseluruhan hidup individu di dalam tatanan struktur masyarakat yang awalnya telah memiliki sistemnya sendiri. Manusia memang dinamis, hingga perangkat digital masuk membawa zaman baru menjadikan masyarakatnya pun masyarakat digital (digital native).
Sumber: Pexels.com (Digital Native)
Digital Native merupakan istilah yang merujuk kepada masyarakat sebagai pengguna media ataupun perangkat digital apapun dengan lihai. Sangat sering digital native diasosiasikan dengan Generasi Z. Bagaimana tidak generasi yang lahir dengan rentang waktu tahun 1995-2010 ini tumbuh tak hanya bersama orangtua tapi juga dengan teknologi.
ADVERTISEMENT
Teknologi digital bagai sahabat karib dari generasi Z. Tak heran generasi ini cukup aktif dan adaptif sebagai gawai serta internet. Secara naluriah pun, mereka tidak memerlukan buku manual atau video tutorial yang kompleks untuk menguasai teknologi. Bukan berarti hanya generasi Z yang hanya dikategorikan sebagai digital natve. Hanya saja karena tumbuh besar dengan teknologi generasi Z satu langkah di depan generasi lain dalam menguasai benda asing bagi generasi yang telah uzur. Semua masyarakat yang menggunakan dan bergantung kepada informasi melalui internet dan teknologi dapat disebut dengan digital native.
Berdasar kepada informasi yang didapat dari We Are Social, dari populasi manusia dunia orang yang menggunakan internet menginjak angka lebih dari 66 persen pada awal Januari tahun 2024. Data ini menunjukkan bahwasanya seluruh dunia sudah dapat terhubung. Mulai mengetahui apa yang terjadi, kebiasaan, budaya bahkan berkomunikasi ujung ke ujung ke dunia. Semua ini dapat dilakukan asal terdapat gawai dan internet.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, apakah ini selalu membawa peruntungan? Jawabannya belum tentu.
Di satu sisi, kecakapan dan kepandaian dari digital native dalam memanfaatkan teknologi bisa membawa dampak positif ke kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam mendapatkan informasi. Semua terbantu dengan internet. Tinggal ketik apa yang ingin kita ketahui sebagai kata kunci dan klik enter untuk mencari. Mesin pencari informasi akan berfungsi. Banyak link (pranala) yang akan mengarahkan kita menuju informasi yang dekat tentang kata kunci kita cari.
Tak hanya itu, dalam tujuan hiburan untuk menonton film maupun musik sekarang tidak perlu menunggu di tayang di televisi maupun radio. Dengan berbagai wadah platform yang tersedia, tinggal unduh dan langganan kita sudah bisa mencari tontonan untuk mengisi waktu luang. Begitupun dengan mendengarkan musik. Kelemahannya hanya pada terlalu banyak platform yang tidak semua film dimiliki dan tayang di sana. Walaupun begitu, aplikasi musik lebih luas dan tidak terbatas hak tayang di platform.
ADVERTISEMENT
Podcast (Siniar) juga menjadi budaya baru untuk meninggalkan radio secara perlahan. Siniar bisa didengarkan kapan dan di mana saja. Radio mungkin bisa di mana saja asalkan sesuai dengan frekuensi dari radio tersebut. Hanya saja radio tidak bisa kembali diulang. Apapun yang disampaikan akan terlewatkan apabila kita tidak menyimaknya.
Selain, itu kita bisa membaca buku dan membeli barang secara daring. Sensasinya mungkin akan jauh berbeda. Saat membaca buku bau dari kertas, jari yang mengganti halaman ke lembar berikutnya tidak bisa didapatkan ketika kita membaca buku elektronik/e-book. Tapi dengan di gawai kita bisa meggunanakan fitur search untuk langsung ke tepat kata yang kita inginkan.
Rasanya mendengarnya saja apalagi dalam praktiknya semua tugas manusia dalam sangat dipermudah. Maka dari itu, penggunaan teknologi digital dan internet telah mentransformasi masyarakat menjadi masyrakat yang lingkungan sudah dekat dengan digital. Bahkan, bisa dikatakan bergantung kepada dunia digital dan internet.
ADVERTISEMENT
Di jagad maya, banyak kegiatan dan tugas yang biasa kita lakukan mampu secara praktis dan selesai seketika. Semua kegiatan tersebut sangat mudah diakses dan tidak terbatas dengan ruang maupun waktu. Dalam buku McLuhan bertajuk "The Global Village: Transformations in World Life and Media in the 21st Century (Communication and Society)" bersama Bruce Powers menyatakan sebenarnya kemajuan teknologi digital yang ada di hidup kita sekarang di abad 21 ini digambarkan sebagai satu desa dalam bumi, yang kerap ia gunakan istilahnya sebagai global village (desa global).
Seperti yang sudah dituliskan sebelumnya, kita menjadi terhubung antar manusia tanpa memandang negara, ras dan lainnya (menembus ruang) dan tak ada ketentuan untuk masa tertentu agar kita saling terkoneksi (melewati waktu). Lantas, bagaimana negatifnya dari teknologi digital dan internet?
ADVERTISEMENT
Sisi lain yang dapat dilihat dengan kemajuan dan kemudahan yang dihasilkan oleh teknologi digital ialah budaya baru yang kalau ditelaah jauh berubah dari sebelumnya. Dulu sumber utama dalam mendapatkan informasi adalah tokoh yang memiliki jabatan dan terpandang serta media konvensional seperti koran /surat kabar dan majalah. Kemudian, awal 2010an saat medsos masih berkembang dan fokus hanya menempatkan unggahan pribadi, kini portal berita juga ikutan lari ke medsos.
Melansir dari databooks, selama tiga tahun terakhir masyarakat Indonesia cenderung mencari informasi di Media Sosial. Menginjak angka 72,6 persen responden di tahun 2022 yang diolah dari survei dengan judul Status Literasi Digital di Indonesia 2022 produksi kolaborasi antara Kementrian Komunikasi dan Informastika bersama Katadata Insight Center (KIC).
ADVERTISEMENT
Fenomena portal berita yang ikut aktif ke media sosial adalah bentuk cara industri pemberitaan supaya bisa bertahan digempuran penggunaan internet dan media sosial yang marak. Masifnya penggunaan ini membuat budaya masyarakat mencari informasi tak lagi lewat portal berita sebagai sumber utama dan terpercaya. Justru media sosial menjadi acuan utama masyarakat digital ini.
Posisi kedua, diduduki oleh televisi dan disusul oleh portal berita daring. Sebenarnya hal ini cukup mengkhawatirkan. Bukan mengapa, literasi media oleh masyarakat Indoensia secara umum saja sudah cukup rendah.
Hal ini bisa dibuktikan dengan isu hoax dan kekeliruan dalam membaca data hingga menyebarluaskan informasi di media sosial. Misalnya, pada April 2024 ini, ada akun TikTok yang menyebar informasi bahwa untuk segera uang anda yang masih tersimpan di Bank Rakyat Indonesia. Narasi yang dibangun oleh akun widia_pengamatpolitik seolah-olah seluruh nasabah BRI akan kehilangan uangnya karena saldo mereka akan dialokasikan untuk bansos dan bantuan pemerintah lain yang merujuk Pemilu 2024. Perihal ini sudah direspon pihak BRI dan informasi dari video tersebut tak benar dan tidak berdasar.
ADVERTISEMENT
Informasi lain seperti salah membaca data survei kesehatan bagi pria yang merokok 95% dan 5% adalah pria yang tidak merokok. Padahal maksud 5% di sini ialah perempuan. Artinya di Indonesia yang menjadi responden dari berbagai latar belakang pada survei tersebut ditemukan lebih banyak pria yang menjadi perokok aktif dibandingkan perempuan.
Informasi yang bisa berujung misleading atau misinformasi seperti ini umumnya didapatkan dari media alternatif yang telah mengolah informasi utama (surveinya langsung) dan parahnya lagi hanya mengolah dari berita terkait. Tanpa ada verifikasi data yang seperti jurnalis pada umumnya, media alternatif yakin langsung unggah dan sebarluaskan di media sosial.
Bagai pisau bermata dua, teknologi informasi digital sangat berguna bagi Manusia. Tetapi fenomena seperti hoax dan misinformasi menjadi tugas besar bagi kita bersama untuk menghadapinya. Perlu dilawan dengan meningkatkan kemampuan berpikir kritis maupun literasi media. Penting untuk memiliki kemampuan tersebut agar kita bisa lebih bijak bermedia dan hati-hati bersuara di dunia maya.
ADVERTISEMENT