Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Privilage Badan Usaha yang Dimiliki Ormas Keagamaan
5 Agustus 2024 12:43 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Heistiria Fertiwi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh : Heistiria Fertiwi
Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat luas untuk dapat dikelola dan dimanfaatkan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat (3), sebagai negara yang dianugrahi sumber daya alam berlimpah Indonesia memiliki ketergantungan tinggi terhadap pemanfaatan bahan galian pertambangan untuk modal pembangunan (Adrian Sutedi, 2011:103). Hal tersebut menjadi dasar yang signifikan dalam mendorong perekonomian dan pendapatan devisa negara, terutama dalam bidang produsen dan eksportir terbesar dunia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) merupakan landasan hukum utama yang mengatur kegiatan pertambangan di Indonesia. UU Minerba menetapkan prinsip-prinsip dasar pengelolaan sumber daya mineral dan batubara, termasuk mengenai Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Salah satu kebijakan terbaru yang dikeluarkan pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, peraturan terbaru yang mengatur praktik penawaran izin usaha pertambangan khusus di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Penerapan PP Nomor 25 Tahun 2024 memunculkan perdebatan hukum yang kompleks terkait dengan kepatuhan terhadap UU Minerba. Perdebatan hukum tersebut muncul dikarenakan PP Nomor 25 Tahun 2024 melanggar prinsip-prinsip yang tercantum dalam UU Minerba, terutama terkait dengan prioritas pemberian IUPK. Penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) pada PP Nomor 25 Tahun 2024 dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat diberikan secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS) Keagamaan dan WIUPK tersebut merupakan wilayah eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Sebelumnya UU Minerba telah mengatur bahwa IUPK dapat diberikan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, baik berupa Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), maupun Badan Usaha Swasta. Selanjutnya dijelaskan bahwa baik BUMN dan BUMD mendapatkan prioritas dalam mendapatkan IUPK, selain itu Badan Usaha Swasta untuk mendapatkan IUPK dilakukan dengan cara lelang WIUPK. PP Nomor 25 Tahun 2024 sebagai tatanan aturan lanjutan dan panduan terperinci dari UU Minerba terkait pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara telah menimbulkan perbedaan ketentuan mengenai IUPK prioritas sehingga adanya kekaburan norma.
ADVERTISEMENT
Secara yuridis, badan usaha dibedakan menjadi badan usaha yang termasuk badan hukum dan badan usaha yang bukan badan hukum. Badan usaha dalam UU Minerba dan PP Nomor 25 Tahun 2024 yang dikatakan badan usaha, setiap badan hukum yang bergerak di bidang pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Diantara badan usaha Perseroan Terbatas (PT), Yayasan, Persekutuan Perdata (maatschap), Firma, Persektuan Komanditer (CV), dan Koperasi, badan usaha yang termasuk badan hukum adalah Perseroan Terbatas (PT), Yayasan, dan Koperasi. Sedangkan badan usaha yang bukan badan hukum adalah Persekutuan Perdata (maatschap), Firma, dan Persektuan Komanditer (CV). Sehingga dapat diartikan bahwa Badan Usaha milik Organisasi Masyarakat Keagamaan sebagaimana diatur dalam PP Nomor 25 Tahun 2024 seharusnya badan usaha yang berbadan hukum. Namun yang menjadi pokok permasalahan bahwa UU Minerba mengatur IUPK prioritas hanya untuk BUMN dan BUMD, untuk badan usaha diluar itu disebut Badan Usaha Swasta yang dalam memperoleh WIUPK harus melewati proses lelang.
ADVERTISEMENT
Badan Usaha yang dimiliki organisasi masyarakat keagamaan yang kepemilikan sahamnya harus mayoritas dan menjadi pengendali. Menurut Subardi, Organisai Masyarakat dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) bukanlah lembaga bisnis yang memiliki kapabilitas dalam hal pertambangan, sehingga ketika prioritas IUPK yang diberikan kepada badan usaha yang dimilikinya akan menimbulkan diskriminasi. Mekanisme penawaran secara prioritas terhadap Badan Usaha organisasi keagamaan yang bukan bagian BUMN dan BUMD tidaklah bisa dilakukan melainkan harus dengan mekanisme lelang sebagaimana Badan Usaha Swasta lainnya. Dalam UU Minerba disebutkan bahwa pengembalian wilayah eks PKP2B diprioritaskan untuk diberikan kepada BUMN dan BUMD. Jika BUMN dan BUMD tidak berminat, baru dilelang ke swasta. Badan usaha yang dimiliki ormas keagamaan termasuk bagian dari swasta yang harus memenuhi semua persyaratan sehingga seharusnya tidak bisa diberikan privilege penawaran secara prioritas mendapatkan WIUPK dibandingkan badan usaha swasta lainnya. Dalam proses lelang pun terdapat hak negara berupa penerimaan negara bukan pajak (PNBP), yang jika dilakukan penawaran secara prioritas kepada badan usaha swasta tertentu maka akan berpotensi menimbulkan kerugian negara (T. Ade Surya, 2024: 1-2).
ADVERTISEMENT
Polemik keistimewaan dari PP Nomor 25 Tahun 2024 diatas telah menimbulkan ketidakadilan. Kebijakan tersebut telah menciptakan hubungan disharmonisasi, seharusnya aturan tersebut memberikan keadilan bagi setiap badan usaha tanpa privilage atau mengistimewakan badan usaha yang dimilliki oleh organisasi masyarakat keagamaan. Landasan moral hukum dan sekaligus tolok ukur sistem hukum positif yaitu dinilai melalui keadilan (Melisa, Elmi Khoiriyah, dkk., 2023:243). Kepada keadilanlah hukum positif berpangkal karena keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum, disisi lain pemerintah juga telah menimbulkan ketidakpastian bagi badan usaha lainnya dibidang pertambangan atas eksistensi masa depannya. Adanya PP Nomor 25 Tahun 2024 seharusnya memberikan benefit sebagaimana urgensi dikeluarkannya aturan tersebut, aturan tersebut menjadikan pola-pola pemerintah berdampak pada tujuan hukum tersebut diciptakan sebagaimana teori yang disampaikan Gustav Redbuch terkait Kepastian, Keadilan dan Kemanfaatan yang memungkinkan implementasi aturan tersebut menyimpang dan merugikan (Satjipto Rahardjo, 2012:20).
ADVERTISEMENT
Pemberian IUPK dan proses lelang sebagaimana diatur dalam UU Minerba dan PP Nomor 25 Tahun 2024 merupakan tanggungjawab dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM) bukan hanya tugas tersebut, dalam aturan diatas juga terdapat wewenang lainnya tehadap lembaga itu, khususnya mengenai proses lelang dalam mendapatkan IUPK. Dalam pembahasan ini organisasi masyarakat keagamaan yang telah mengajukan IUPK terkait penawaran prioritas dengan alasan kesejahteraan telah dilakukan oleh Badan Usaha yang dimiliki Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persatuan Islam, sejauh ini organisasi masyarakat keagamaan lainnya belum melakukan pergerakan yang sama.
Berdasarkan pemaparan di atas, Badan Usaha yang dimiliki Organisasi Masyarakat Keagamaan belum mempunyai status atau kedudukan yang jelas. Selain itu pemberian IUPK pada badan usaha tersebut berpotensi menimbulkan implikasi yang luas terutama pada proses lelang yang selama ini telah berjalan dengan baik.
ADVERTISEMENT