Konten dari Pengguna

Kebijakan Devisa Hasil Ekspor 100%: Kebijakan Jitu atau Beban Baru?

Anisa Putri Khairina
Mahasiswa Akuntansi Politeknik Keuangan Negara STAN
1 Februari 2025 18:16 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anisa Putri Khairina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mata uang. Sumber: Freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mata uang. Sumber: Freepik.com
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Di tengah ketidakpastian global yang semakin meningkat, Indonesia menghadirkan kebijakan yang ambisius namun kontroversial, kewajiban bagi eksportir sumber daya alam (SDA) untuk menyimpan seluruh Devisa Hasil Ekspor (DHE) mereka di perbankan domestik. Tujuan kebijakan ini jelas yaitu memperkuat cadangan devisa negara, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, serta menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Namun, di sisi lain, sektor usaha yang selama ini bergantung pada fleksibilitas dalam pengelolaan devisa, justru merasa kebijakan ini bisa menghancurkan daya saing mereka. Apakah kebijakan ini benar-benar akan membawa manfaat jangka panjang bagi Indonesia, atau justru menciptakan krisis baru dalam dunia bisnis?

Antara Niat Baik dan Potensi Distorsi Ekonomi

Pemerintah Indonesia mencanangkan kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) 100 persen sebagai langkah untuk mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, yang pada akhir 2024 mencapai lebih dari 400 miliar dolar AS. Kebijakan ini bertujuan untuk memaksimalkan aliran devisa yang berada di dalam negeri, dengan harapan dapat meningkatkan stabilitas ekonomi makro. Data cadangan devisa Indonesia yang tercatat sekitar 155,7 miliar dolar AS pada akhir Desember 2024 seolah memberi legitimasi pada kebijakan ini. Secara teoritis, penahanan Devisa Hasil Ekspor (DHE) di dalam negeri bisa memperkuat ketahanan ekonomi nasional, membantu pengelolaan krisis, dan memberi ruang lebih bagi kebijakan moneter yang lebih fleksibel.
Gambar diolah oleh penulis.
Di atas adalah grafik yang menggambarkan perbandingan antara likuiditas perbankan Indonesia, cadangan devisa, dan utang luar negeri. Grafik ini memperlihatkan pentingnya cadangan devisa sebagai alat untuk memperkuat stabilitas ekonomi, sementara likuiditas perbankan yang terbatas bisa menjadi tantangan dalam kebijakan penahanan Devisa Hasil Ekspor (DHE) di dalam negeri. Sementara itu, utang luar negeri yang tinggi menunjukkan ketergantungan Indonesia terhadap sumber daya luar yang harus diwaspadai dalam jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Namun, dari sudut pandang teori ekonomi, kebijakan ini berpotensi menciptakan ketidakseimbangan dalam pasar valuta asing domestik. Menurut teori moneter dan likuiditas, pasar valas yang sehat memerlukan keseimbangan antara penawaran dan permintaan valuta asing. Mengalihkan seluruh Devisa Hasil Ekspor (DHE) ke dalam perbankan domestik yang memiliki kapasitas likuiditas terbatas bisa menciptakan distorsi. Likuiditas yang terbatas dapat menyebabkan fluktuasi nilai tukar, yang pada gilirannya dapat merusak stabilitas ekonomi. Hal ini akan mengganggu daya beli masyarakat dan memperburuk inflasi, yang dalam teori inflasi moneter dapat menyebabkan biaya hidup yang lebih tinggi bagi konsumen.

Implikasi bagi Sektor Usaha: Menambah Beban atau Mendorong Pembangunan?

Kritik utama terhadap kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) 100 persen datang dari sektor usaha, khususnya para eksportir. Sebagian besar pengusaha, terutama yang bergerak di sektor kecil dan menengah, menyatakan bahwa kebijakan ini dapat mengganggu arus kas mereka. Dalam teori ekonomi aruss kas dan perputaran modal, likuiditas adalah kunci untuk menjaga kelangsungan hidup perusahaan. Ketika likuiditas terganggu, perusahaan kesulitan untuk memenuhi kewajiban finansial jangka pendek atau mendanai ekspansi bisnis. Mengalihkan seluruh devisa hasil ekspor ke dalam perbankan domestik berarti bahwa eksportir kehilangan fleksibilitas untuk mengelola modal mereka secara efisien, yang pada akhirnya bisa meningkatkan biaya operasional.
ADVERTISEMENT
Selain itu, dalam teori biaya peluang (opportunity cost), apabila eksportir terpaksa menahan devisa dalam negeri dan tidak dapat menggunakannya untuk kegiatan investasi atau diversifikasi, mereka akan menghadapi potensi kerugian besar. Keputusan untuk tidak dapat memanfaatkan dana tersebut untuk ekspansi atau investasi di pasar internasional juga menciptakan peluang yang hilang. Dalam dunia bisnis yang sangat kompetitif, terutama di pasar global, kebijakan yang membatasi fleksibilitas finansial ini berisiko menurunkan daya saing Indonesia, yang sudah menghadapi tantangan berat akibat biaya produksi yang relatif lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga.

Dampak Terhadap Pasar Valas dan Nilai Tukar Rupiah

Penahanan Devisa Hasil Ekspor (DHE) dalam perbankan domestik berisiko menambah volatilitas dalam pasar valuta asing. Indonesia, yang bergantung pada impor barang modal dan bahan baku, sangat rentan terhadap fluktuasi nilai tukar. Menurut teori valuta asing dan neraca perdagangan, negara yang memiliki ketergantungan besar pada impor cenderung lebih rentan terhadap fluktuasi nilai tukar. Jika devisa yang semestinya beredar di pasar internasional diparkir dalam sistem keuangan domestik yang belum cukup kuat, hal ini dapat menyebabkan gejolak besar dalam nilai tukar rupiah. Mengikuti teori adjustment mekanisme nilai tukar, jika nilai tukar rupiah terdepresiasi secara signifikan, biaya barang impor akan meningkat, yang pada akhirnya mempengaruhi harga barang dan daya beli masyarakat. Ini dapat menciptakan inflasi yang merugikan perekonomian secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT

Kebijakan Insentif atau Paksaan?

Dalam teori insentif dan pengaruh kebijakan fiskal, meskipun insentif pajak mungkin menarik, mereka tidak cukup untuk mengimbangi ketidakseimbangan yang diciptakan oleh kebijakan tersebut. Tanpa perbaikan signifikan dalam aksesibilitas fasilitas perbankan, kebijakan ini hanya akan menambah beban bagi pengusaha yang sudah terhimpit biaya operasional yang tinggi. Di dalam kerangka teori pengaruh kebijakan fiskal, kebijakan yang berlebihan ini justru bisa membatasi kemampuan sektor swasta untuk berkembang dan berinovasi, serta menambah beban bagi sektor usaha yang sudah dalam posisi tidak menguntungkan.

Perlu Perimbangan yang Cermat

Kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) 100 persen berpotensi memperkuat cadangan devisa Indonesia dalam jangka panjang, namun dampaknya terhadap sektor usaha dan stabilitas ekonomi makro perlu diwaspadai. Dalam teori ekonomi moneter dan likuiditas, ketidakseimbangan yang disebabkan oleh penahanan devisa dalam perbankan domestik yang tidak cukup likuid berisiko menciptakan distorsi dalam pasar valuta asing. Selain itu, dalam teori arus kas dan biaya peluang, kebijakan ini berpotensi merugikan sektor usaha yang terhambat dalam fleksibilitas finansialnya. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang lebih fleksibel, yang mengakomodasi kepentingan sektor swasta dan mendukung stabilitas ekonomi secara menyeluruh. Dialog konstruktif antara pemerintah dan pengusaha sangat diperlukan untuk menciptakan kebijakan yang benar-benar dapat memperkuat perekonomian Indonesia tanpa menciptakan distorsi yang merugikan sektor usaha dan daya saing negara di pasar global.
ADVERTISEMENT