Sertifikasi Halal Kementerian Agama Memunculkan Polemik

Helmi Baharuddin Sidiq
Mahasiswa IPB University jurusan Ilmu Ekonomi Syariah.
Konten dari Pengguna
30 Maret 2022 21:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Helmi Baharuddin Sidiq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber shutterstock.com
ADVERTISEMENT
Kementerian Agama Republik Indonesia menyatakan bahwa kebijakan label halal yang dikeluarkan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama tidak lagi menjadi wewenang Majelis Ulama Indonesia (MUI). Nantinya secara berangsur-angsur label halal MUI akan digantikan dengan label halal baru terbitan Kementerian Agama. Secara bertahap juga label halal yang diterbitkan MUI dinyatakan tidak berlaku lagi.
ADVERTISEMENT
Kebijakan ini pun sempat memunculkan polemik karena adanya perbandingan harga sertifikasi halal, seiring diluncurkannya logo halal terbaru oleh Kementerian Agama beberapa waktu lalu. Biaya sertifikasi halal di MUI dinilai lebih mahal sebesar empat juta rupiah ketimbang Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama yang dimulai dari harga 650 ribu rupiah.
Di sisi lain, biaya pengurusan sertifikasi halal Kementerian Agama diklaim berpotensi lebih mahal karena adanya biaya tambahan. Biaya sertifikasi senilai 650 ribu rupiah tersebut ternyata masih di luar biaya akomodasi, biaya auditor, hingga uji laboratorium. Tentunya, biaya tersebut harus dibayarkan para pemohon sertifikasi halal ke Kementerian Agama.
Rincian biaya pengurusan sertifikasi di BPJPH sendiri sebesar 300 ribu rupiah akan digunakan sebagai biaya administrasi di BPJPH. Sementara 350 ribu rupiah sisanya akan digunakan untuk Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) sebagai pemeriksa produk.
ADVERTISEMENT
Selain polemik tentang harga sertifikasi di dua lembaga berbeda, adanya penambahan mata rantai proses sertifikasi halal justru dapat berpotensi menambah lama waktu pengurusan dan penambahan biaya untuk mata rantai baru yang tadinya tidak ada. Meskipun biayanya tetap atau bahkan lebih murah, pasti ada mata rantai lain yang ditekan. Biaya yang diklaim 650 ribu rupiah itu, 300 ribu rupiah untuk BPJPH dan Komisi Fatwa MUI. Lalu 350 ribu rupiah sisanya untuk LPH (auditor dan biaya operasional LPH). Tentunya LPH yang bukan lembaga pemerintah belum tentu dapat bertahan hidup dengan anggaran sekian.
Namun, kebijakan terkait pemindahan pemegang wewenang penerbitan sertifikasi halal ini sebetulnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), yang menyatakan bahwa sertifikasi halal diselenggarakan oleh pemerintah, bukan lagi oleh organisasi masyarakat seperti MUI. Meski saat ini sertifikasi halal dipegang oleh pemerintah, fatwa menyangkut masalah kehalalan produk menurut UU yang ada masih menjadi wewenang dan tanggung jawab MUI. Pada intinya adalah BPJPH hanya dapat mengeluarkan Sertifikat Halal apabila sudah ada ketetapan halal dari MUI (melalui sidang fatwa). Sebab, ketetapan halal MUI merupakan pemenuhan aspek hukum agama (syariah Islam). Sedangkan sertifikat halal yang diterbitkan BPJPH adalah bentuk pengadministrasian hukum agama ke dalam hukum negara.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari adanya polemik terkait sistem sertifikasi halal yang diperbarui, adanya kebijakan baru ini diharapkan dapat mempermudah bagi para pelaku usaha untuk dapat mengajukan sertifikasi halal bagi produk-produknya. Kita sebagai produsen yang bijak dapat terus mendukung pemerintah dengan turut serta mendaftarkan produk-produk usaha kita sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan pemerintah.