Konten dari Pengguna

Ekstraktif, Keadilan, dan Instrumen Pajak

Helmi Saputra
Analis di Otoritas Jasa Keuangan dan MSc. (c) University of Leeds
26 Agustus 2025 16:28 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Ekstraktif, Keadilan, dan Instrumen Pajak
Instrumen pajak yang berkeadilan dibutuhkan di tengah krisis ekologi, apakah kita berani menerapkannya?
Helmi Saputra
Tulisan dari Helmi Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Photo: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Apa jadinya bila sebuah negara kaya di sektor ekstraktif justru menjadi terpuruk? Pertanyaan ini bukan sekadar retorika. Nauru sebagai negara kecil di Pasifik yang kaya dengan fosfat pernah mencatat GDP per kapita hampir 50 ribu dolar AS pada 1975. Karena ekspor fosfat tersebut, menjadikannya salah satu negara dengan GDP tertinggi di dunia saat itu.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, kejayaan tersebut hanya bertahan sebentar. Instrumen pajak pun belum dioptimalkan. Saat cadangan fosfat menipis dan harga fosfat turun, kejayaan mereka pun runtuh. 80 persen lahannya Nauru juga menjadi rusak dan butuh pemulihan yang amat lama (Baba & Moriwaki, 2020).
Nauru jadi contoh klasik dari apa yang disebut kutukan sumber daya. Ini sebuah paradoks ketika kekayaan alam justru menjerat negara pada ketergantungan ekonomi ekstraktif yang tidak bertanggung jawab.

Visi Negara

Apakah semua negara yang kaya ekstraktif akan bernasib sama seperti Nauru? Tidak juga. Kita bisa ambil contoh, Norwegia. Negeri fjord ini adalah produsen minyak dan gas terbesar di Eropa. Norway tidak sekadar menjual minyak lalu menghabiskan hasilnya. Mereka mengelola pendapatan dari sektor ekstraktif melalui Government Pension Fund Global (GPFG). GPFG adalah dana abadi milik negara Norway yang dikelola secara profesional oleh Norges Bank Investment Management (NBIM). Kini besar dana kelolaan mereka masuk menjadi tiga terbesar di dunia, dengan rata-rata keuntungan investasi 6,44 persen pertahun (NBIM, 2024).
ADVERTISEMENT
Dulunya, pada 1969, Norway menemukan salah satu ladang minyak terbesar di North Sea. Seketika, penemuan tersebut membuat cadangan minyak mereka menjadi melimpah dan ekonomi Norway tumbuh agresif. Norway menyadari bahwa pendapatan dari sektor ekstraktif ini harus digunakan secara adil dan hati-hati. Di 1990, GPFG terbentuk dan dioperasionalkan sebagai cadangan keuangan negara untuk long-term saving plan sehingga generasi saat ini dan mendatang mendapatkan benefit dari kekayaan minyak tersebut. Mungkin ini mencerminkan apa yang disebut ekonom Richard Auty dalam penelitiannya “Sustaining Development in Minar Economies, The Resource Curse Thesis”, bahwa sumber daya harus jadi jembatan menuju masa depan, bukan jebakan atau kutukan bagi negara.

Masalah Ekologi

Dari sisi angka, kontribusi sektor ekstraktif Indonesia terhadap PDB memang baru sekitar 10 persen. Tapi kalau dilihat dari jumlah ekspor nasional, ketergantungannya tinggi, mencapai 37 persen (EITI Indonesia, 2023). Dana bagi hasil dari tambang dan minyak sudah dialirkan ke pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur (Kementerian Keuangan, 2017; EITI Report 2024). Namun pertanyaan yang lebih mendasar, apakah itu cukup untuk keluar dari kutukan sumber daya?
ADVERTISEMENT
Indikator kualitas pengelolaan ekologi sebuah negara bisa dilihat dari Environmental Performance Index (EPI) secara global. Tahun 2024, Indonesia berada di peringkat 164 dari 180 negara. Bandingkan dengan Norwegia di peringkat 10 besar. Perbedaan ini bukan sekadar soal angka, tetapi soal arah dan kualitas pembangunan. Norwegia tidak menutup tambangnya, tetapi mereka mendesain sistem agar keuntungan jangka pendek berubah menjadi perubahan struktural jangka panjang.
Di Indonesia, masalah ekologi justru makin nyata dirasakan masyarakat. WALHI (2024) mencatat 90 persen bencana di negeri ini adalah bencana ekologis seperti banjir, longsor, kebakaran hutan. Konflik sosial di sekitar konsesi tambang juga tak kunjung reda. Maka muncul pertanyaan, bisakah kita terus membangun tanpa merusak?
Ekonom Kate Raworth (2017) menawarkan sebuah analogi menarik lewat Doughnut Economics. Bayangkan pembangunan seperti sebuah lingkaran donat. Ada dua batas. Batas sosial, agar semua orang mendapat kebutuhan dasar seperti pangan, air bersih, dan pendidikan. Dan batas ekologis, agar bumi tidak rusak. Pembangunan yang sehat harus terjadi di ruang antara kedua batas itu. Jadi, menambang SDA boleh saja dengan tujuan membuka lapangan kerja, tetapi jangan sampai membabat hutan, mencemari air, atau menyingkirkan hak-hak masyarakat.
ADVERTISEMENT
Di sinilah pentingnya keadilan dan jalan tengah. Indonesia sebenarnya sudah memulainya lewat dana bagi hasil sumber daya, taksonomi keuangan berkelanjutan, hingga bursa karbon. Namun ada instrumen potensial yang belum benar-benar dimanfaatkan, yaitu carbon tax dan windfall tax.

Jalan Tengah dan Keadilan

Apa itu carbon tax? Sederhananya, setiap ton emisi karbon dari aktivitas ekonomi dikenakan biaya. Sebab, polusi punya ongkos sosial dan lingkungan, dari kesehatan yang memburuk sampai perubahan iklim. Selama ini ongkos itu tidak dimasukkan ke harga produk atau pasar. Dengan carbon tax, biaya itu dihitung, seolah menjadi denda bagi mereka yang mencemari.
Bayangkan kita mengendarai mobil berbahan bakar bensin. Asap yang keluar mencemari udara dan memperburuk kesehatan publik. Carbon tax membuat polusi itu punya harga. Hasilnya bukan hanya penerimaan negara, tetapi juga dorongan agar orang dan industri beralih ke energi bersih.
ADVERTISEMENT
Kembali ke contoh Norwegia, sejak 1991, Norwegia telah menerapkan carbon tax dengan tarif berbeda di tiap sektor. Pada 2023, tarif carbon tax mereka sekitar 85 dolar AS per ton CO₂. Tarif tersebut menjadi salah satu yang tertinggi di dunia. Kebijakan tersebut sudah melahirkan dampak yang mengagumkan. Emisi karbon per kapita mereka turun lebih dari 55 persen sejak 1990. Artinya, kontribusi polusi karbon mereka membaik signifikan. Terlebih, menurut International Energy Agency (IEA), hampir seluruh sistem kelistrikan Norwegia telah berasal dari energi terbarukan, dimana hydropower menyumbang sekitar 92 persen dari total produksi listrik. Di saat yang sama, Norwegia tetap makmur dengan GDP per kapita di atas rata-rata negara maju dan ketimpangan pendapatan warganya lebih baik dibandingkan negara maju (OECD, 2025).
ADVERTISEMENT
Saat ini, Indonesia telah memiliki innstrumen hukum dalam mendorong transisi energi dan carbon tax melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Perpres 98/2021. Namun, penerapannya ditunda disinyalir karena ada kekhawatiran penerapan carbon tax memicu kenaikan harga energi yang berdampak pada inflasi. Meskipun banyak studi mengkaji bahwa efek tersebut hany bersifat sementara dan jangka pendek.
Namu, kekhawatiran tersebut sangat bisa dipahami. Ada jalan yang bisa dipertimbangkan untuk mengatasi hal tersebut yaitu lewat model revenue recycling. Revenue recycling diartikan sebagai mekanisme penerimaan negara yang harus dikembalikan secara adil kepada masyarakat terdampak seperti transfer tunai, subsidi energi bersih, dan potongan tarif listrik untuk kelompok masyarakat menengah ke bawah. Dengan pendekatan ini, memungkinkan pemerintah untuk mengantisipasi efek samping tersebut dan mendapatkan legitimasi publik karena ada manfaat langsung yang dirasakan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Untuk menambah perlindungan sosial dan kapasitas fiskal, penerapan windfall tax dari sektor ekstraktif ketika harga komoditas naik juga patut dipertimbangkan. Windfall tax disebut sebagai pajak atas keuntungan yang muncul karena faktor eksternal seperti harga minyak dunia atau batu bara global yang naik. Potensi tambahan penerimaan negara dari windfall tax sektor ekstraktif bisa mencapai 50 Triliun per tahun (CELIOS, 2025). Penerimaan tambahan ini bisa masuk ke skema revenue recycling sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sekaligus mendukung investasi energi bersih.
Alih-alih hanya sebagai instrumen fiskal, carbon tax dan windfall tax mencerminkan visi negara dalam memenuhi kebutuhan ekonomi dan komitmen pembangun keberlanjutan. Kunci keberhasilan kebijakan ini ada pada cara negara menerapkan tax tersebut secara objektif dan membagi kembali manfaatnya secara adil dan efektif kepada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pilihan ada pada keberanian negara dalam menentukan arah pembangunan ke depan yang berkeadilan, sanggup?
(Tulisan ini merupakan pandangan pribadi).