Konten dari Pengguna

Pencucian Hijau dan Status Quo

Helmi Saputra
Analis di Otoritas Jasa Keuangan dan MSc. (c). University of Leeds
12 Februari 2025 22:47 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Helmi Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Pada pertengahan tahun 1960-an, fenomena komunikasi lingkungan yang menyesatkan sudah mulai muncul dalam strategi bisnis perusahaan di negara-negara maju. Jay Wastervield, seorang aktivis lingkungan, mengkritisi para pelaku bisnis di Amerika Serikat yang melakukan praktik menyesatkan tersebut dengan istilah pencucian hijau atau greenwashing (Pearson, 2010).
Fenomena menyesatkan ini terus berlanjut dan berkembang hingga saat ini. RepRisk, sebuah firma data lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG), menemukan fakta bahwa pada tahun 2024, jumlah praktik pencucian hijau di seluruh dunia meningkat sebesar 30% dibandingkan tahun sebelumnya. Eropa dan Amerika Utara menjadi wilayah dengan tingkat insiden pencucian hijau tertinggi, disusul Amerika Latin dan Asia.
Secara epistemologi, pencucian hijau adalah praktik di mana perusahaan menggunakan informasi palsu untuk melebih-lebihkan upaya mereka terkait tanggung jawab sosial dan lingkungan (Wolniak, 2016). Praktik menyesatkan ini biasanya digunakan untuk meningkatkan reputasi, penjualan, dan memenuhi tuntutan regulasi.
Lokasi merupakan sebuah daerah di Inggris yang mengalami penurunan tingkat biodiversitas akibat krisis iklim, didokumentasi pada 5 Desember 2024 (foto: dokumen pribadi)
Sejatinya, pencucian hijau memiliki beragam wajah untuk mengelabui konsumen ataupun pemangku kepentingan. Pelaku menggunakan banyak modus dalam tingkatan korporat, strategis, produk dan kriminal (Torelli et al., 2020). Pada level korporat, greenwashing dilakukan dengan memanipulasi komponen yang terkait dengan citra dan reputasi perusahaan seperti logo, data emisi, dan sertifikasi perusahaan. Selain itu, pada level strategis, greenwashing dilakukan dengan memanipulasi aspek-aspek yang terkait dengan rencana strategi perusahaan seperti penetapan target, rencana strategis untuk perbaikan, dan pengungkapan laporan. Berbeda dengan level strategis, pada level produk, penyesatan dilakukan terhadap fitur-fitur produk seperti label, kemasan, dan sertifikasi produk. Sementara pada level kriminal, pelaku menggunakan strategi pencucian hijau untuk mengelabui tindakan-tindakan ilegal yang tersembunyi seperti investasi ilegal dan pencucian uang.
ADVERTISEMENT

Sisi Gelap Pencucian Hijau

“Dieselgate” — sebuah skandal pencucian hijau oleh perusahaan otomotif Jerman, Volkswagen, sempat mengguncang dunia bisnis di tahun 2015. Mereka secara masif telah menjual dan mempromosikan mobil diesel mereka dengan klaim mobil yang ramah lingkungan. Namun, hasil penyelidikan Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) Amerika Serikat menemukan hal yang sebaliknya, dimana Volkswagen menggunakan “alat pencegah” di dalam mesin dieselnya untuk mengubah data emisi. Volkswagen telah terbukti memanipulasi data emisi mobil diesel mereka agar dapat lolos dari standar yang ditetapkan. Pemerintah Amerika serikat turut mengenakan sanksi yang berat kepada Volkswagen.
Menurut Corporate Knights, sebuah media bisnis Amerika Serikat, Volkswagen tercatat sebagai perusahaan yang pernah melakukan greenwashing dengan total denda terbesar di dunia.Sekitar US$34,69 miliar atau setara Rp520 triliun. Selain itu, Volkswagen juga terpaksa harus menarik lebih dari 12 juta unit mobil yang tersebar di berbagai negara dan memberikan kompensasi kepada seluruh konsumen yang dirugikan - Corporate Knights.
ADVERTISEMENT
Skandal ini juga menimbulkan konsekuensi hukum bagi manajemen Volkswagen. Pihak penegak hukum Amerika Serikat mencium adanya pelanggaran pidana terkait manipulasi pasar dan penipuan dari skandal tersebut.

Penyebab dan Tantangan

Munculnya pencucian hijau disebabkan oleh tiga faktor utama yaitu dinamika pasar, kelemahan pengaturan dan keterbatasan sumber daya. Saat ini, kesadaran konsumen terhadap isu keberlanjutan semakin tinggi sehingga menciptakan tekanan kompetitif yang membuat perusahaan semakin berani mengklaim diri mereka lebih "hijau." Sinyal atas kesadaran konsumen tersebut selaras dengan hasil studi NielsenIQ, yang menunjukkan bahwa 78 persen konsumen menganggap gaya hidup berkelanjutan telah menjadi hal yang sangat penting. Studi ini menegaskan potensi pasar yang besar untuk produk dan jasa yang peduli isu keberlanjutan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kelemahan pengaturan turut menjadi faktor penyebab. Ketidaksempurnaan kerangka hukum menciptakan ruang abu-abu, yang memungkinkan perusahaan untuk memanipulasi narasi lingkungan tanpa konsekuensi nyata. Dalam konteks ini, ruang abu-abu tersebut membuka peluang kepada oknum perusahaan untuk menggunakan strategi pencucian hijau.
Temuan ini tidak hanya menunjukkan perkembangan fenomena pencucian hijau saja, tetapi juga menyoroti perlunya regulasi yang lebih ketat untuk menahan laju pertumbuhan tersebut.
Selain faktor pasar dan pengaturan, faktor keterbatasan sumber daya turut berperan. Perusahaan dengan kemampuan sumber daya yang minim sering kali memilih pencucian hijau sebagai jalan pintas. Situasi ini menimbulkan dilema. Dalam kondisi keuangan yang ketat, ditambah kurangnya keahlian dan teknologi, perusahaan tersebut tidak memiliki banyak pilihan di tengah persaingan. Akibatnya, mereka menghadapi tekanan yang lebih besar untuk memenuhi tuntutan program keberlanjutan yang organik.
ADVERTISEMENT

Langkah Penyempurnaan

Sebenarnya, Indonesia telah modal regulasi yang baik untuk mengatur lebih lanjut terkait praktik-praktik yang mengarah greenwashing, seperti Undang-Undang (UU) Lingkungan Hidup, UU Perlindungan Konsumen dan peraturan keuangan keberlanjutan serta Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI). Namun, perangkat regulasi tersebut perlu diperkuat melalui pengaturan yang bersifat lintas sektor dan eksplisit. Hal ini bisa dilakukan misalnya dengan membentuk aturan turunan yang baru atau merevisi Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dengan begitu, Indonesia dapat menciptakan standarisasi dan kepastian hukum yang inklusif dan efisien. Dampak positifnya adalah ekosistem bisnis dan investasi di Indonesia akan menjadi lebih bertanggung jawab dan transparan terhadap isu lingkungan.
Dalam konteks memperkuat aturan, penerapan insentif dan sanksi untuk pelaku pencucian hijau perlu menjadi perhatian, mengingat banyaknya studi yang mampu membuktikan insentif dan sanksi pemerintah masih menjadi cara yang paling efektif untuk menahan perkembangan praktik anti keberlanjutan (Zhang et al., 2022).
ADVERTISEMENT
Pengaturan terhadap penanganan pencucian hijau bukanlah hal yang baru. Negara-negara lain telah mengatur praktik greenwashing di beragam instrumen peraturan. Seperti halnya negara-negara di Eropa. Italia dan Perancis telah meregulasi mengenai penanganan praktik-praktik pencucian hijau di dalam UU Konsumen mereka. Mereka juga telah menetapkan sanksi yang jelas. Misalnya, pemerintah Italia menetapkan denda administrasi untuk pelaku pencucian hijau antara 5.000 hingga 10.000.000 euro. Sementara itu, pemerintah Prancis menetapkan sanksi berupa dua tahun penjara dan denda hingga 300.000 euro, yang bisa meningkat tergantung keuntungan yang diperoleh dari pelanggaran.
Uni Eropa juga berperan memperkuat posisi negara-negara anggota mereka dalam menghadapi praktik greenwashing. Uni Eropa secara resmi menetapkan arahan yang mengikat berupa Arahan tentang Pemberdayaan Konsumen untuk Transisi Hijau. Arahan ini menegaskan secara cukup teknis mengenai kriteria keberlanjutan, standar informasi produk, metode penilaian, sanksi dan panduan edukasi bagi perusahaan dan konsumen.
ADVERTISEMENT
Selain penguatan regulasi, hal yang juga perlu dipertimbangkan adalah mekanisme pengawasan. Menurut Bursa Efek Indonesia, jumlah perusahaan tercatat di Indonesia mencapai 941 perusahaan (BEI, 2024). Jumlah tersebut bahkan belum mencakup perusahaan tidak terbuka. Mengingat banyaknya jumlah perusahaan di Indonesia, mekanisme pengawasan perlu memanfaatkan pendekatan berbasis teknologi atau supervisory technology. Dengan mengoptimalkan big data dan blockchain, proyek hijau dan laporan keberlanjutan perusahaan dapat dilacak dan dievaluasi secara lebih efisien.
Di samping itu, untuk mengoptimalkan pengawasan, mekanisme tersebut perlu bersifat partisipatif dimana masyarakat turut dilibatkan. Masyarakat diberikan ruang agar dapat melaporkan dengan mudah praktik-praktik yang terindikasi greenwashing kepada regulator. Pola pengawasan seperti ini memungkinkan kolaborasi antara regulator dan publik untuk menekan praktik greenwashing secara lebih masif.
ADVERTISEMENT
Kita tentu berharap kerumitan yang ada dalam skandal Dieselgate tidak perlu terjadi di Indonesia. Selain merugikan keuangan perusahaan, praktik tersebut juga menghancurkan reputasi perusahaan, merusak ekosistem bisnis nasional dan mengundang permasalahan hukum di kemudian hari.
(Opini ini bersifat pandangan pribadi)