Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
5 Pandang Stoisisme untuk Tidak Goyah dalam Situasi Bencana Alam
21 Januari 2021 14:10 WIB
Tulisan dari Helmi Denada Ari Shandy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ditengah wabah Covid-19 yang terus menunjukkan angka kenaikan, bangsa Indonesia harus mengalami duka yang seolah datang bertubi-tubi. Keprihatinan bangsa Indonesia bertambah lantaran terjadinya sejumlah Bencana Alam seperti longsor di Sumedang, Jawa Barat, Banjir di Kalimantan Selatan, Gempa di Sumatera Barat, Banjir serta tanah longor di Sulawesi Selatan, Erupsi gunung Semeru dan Gunung merapi. Bencana alam tersebut juga terjadi di tengah peristiwa pilu jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 di peraitan Kepulauan Seribu, jakarta pada 9 Januari 2021 lalu.
ADVERTISEMENT
Sejak zaman dahulu para filosof, ilmuwan dan orang-orang bijak lainnya telah memberikan kita cara mengelola kesehatan mental kita. Salah satu diantaranya adalah tokoh-tokoh dari Stoa. Stoisisme adalah faham yang dicetus oleh seorang filosof bernama Zeno yang berasal dari Citium di awal abad ke-3. Berawal dari pemikiran zeno, muncul tokoh-tokoh besar yang menganut falsafah ini. Penganut filosofi ini tidak terbatas pada orang-orang menengah saja, bahkan dari kalangan budak, orang awam hingga kaisar romawi. Tokoh-tokoh tersebut antara lain Kaisar Marcus Aurelius, Epictetus dan Seneca. Pandangan Stoisisme memiliki pengaruh kuat untuk menjaga stabilitas diri di masa sulit.
Berikut 5 kebijaksanaan dari Stoisisme yang akan bermanfaat dalam memperkuat diri kita di masa bencana.
ADVERTISEMENT
1. Memisahkan apa yang dapat kita kendalikan dan apa yang tidak
Salah satu ajaran penting Stoisisme adalah dikotomi kendali. Epictetus pernah mengatakan sebagaimana dikutip oleh Ryan Holiday The Daily Stoic :
Mungkin diantara kita akan berkata “Ah kaya gitu aku juga tahu” tapi apakah kita benar-benar memahaminya?. Sebagai generasi muda, seringkali kita mencemaskan hal-hal yang sebenarnya diluar kendali kita, seperti opini orang lain, sikap orang terhadap kita, kondisi alam dan sebagainya. Jika demikian alih-alih kita menjadi kuat, justru kita malah terjerumus dalam rasa sedih yang berlarut-larut hingga berpengaruh terhadap kesehatan kita.
Baik dalam keadaan normal atau dalam keadaan sulit, penting bagi kita untuk memahami betul apa yang dapat kita kendalikan dan apa yang dalam kuasa luar diri kita. Pada masa sulit seperti bencana, hal yang dapat kita kendalikan antara lain yakni respon kita, pikiran kita, kemauan untuk bertahan, bersabar menerima dan sebagainya. Sementara yang tidak dapat kita kendalikan antara lain bencana itu sendiri, rusaknya harta benda karena bencana, nyawa seseorang dan sebagainya. Dengan memahami ini kita dapat memfokuskan hati dan pikiran terhadap apa yang kita kendalikan.
ADVERTISEMENT
2. Kesulitan sebagai jalan berkembang.
bagi Stoisisme, tidak ada peristiwa hidup yang bisa disebut “baik” atau “buruk”, yang ada hanyalah interpretasi kita. William Shakespeare, sebagaimana dikutip Henry Manampiring dalam Filosofi Teras pernah menggemakan hal senada .”Tidak ada hal yang baik, atau buruk. Pikiran kitalah yang menjadikannya ‘baik’atau ‘buruk’”. Filosofi Stoisisme mengajarkan untuk melihat kesulitan dan tantangan sebagai ujian. Tidak banyak dari kita ketika tertimpa musibah menginterpretasi peristiwa dengan cara yang justru memperburuk perasaannya. Alih-alih berkata “Mengapa saya harus menerima semua ini?” sambil menggerutu, atau “Saya sudah berbuat baik, tetapi kenapa Tuhan tidak adil” dan interpretasi lain yang tidak membuat hal baik, kita sebaiknya menginterpretasikan peristiwa pedih sebagai kesempatan menjadi lebih baik. Misalnya berkata “Pelajaran apa yang dapat saya ambil dari peristiwa ini?” Atau “Value apa yang bisa saya kembangkan dari keadaan ini”.
ADVERTISEMENT
3. Menerima penderitaan
Menerima kenyataan atas peristiwa yang pedih tentu tidak sederhana. Stoisisme mengajak kita untuk berlapang diri menerima keadaan meskipun itu menyakitkan.
Apapun yang terjadi memiliki dua kemungkinan. Atas kelalaian kita sendiri sebagai manusia atau alam memang menghendaki demikian. Menurut Marcus Aurelius, jika datang dari alam maka terima itu dengan lapang. Karena hanya dengan rela menerima jiwa kita akan lebih baik daripada menolak sebuah kenyataan. Namun, jika itu atas kesalahan kita maka cari tahu dan perbaiki sebisa mungkin apa yang dapat diperbaiki oleh kita.
ADVERTISEMENT
4. Mempersiapkan kenyataan terburuk
Premeditatio Malorum secara sederhana adalah konsep visualisasi untuk kemungkinan terburuk. Banyak dari kita sering merasa kecewa, sedih karena kita belum siap menghadapi kejadian, misalnya hilangnya nyawa orang yang kita sayang, kehilangan harta, dan peristiwa buruk lain. Stoisisme tidak mengajarkan kita untuk pesimisis, akan tetapi mengajak kita untuk membayangkan kemungkinan terburuk dari kehidupan.
Seneca pernah berpesan dalam “Letters” yang bahasa mudahnya
Untuk dapat tetap tegak dan tenang, kita diajak oleh Seneca untuk mempersiapkan diri sebelum kesulitan menghantam diri kita. Contoh sederhana yakni kita memvisualisasikan suatu saat ayah kita meninggal dunia, atau terjadi bencana yang sangat dashyat. Untuk apa hal ini? Hal ini dilakukan bukan untuk mengharap hal buruk, melainkan mempersiapkan diri kita agar tidak terkejut ketika peristiwanya terjadi. Selain itu kita dapat membuat persiapan baik psikis ataupun fisik sebagai upaya mencegah datangnya peristiwa itu.
ADVERTISEMENT
5. Menang dan Bertahan
Bagi kaum Stoa, kemenangan diri kita adalah ketika kita dapat bertahan dan membuat lawan kita (cobaan, kesusahan) kelelahan sendiri.
Ketika cobaan, musibah, bencana terasa begitu berat yang diminta dari kita bukanlah teori, strategi maupun hal yang canggih-canggih. Stoisisme hanya meminta kita untuk dapat “bertahan”, tetap teguh, bagai tebing karang yang tidak bisa dikalahkan. Sampai akhrinya cobaan tersebut yang ‘lelah’ sendiri.
Demikian 5 Padangan Stoisisme dalam menghadapi bencana. Dengan memahami beberapa kebijaksanaan Stoisisme tersebut, diharapkan kita dapat memiiki kejernihan, resiliensi, optimisme serta kedamaian dalam menghadapi peristiwa pahit.
ADVERTISEMENT