Konten dari Pengguna

Kecerdasan Buatan Bisa Membuat Karya Prosa Sendiri: Bagaimana Nasib Penulis?

HELSI MAULIDIA
Mahasiswi Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran Tahun 2022.
29 Juni 2024 13:14 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari HELSI MAULIDIA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Chatgpt yang membuat kaya prosa berbentuk cerpen
zoom-in-whitePerbesar
Chatgpt yang membuat kaya prosa berbentuk cerpen
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pekerjaan sastra yang notabenenya merupakan pekerjaan manusia kemungkinan besar bisa diambil alih oleh AI. Lalu bagaimana nasib para penulis?
ADVERTISEMENT
Sebuah laboratorium penelitian milik Amerika Serikat berhasil menciptakan sebuah program komputer yang digadang-gadang menjadi teknologi yang lebih hebat dari mesin pencari Google, yaitu AI.
Artificial Intelegent (AI) merupakan sebuah program komputer yang dirancang untuk meniru kemampuan pikiran manusia seperti pengambilan keputusan, logika, serta bentuk kecerdasan lainnya. Saat ini AI sudah banyak diimplementasikanpada banyak teknologi-teknologi lain untuk memudahkan pekerjaan manusia, salah satu contohnya ialah ChatGPT.

Apa itu ChatGPT?

Tak ada yang merasa asing dengan ChatGPT, mesin pencari dan penyusun informasi berbentuk chatbot berbasis AI yang diciptakan oleh sebuah perusahaaan waralaba bernama OpenAI LP. Selayaknya teknologi lain yang diciptakan untuk memudahkan pekerjaan manusia, ChatGPT pun memiliki fungsi dan tujuan yang sama. ChatGPT itu pintar sekali. Sama seperti manusia, ia pun belajar. ChatGPT mengumpulkan informasi dari berbagai sumber kemudian merangkumnya menjadi satu. Teknologi ChatGPT dapat menciptakan apapun yang penggunanya minta seperti menyusun makalah, mencari infomasi, bahkan membuat proses kreatif seperti cerita fiksi atau skenario film.
ADVERTISEMENT
Hanya dengan mengirimkan perintah seperti “Buatlah cerita pendek tentang kakak dan adik”, dalam hitungan detik, AI sudah bisa membuat cerita sesuai dengan yang diperintahkan padanya. Walaupun kita tidak memberi informasi yang spesifik seperti nama tokoh atau latar waktu, AI dapat menyusun hal-hal tersebut dengan sendirinya. Bahkan, jika kita memberi perintah untuk membuat cerita menggunakan tokoh-tokoh dalam film atau cerita lain, AI dapat dengan mudah menyesuaikan karakterisasi tokoh-tokoh tersebut hingga sesuai dengan yang ada dalam cerita aslinya. Itu satu dari sekian banyak contoh kehebatan AI dalam ChatGPT. Tak bisa dipungkiri bahwa kehadiran AI ini selain dapat memudahkan pekerjaan manusia, pun ia bisa menjadi bencana bagi sebagian lainnya.
Pekerjaan sastra yang notabenenya merupakan pekerjaan manusia kemungkinan besar bisa diambil alih oleh AI. AI dengan kecerdasannya sudah dapat menyusun cerita sendiri sesuai dengan apa yang penggunananya inginkan.
ADVERTISEMENT

Lalu bagaimana nasib para penulis?

Seperti yang kita ketahui bahwa pekerjaan sastra seperti menulis cerita itu merupakan pekerjaan yang mengutamakan rasa atau perasaan. Inilah yang tidak dimiliki oleh AI. Secanggih-canggihnya teknologi tersebut, jika menyangkut soal sastra, tetap terasa kekurangannya.
AI bekerja dengan cara mengumpulkan informasi dari berbagai sumber. Oleh sebab ittu, karya-karya sastra yang dihasilkan AI pun bersifat sangat umum. AI bisa saja membuat novel dalam waktu singkat, tetapi komposisinya memiliki perbedaan yang sangat jelas dengan novel yang ditulis oleh manusia. Sebagai contoh ialah bahasa yang digunakan oleh AI ketika menyusun sebuah cerita. Kata-kata yang dipakai merupakan kata-kata umum yang sangat sering digunakan dan kita temui sehari-hai. Hal inilah yang membuat hasil karya AI tidak terasa nyastra karena sastra identik dengan keindahan. Berbeda dengan hasil karya asli manusia, bahasa yang digunakan pun sangat berbeda dengan hasil AI. Manusia melibatkan perasaan. Oleh karena itu, hasil karyanya pun terasa lebih hidup dan tidak hambar.
ADVERTISEMENT
Selain itu, jika ditilik dari segi plot, hasil karya AI selalu menyajikan jalan cerita yang sederhana dan umum. Kembali pada alasan bahwa AI menggunakan karya-karya yang sudah ada sebelumnya sebagai referensi, jelas ia akan menyusun karyanya sesuai dengan referensi yang paling dominan dan umum. Walaupun begitu, sebenarnya kekurangan ini dapat disiasati dengan cara memberikan perintah yang benar-benar spesifik kepada AI tesebut. Seperti plot nya bagaimana, twist nya bagaimana, ending nya bagaimana, dan lain sebagainya. Tapi, bukankah hal tesebut terasa sangat merepotkan? Malahan seperti kita saja yang membuat cerita tersebut dan AI hanya membantu mengetik tulisannya saja. Lagi-lagi inilah kekurangan AI. Kreatifitas dalam karya sastra merupakan faktor utama, sementara AI tidak memilikinya. AI bekerja dengan melihat karya-karya lain yang paling umum. Sehingga, jika ingin membuat cerita atau karya prosa lain, tetap kita sebagai manusia yang memiliki kreatifitaslah yang diunggulkan. Mau bagaimanapun, karya sastra adalah pekerjaan hati dan sebuah program komputer takkan bisa menirunya. Sekali lagi, AI hanya membantu. AI idak bisa dijadikan rujukan mutlak.
ADVERTISEMENT

Lalu apakah kita tidak boleh menggunakan AI untuk menciptakan karya sastra seperti cerpen atau puisi?

Jawabannya boleh-boleh saja.

AI sebagai bagian dari perkembangan teknologi tak bisa kita tolak kehadirannya. Kita bisa tetap memanfaatkan AI, Walaupun hasilnya memang tak bisa sempurna. Dan disinilah peran manusia tetap dibutuhkan. Kita tidak bisa menerima dengan “mentah” hasil kerja AI. Ia tetap harus dikoreksi, diperiksa, dan digubah oleh manusia agar hasilnya menjadi lebih baik dan lebih layak. Pun sejauh ini, hal-hal berkaitan dengan sastra hasil AI yang memiliki rasa layaknya hasil karya manusia asli masih tak bisa ditiru oleh AI.
Jadi, pada intinya penggiat sastra tak perlu terlalu khawatir dengan keberadaan AI atau Kecerdasan Buatan tersebut. Pada dasarnya, pekerjaan sastra memang tidak bisa digantikan oleh robot karena sastra sangat mengedepankan perasaan dan robot tidaklah memiliki perasaan. AI mungkin dapat meniru kecerdasan manusia, tetapi ia tidak bisa meniru cara kerja perasaan dan kreatifitas manusia.
ADVERTISEMENT