news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Memutus Pasal Karet UU ITE

Hemi Lavour Febrinandez
Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research
Konten dari Pengguna
17 Maret 2021 14:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hemi Lavour Febrinandez tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: kominfo.go.id
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: kominfo.go.id
ADVERTISEMENT
Usaha untuk mengatasi masalah pemidanaan akibat beberapa pasal karet dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sepertinya tidak menemui titik terang. Tidak dimasukannya undang-undang tersebut ke dalam daftar 33 Rancangan Undang-Undang (RUU) pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 menjadi petunjuk awal ke mana arah implementasi UU ITE selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Arahan Presiden Joko Widodo terkait pasal multitafsir di UU ITE pada Rapat Pimpinan TNI dan Polri di Istana Negara pada pertengahan Februari 2021, ternyata tidak mampu mendorong undang-undang ini masuk dalam Prolegnas Prioritas. Hal tersebut dapat terjadi akibat Tim Kajian UU ITE bentukan Menkopolhukam yang saat ini masih bekerja. Sehingga pemerintah belum dapat menentukan sikap untuk merevisi atau tidak merevisi undang-undang tersebut.
Melalui Keputusan Menkopolhukam Nomor 22 Tahun 2021, dibentuklah dua sub tim yang memiliki tupoksi berbeda. Pertama, Tim Perumus Kriteria Penerapan UU ITE. Mereka ditugaskan untuk merumuskan kriteria implementatif atas pasal-pasal multitafsir dalam UU ITE. Pada saat menjalankan tugasnya, tim ini akan meminta masukan dari para pihak yang pernah menjadi pelapor dan terlapor UU ITE.
ADVERTISEMENT
Kedua, Tim Telaah Subtansi UU ITE. Tugasnya adalah untuk menelaah beberapa pasal yang dianggap multitafsir dalam UU ITE untuk menentukan perlu atau tidaknya dilakukan revisi terhadap undang-undang tersebut. Rekomendasi dari tim ini akan sangat membantu pemerintah untuk dapat melihat secara objektif dan holistik terkait permasalahan yang terdapat dalam UU ITE.
Pilihan pemerintah membentuk dua sub tim kajian UU ITE membuka beberapa peluang terkait subtansi hukum hingga implementasi undang-undang ini, dan perubahan terhadap UU ITE bukanlah pilihan utamanya. Jika semangat awalnya adalah untuk memutus pasal karet dalam UU ITE, maka revisi telah menjadi langkah yang tepat.
Permasalahan UU ITE terletak pada beberapa muatan isi yang dapat diinterpretasikan secara sepihak oleh para pihak hingga aparat penegak hukum. Proses penegakan hukum akan berjalan dengan baik jika tidak terbentur dengan norma yang bermasalah. Namun, pembentukan Tim Perumus Kriteria Penerapan UU ITE merupakan bukti bahwa yang terlebih dahulu akan diperbaiki adalah mekanisme penegakan hukum.
ADVERTISEMENT
Harus diingat bahwa ilmu perundang-undangan tidak mengenal istilah “pedoman interpretasi hukum” yang dibuat oleh cabang kekuasaan eksekutif. Hal itu tidak terdapat pada hierarki peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undang. Metode interpretasi atau penafsiran undang-undang harusnya hanya dapat dilakukan oleh lembaga peradilan.
UUD 1945 hanya memberikan hak kepada cabang kekuasaan yudikatif untuk melakukan penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan. Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 yang memberikan kewenangan pada Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Seperti Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Sedangkan, kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar diberikan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi.
Oleh karena itu, terdapat kekeliruan pada logika hukum (legal reasoning) yang digunakan oleh pemerintah yang ingin menyusun sebuah pedoman interpretasi hukum UU ITE. Tindakan pemerintah yang melewati garis batas ketentuan dalam konstitusi dapat memicu penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Padahal, masih ada jalan lain yang dapat diambil oleh pemerintah sesuai dengan porsi kewenangannya.
ADVERTISEMENT
Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 memberikan kewenangan kepada presiden untuk mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. Oleh karena itu, langkah yang harusnya diambil oleh pemerintah terkait pasal-pasal multitafsir dalam UU ITE adalah dengan melakukan revisi. Membuat sebuah pedoman dari undang-undang yang bermasalah hanya akan memperpanjang kekeliruan dalam menyusun aturan pelaksanaannya.
Proses penataan regulasi hukum harus dilakukan secara sistematis dari hulu ke hilir. Aturan pelaksana terkait UU ITE dapat dituangkan ke dalam peraturan pemerintah, peraturan presiden, hingga peraturan menteri. Tetapi dengan syarat, pasal-pasal yang dianggap multitafsir dicabut dari UU ITE. Memberikan penjelasan terhadap pasal-pasal tersebut seperti yang terdapat di Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU ITE ternyata tidak mampu memutus rantai pemidanaan.
ADVERTISEMENT
Contohnya Pasal 27 ayat (1) UU ITE pasca-perubahan yang diberikan tambahan pada bagian penjelasan, yaitu tentang maksud dari “mendistribusikan”, “mentransmisikan”, hingga “membuat dapat diakses”. Memberikan penjelasan pada pasal multitafsir tenyata tidak mampu menghentikan laju pemidanaan terhadap korban kekerasan berbasis gender. Seperti Baiq Nuril yang merupakan seorang penyintas kekerasan seksual, namun harus menghadapi vonis hukuman pada tahun 2018. Terbitnya amnesti dari Presiden Joko Widodo membuktikan bahwa ada kekeliruan dari ketentuan hukum yang didakwakan kepada Baiq Nuril, karena kasus tersebut telah melaju hingga kasasi di Mahkamah Agung.
Pengalaman objektif yang dimiliki oleh pemerintah terkait UU ITE seharusnya telah cukup untuk menjadi alasan untuk menghapus pasal karet dalam undang-undang tersebut. Memberikan tafsir pada bagian penjelasan ternyata tidak cukup untuk menghentikan jerat pasal karet UU ITE.
ADVERTISEMENT
Walaupun tidak ada di daftar Prolegnas Prioritas 2021, pemerintah masih memiliki pilihan untuk memasukkan RUU ITE ke dalam daftar kumulatif terbuka. Peluang tersebut dibuka oleh Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang memberikan hak kepada Presiden atau DPR untuk mengajukan RUU di luar daftar Prolegnas. Sehingga harapan terkait perubahan UU ITE dapat kita tumpangkan kepada sikap pemerintah berdasarkan hasil kerja tim kajian. Itu pun kalau pemerintah benar-benar berkeinginan untuk menghapus pasal multitafsir dalam undang-undang tersebut.