Konten dari Pengguna

Candi Prambanan: Sakralitas dan Estetika dalam Bingkai Kapitalisme

Hendra Aprianto
Mahasiswa Magister Sastra Universitas Gadjah Mada dan Pegiat Komunitas Jangkah Nusantara. Sebagai filolog amatir, bekecimpung didunia sastra Jawa dan sekitarnya, dan aktif kegiatan budaya
9 Desember 2023 11:31 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hendra Aprianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto pengunjung pameran patung KAWS di Candi Prambanan
zoom-in-whitePerbesar
Foto pengunjung pameran patung KAWS di Candi Prambanan
ADVERTISEMENT
Perspektif Candi Prambanan Sebagai Situs Spiritual dan Ibadah
Candi Prambanan, sebagai salah satu warisan budaya Indonesia. Bagi umat Hindu, Candi Prambanan dianggap sebagai tempat sakral—khususnya untuk upacara dan peribadatan. Dalam pandangan Jameson, ruang sakral ini memiliki nilai budaya dan sejarah yang mendalam, mengandung simbolisme yang mencerminkan sistem nilai masyarakat tradisional.
ADVERTISEMENT
Secara pengertian umum, umat Hindu memandang Candi Prambanan adalah peninggalan Kerajaan pada masa Dinasti Sanjaya. Pada masa tersebut difungsikan sebagai tempat persembahyangan (ibadah) untuk memuja Tuhan. Dalam ajaran agama Hindu yaitu memahami Ida Sang Hyang Widhi Wasa, manifestasinya sebagai tiga dewa utama (Tri Murti)—Dewa Brahma (Kekuatan dan Sinar untuk Penciptaan Dunia), Dewa Wisnu (Kekuatan dan Sinar untuk Pemeliharaan Dunia), Dewa Siwa (Kekuatan dan Sinar untuk Peleburan/Pemurnian Dunia).
Selain sebagai tempat untuk melakukan peribadatan kepada para dewata, candi menjadi sebuah penanda dan sumber pengetahuan akan besarnya peradaban Hindu di Nusantara pada masa lampau. Hal tersebut, yang membuat umat Hindu Nusantara meyakini dan memandang Candi Prambanan adalah tempat sakral yang harus dijaga nilai-nilai sakralitasnya. Dalam ranah candi sebagai sumber pembelajaran dan pengetahuan sejarah, harus mengedepankan batasan dalam konteks wilayah sakral dan yang dapat dinikmati sebagai tempat wisata.
ADVERTISEMENT
Penentuan kuasa batasan wilayah itu dalam konsep tempat agama Hindu dinamakan dengan Tri Mandala. Wilayah paling depan dari tempat suci yang biasanya digunakan sebagai tempat parkir umat atau wilayah di mana aktivitas non peribadahan dapat dilakukan oleh umat Hindu maupun non-Hindu dinamakan Nista Mandala. Bagian kedua yaitu, Madya Mandala yaitu bagian yang harus netral dari aktivitas non peribadahan dan masih bisa dimasuki oleh umat non Hindu.
Namun secara etika mengharuskan mematuhi ketentuan-ketentuan yang ada, misalnya perempuan sedang tidak masa haid, pakaian sopan, memakai kain dan selendang karena sudah ada beberapa bangunan suci yang berfungsi sebagai penjagaan. Wilayah ketiga merupakan area steril dari umat non Hindu karena wilayah tersebut tempat suci yang khusus sebagai tempat ibadah, tidak untuk tujuan wisata dinamakan dengan Utama Mandala.
ADVERTISEMENT

Budaya Pop dan Pemanfaatan Candi Prambanan

Dalam era modern, peran dan fungsi candi ini mengalami perubahan yang signifikan. Konsep Tri Mandala ini yang seharusnya dapat diterapkan di Candi Prambanan jika memang pemerintah memandang dan sepaham dengan nilai historis dari umat Hindu Nusantara kalau Candi Prambanan adalah tempat ibadah, sebagaimana yang telah dilakukan di Candi Borobudur.
Adanya pengembalian fungsi dan adanya batasan untuk wilayah peribadahan serta dibuat ekslusif untuk keperluan upacara keagamaan maupun ibadah. Jadinya dipermudah akses untuk tempat ibadah pada hari tertentu atau jika memang diberikan akses untuk setiap harinya dengan ketentuan tidak boleh menaiki candi atau menggunakan dupa yang dapat merusak candi.
Hal ini menciptakan ketegangan antara nilai-nilai tradisional dan tuntutan estetika modern. Jameson memungkinkan melihat fenomena ini sebagai contoh konkret, bagaimana ruang fisik yang spesifik secara alam bawah sadar dapat disusupi oleh kepentingan kapitalistik.
ADVERTISEMENT
Para konsumeris memungkinkan secara tidak sadar, bahwa konser yang diselenggarakan dapat menimbulkan getaran suara dari speaker atau sound yang digunakan. Suara tersebut dapat membuat getaran sekitar candi, sehingga lambat laun dan tidak langsung akan mempengaruhi bangunan candi itu sendiri.
Konser musik yang diselenggarakan di Candi Prambanan menggunakan sound system yang besar. Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelestari cagar budaya akan dampak buruk yang dihasilkan dari speaker.
Kebisingan dalam keadaan normal yang bersumber dari pengunjung dan kendaraan pada Candi Prambanan mencapai 69,4 dB. Dirunut dari media massa aturan batas kebisingan tertuang pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-48/MENLH/11/1996 bahwasannya dalam situs cagar budaya yaitu tidak boleh melampaui bata 60 desibel (dB).
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 29-30 September 2017 di Candi Prambanan akan diselenggarakan konser musik “Jogjarockarta International Rock Music Festival”. Hal tersebut membuat geram dan protes keras dari para arkelog. Kasus penolakan itu sudah sepantasnya karena konser lain yaitu Prambanan Jazz menurut kajian Tim Balai Konservasi Borobudur menyimpulkan bahwa tingkat kebisingan sudah melebihi ambang batas yang sudah ditentukan.
Fakta pemberian izin konser sering kali bertolak belakang dengan yang semestinya. Pada tahun 2017 tersebut juga sedang diadakan acara Tawur Agung. Ketika itu intensitas musik Tawur Agung diminta untuk diturunkan, umat Hindupun menyanggupinya. Selain bertolak belakang, kebijakan-kebijakan memang terkadang terkesan bertepuk sebelah tangan.
Pada umumnya umat Hindu yang mengikuti acara Tawur Agung sebagai bagian dari pelaksanaan Hari Raya Nyepi, pada kejadian itu tidak diperbolehkan masuk ke zona satu yaitu Utama Mandala. Alasan ketidakbolehan memasuki zona utama tersebut ialah dapat mengganggu aktivitas kunjungan wisata.
ADVERTISEMENT
Kalau ditarik dari fundamental dalam UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya disebutkan bahwa Cagar Budaya dapat dimanfaatkan dengan asas yang paling utama ialah memperhatikan aspek agama. Asas kemanfaatan untuk pariwisata di tempatkan pada poin ketujuh.
Dalam pernyataan sikap yang dikeluarkan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) pada tanggal 26 September 2017 juga ditegaskan bahwa Kompleks Candi Prambanan merupakan situ agama yang memiliki nilai sakral bagi umat Hindu. Wilayah bagian dua diadakan pagelaran konser maupun pameran seni masih masuk lingkung pagar candi.
Menurut Jameson memungkinkan memandang fenomena tersebut (posmo) dapat memproyeksikan dari kapitalisme lanjut. Postmodern ini dalam konteks kebudayaan merambah berbagai bidang seperti, arsitektur, seni, musik, film, fashion dll. Kebudayaan dalam ranah ini terkadang memiliki karakteristik bahwa otoritas tokoh dalam memaknai kebudayaan telah kehilangan dominasinya. Selaras dengan penelitian Hidayatullah yaitu menjelaskan bahwa subjek bisa saja memaknai suatu kebudayaan tanpa mempertimbangkan aspek yang menekankan ideologis atau nilai-nilai substansial di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Meleburnya nilai-nilai dari suatu kebudayaan memandang kebudayaan postmodern bersifat datar atau rendah. Tentu saja, hal itu didasarkan pengaruh kapitalisme lanjut sebagai ekonomi yang merambah pada bidang-bidang kebudayaan. Dengan kata lain, kebudayaan dijadikan objek komersialisasi oleh sistem kapitalisme. Ketika berbicara mengenai komoditas kapitalisme dalam ranah kebudayaan tentu saja tetap memperhitungkan produksi, distribusi, dan konsumen—tidak terlepas juga mengenai kerugian dan keuntungan.

Ketidaksadaran Dalam Framing Media Massa

Menurut Jameson melalui Setiawan dan Sudrajat (2018) terdapat empat unsur mengenai masyarakat. Pertama, masyarakat ditandai dengan kedangkalan dan kekurangan kedalaman. Kedua, masyarakat ditandai oleh kepura-puraan atau kelesuan emosi. Ketiga, masyarakat ditandai oleh hilangnya kesejarahan. Yang terakhir, masyarakat ditandai sejenis teknologi baru yang berkaitan erat dengan masyarakat itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Jameson juga menyoroti peran media massa dalam merekayasa citra dan memengaruhi persepsi terhadap ruang. Dalam konteks Candi Prambanan melibatkan media massa untuk mempromosi konser dan pameran. Kawula muda secara tidak sadar terbawa narasi yang disebarkan melalui platform Instagram, Twitter, dan Tiktok. Sehingga gelaran konser dan pameran seni banyak dihadiri masyarakat.
Menurut Jameson melalui Akmal (2018), narasi dapat menjadi media untuk menjembatani pengalaman individu dengan totalitas sosialnya melalui proses-proses yang dinamakan transkode. Mediasi ini menjadi terma dialektikal klasik untuk sebuah hubungan antara analisis formal atasseni dengan basis sosialnya, atau antara pergerakan internal politik suatu negara dengan basis ekonominya.
Pameran seni patung KAWS di Candi Prambanan yang diselenggarakan pada tahun 2023 banyak menarik minat masyarakat. Trend tersebut juga secara masif tersebar di media sosial dengan berswafoto bersama patung karya seniman Brian Donnelly.
ADVERTISEMENT
Pameran seni patung tersebut diselenggarakan pada bagian Madya Mandala. Ketentuan dan perizinan gelaran konser maupun pameran seni bisa jadi dipermudah untuk pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya. Namun, di sisi lain secara tidak sadar melupakan aspek-aspek yang lain.
Menurut Fredric Jameson dalam bukunya berjudul “The Political Unconscious: Narrative as a Socially Symbolic Act” memberikan gagasan bahwa setiap tindakan narasi dan representasi budaya tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa mempertimbangkan konteks politik dan ideologisnya. Jameson menekankan bahwa ada suatu lapisan bawah sadar politik yang melibatkan unsur-unsur ideologis dan kepentingan kelas yang tersembunyi di dalamnya.
Yang dipertanyakan, apakah boleh menyelenggarakan di zona Madya Mandala yang notabenenya sangat dekat dengan bagian candi. Terlepas kedekatan dengan wilayah Utama Mandala, yaitu nilai spiritual ketika memasuki area Madya Mandala memang secara ketidaksadaran tidak memperhatikan kesucian, misalnya saja perempuan sedang haid.
ADVERTISEMENT

Pemungkas

Artikel ini tidak mempertentangkan mengenai konflik kepentingan antara agama dan kapitalistik pada bangunan cagar budaya. Artikel ini berharap menjadi refleksi yang terus tergaung bahwasannya apa yang umat Hindu lakukan di Candi Prambanan mendapatkan perlakukan yang berat sebelah tangan dengan kepentingan-kepentingan lain.
Melalui kaca mata perspektif Fredric Jameson, kita dapat melihat Candi Prambanan sebagai perwujudan dualitas antara sakralitas dan estetika kontemporer dalam masyarakat kapitalistik. Transformasi fungsi candi ini mencerminkan pertarungan antara nilai tradisional dan dorongan kapitalistik.
Penting untuk terus merenung tentang bagaimana masyarakat dapat memahami dan mengelola perubahan ini. Mempertahankan keaslian nilai-nilai budaya untuk memenuhi tuntutan estetika dan ekonomi kontemporer.