Melihat Perlawanan Menentang Perusakan Alam dari Sejarah

For Humanity
Pegiat Sosial, Tim Misi Kemanusiaan Institute
Konten dari Pengguna
10 Februari 2022 12:32 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari For Humanity tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokpri. Ilustrasi
zoom-in-whitePerbesar
Dokpri. Ilustrasi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa hari belakangan ini publik tengah menyoroti persoalan yang terjadi di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. Seakan ingatan kita mengulas, mengenai perjuangan para petani Kendeng yang menolak eksploitasi alam di Pegunungan Kendeng. Ini sekadar informasi sejarah, yang sekiranya dapat menjadi kisah mengenai pentingnya menjaga alam dari kerusakan.
ADVERTISEMENT
Pada abad ke 18, Kalimantan Selatan mulai dikuasai oleh kolonialis Belanda. Baik dalam aspek ekonomi hingga politik pemerintahan di Kesultanan Banjar. Campur tangan Belanda dalam urusan internal Kesultanan ini kemudian ditetapkan sebagai latar belakang utama terjadinya Perang Banjar pada 1859.
Realitanya, apabila ditinjau secara kronologis sejarah, maka kita akan menemukan upaya eksploitasi alam yang dilakukan perusahaan pertambangan Belanda bernama Oranje Nassau di Kalimantan Selatan pada 1849.
Tidak sekadar merusak alam, Oranje Nassau menerapkan sistem kerja rodi, yang merugikan masyarakat sekitar. Khususnya terhadap suku-suku Dayak, yang kelak bergabung bersama dengan pasukan Pangeran Antasari menentang kolonialis Belanda. Hal ini dijelaskan pada situs Kesultanan Banjar, di mana "Bulan Jihad" Sang Panglima Burung suku Dayak, bertempur bersama Gusti Zaleha, cucu dari Pangeran Antasari.
ADVERTISEMENT
Hal ini senada seperti ungkapan Tjilik Riwut, pahlawan nasional dari Kalimantan Tengah dalam memoarnya. Perjuangan rakyat Kalimantan selain dari menentang hadirnya kaum kolonialis adalah menjaga alam dari kerusakan. Begitu pula dengan "Bulan Jihad" selaku pemimpin suku Dayak Kenyah kala itu.
Alhasil, pertambangan Oranje Nassau berhenti beroperasi akibat kerusakan yang dialaminya. Serbuan pasukan Pangeran Antasari bersama suku Dayak, berhasil mengalahkan kolonialis Belanda yang berjaga di dalam benteng.
Tidak ada kata kompromi dengan Belanda, hingga Pangeran Antasari wafat pada Oktober 1862. Perjuangannya kemudian dilanjutkan oleh Muhammad Seman, ayah dari Gusti Zaleha. Pendekatan militeristik penguasa kolonial semakin membuat para pejuang mantap dalam melakukan perlawanan.
Situs pertambangan Oranje Nassau adalah saksi bisu sejarah menentang eksploitasi alam di Banjar, Kalimantan Selatan. Tentu ada hikmah yang dapat kita petik dari kisah sejarah ini. Semoga kita dapat terus menjaga kelestarian alam demi anak cucu kita kelak.
ADVERTISEMENT