Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Perang Dingin di Tanah Palestina
12 Mei 2024 9:36 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari For Humanity tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Fakta menarik yang dapat dipahami dalam krisis kemanusiaan di Palestina kini justru kembali merujuk pada konflik yang pernah terjadi pada masa Perang Dingin pada tahun 1945 silam. Eksistensi Amerika, Inggris, dan Rusia (dahulu Soviet), pada status klaim dan dukungan politis maupun militer tentu menjadi faktor utamanya. Tak lain demi eksistensi negara-negara yang dahulu dikenal sebagai negara-negara adidaya.
ADVERTISEMENT
Dalam perseteruan ideologis, sudah menjadi pemahaman umum dalam konflik antara blok kapitalis dengan sosialis/komunis. Termasuk dalam tarik ulur dukungan terhadap negara-negara yang dianggap "pro" dengan ideologi tertentu. Walaupun realita sejarah ini masih dapat diperdebatkan melalui pendekatan lainnya.
Namun, pada prinsipnya, keterlibatan Rusia, China, dan Korea Utara yang mendukung kemerdekaan Palestina, sudah menjadi common enemy bagi negara-negara kapitalis. Khususnya Amerika, yang dianggap sebagai negara yang tidak sehaluan usai berakhirnya Perang Dunia 2. Hal inilah yang menjadi pemantik terjadinya peristiwa Nakba di tahun 1948, lantaran Inggris dianggap telah berlaku tidak sesuai dengan kesepakatan internasional kala itu.
Aksi-aski perlawanan terhadap pasukan IDF (Israel) di seluruh wilayah Palestina tentu tak luput dari dukungan negara yang anti Sekutu. Pun dengan gerakan intifada yang meletus pada tahun 1987 dan 2000 silam. Dukungan Rusia menjadi faktor utama pasukan Hamas. Hal yang menarik adalah aduk kekuatan militer dan senjata, yang masih dipraktikkan oleh kedua negara pasca Perang Dingin.
ADVERTISEMENT
Seteru Ideologis Pasca Perang Dingin
Adu kekuatan ini dapat dianggap sebagai uji militer antara Amerika dengan Rusia dalam hal alutsista. Walau secara politis, dukungan Rusia juga tidak dapat dinafikan dalam skala internasional. Termasuk dalam upaya meraih simpati negara-negara yang memberi dukungan sosial kepada rakyat Palestina. Diplomasi multilateral dalam domain ideologi inilah yang kemudian membuat Amerika beserta sekutunya menaikkan tensi politik internasionalnya.
Jika dilihat dari untung rugi, tentu dalam perang hanyalah kerugian yang akan dialami. Namun, dalam aspek politik internasional, dukungan negara-negara yang pro terhadap bangsa Palestina, menjadi bukti bangkitnya solidaritas kemanusiaan. Identifikasi dari paham sosialisme yang memang menjadi musuh negara-negara kapitalis. Apalagi jika dikaitkan dengan kebangkitan solidaritas bangsa-bangsa Muslim. Dalam hal ini seperti sikap negara Yaman, Lebanon, dan Iran.
ADVERTISEMENT
Maka, kecamuk Perang Dingin akan dapat ditelaah menjadi semakin kompleks sesuai dengan perkembangan zaman. Termasuk faktor solidaritas internasional yang dapat memantik aksi-aksi heroik di negara yang tengah "adu eksistensi" tersebut. Tentu masih kita ingat, bagaimana kisah tentara US, Aaron Bushnell, yang melakukan protes terhadap sikap Amerika dengan cara ekstrem. Pun terhadap dukungan dari kaum intelektual dunia, yang semakin gencar mengecam tindakan Amerika dalam mendukung okupasi Israel.
Kecamuk krisis kemanusiaan di Palestina dapat diprediksi akan memakan waktu yang cukup panjang. Mengingat seruan gencatan senjata PBB tidak dihiraukan oleh Israel. Ditengah sikap politik negara-negara Eropa yang mulai memberi dukungan politik kepada Palestina. Titik penting dari jatuhnya ekonomi dunia, seperti yang terjadi pada masa Perang Dingin di tahun 90an. Lantaran aksi boikot produk-produk "Barat" yang semakin masif dengan hadirnya negara-negara Eropa secara resistensif.
ADVERTISEMENT
Kiranya, Francis Fukuyama dapat memprediksi lebih jauh lagi dalam era kejatuhan kapitalisme dunia. Dengan kehadiran solidaritas atas daras humanisme, melalui peristiwa yang terjadi di Palestina saat ini. Kekuatan besar dunia tengah memasuki era akhir dunia. Resistensi ideologis yang kembali terjadi dalam wujud modern, lebih condong kepada lahirnya internasionalisme. Walau dalam beberapa pandangan dapat memberi ruang kritik yang proyektif.