Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Gus, Sekadar Gelar Biologis?
8 Desember 2024 15:17 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Hendra J Kede tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penulis dibesarkan dalam kultur surau sebagaimana sebagian besar anak-anak dan pemuda pedesaan seumuran penulis yang lahir di suku Minangkabau (Sumatera Barat).
ADVERTISEMENT
Penulis pertama mengaji ke Surau Andalas. Gurunya kami panggil dengan sebutan Buya. Di samping mengajar anak-anak membaca Al Quran, Buya juga guru tariqot di kampung penulis, Jorong Mandahiling, Nagari Lawang Mandahiling, Kecamatan Salimpaung, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
Surau kedua tempat penulis menamatkan belajar membaca Al Quran dikenal dengan nama Surau Jirek. Penulis memanggil guru mengaji dengan sebutan Pak Adang (Pak De dalam bahasa Jawa). Beliau suami dari Adang (Bu De) penulis. Murid yang lain bermacam-macam memanggilnya sesuai panggilan kekerabatan adat dengan beliau.
Kebetulan anak beliau seumuran penulis. Kami saling memanggil nama saja. Sementara teman mengaji yang lain memanggilnya sesuai umur saja, yang tua memanggil nama, yang muda memanggil Uda (kakak).
ADVERTISEMENT
Penulis belajar membaca Al Quran satu ayat demi satu ayat di kedua surau di atas semenjak kelas 1 Sekolah Dasar (SD) sampai pertengahan kelas 6 SD, kurang lebih 6 (enam) tahun tidur di surau itu.
Penulis tidak pernah mengaji di Surau Tangah Padang. Surau yang gurunya adalah kakek kandung penulis dari pihak ayah, Datuak Perpatih. Mungkin karena jaraknya yang agak jauh dari rumah penulis.
Surau Piliang merupakan surau ketiga penulis. Istilah ibu penulis, surau tempat belajar halal haram. Maksudnya, tempat belajar tafsir, fiqih, nahu, sharaf. Penulis belajar dan tidur malam selama 3 (tiga) tahun lebih di sini.
Penulis memanggil guru dengan sebutan Pak Adang karena beliau kakak kandung ayah penulis. Beliau ndak punya panggilan khusus juga di masyarakat karena punya surau tafsir tersebut. Panggilannya sesuai hubungan kekerabatan adat saja. Sering dipanggil Tuak Mongguang karena beliau menyandang gelar adat yaitu Datuak Tumamggung.
ADVERTISEMENT
Semoga semua guru-guru di atas dilapangkan kuburnya, diampuni dosanya, dan kelak dimasukkan Allah SWT ke dalam jannah, Allahumma aamiin.
Anak-anak dari semua guru penulis di atas, termasuk anak-anak laki-laki dari kakek penulis yang punya Surau Tangah Padang, tak satu pun yang punya panggilan khusus karena ayahanda mereka punya surau. Surau yang sekaligus merupakan rumah pribadi beliau-beliau.
Bahkan saat penulis merantau ke Koto Baru Padang Panjang, di lembah gunung Marapi dan gunung Singgalang, melanjutkan situasi ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Koto Baru Padang Panjang, penulis juga menemukan situasi yang hampir sama dengan di kampung penulis.
Itulah nampaknya yang mempengaruhi persepsi dan pemahaman penulis ketika membaca nama Gus Dur di koran dinding sekolah MAN waktu itu, penulis mengira itu sekadar nama orang saja yang tertulis di Akta Kelahiran.
ADVERTISEMENT
Saat itu penulis sudah mulai mengetahui siapa Gus Dur, siapa ayahanda beliau, siapa kakek beliau. Namun tidak pernah terfikirkan oleh penulis saat itu kalau Gus itu sebuah panggilan kehormatan, bukan sekadar nama semata.
Bahkan suatu waktu penulis sempat berpikir dan bertanya-tanya, kok banyak sekali orang di Jawa punya nama depan sama ya, Gus?
*
Setelah penulis merantau ke tanah Jawa setelah menamatkan studi di MAN Koto Baru, Padang Panjang, baru menyadari kekeliruan penulis selama ini.
Ternyata Gus itu sebutan atau panggilan kehormatan, salah satu contohnya Gus Dur panggilan dari almukarrom (alm) K.H. Abdurrahman Wahid. Bukan nama beliau.
Persepsi penulis saat itu, menghubungkan sebutan Gus itu dengan status sosial keagamaan seseorang terkait keilmuan agamanya.
ADVERTISEMENT
Kalau di Minangkabau ada sebutan Buya, Angku Imam, Angku Khatib, di Jawa mungkin ada sebutan Gus.
Begitulah persepsi awal sekali penulis tentang sebutan Gus saat baru tiba di tanah Jawa, sekitar tahun 1993.
*
Seiring perjalanan waktu dan makin seringnya interaksi penulis dengan berbagai komunitas di Jogja, pemahaman penulis mulai berkembang pula, termasuk tentang panggilan Gus.
Pada tahap ini, penulis mengetahui kalau Gus itu panggilan kehormatan kepada anak-anak laki-laki Kiai pengasuh pondok pesantren di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), tanpa memperhatikan umur maupun tingkat keilmuan agamanya.
Walau masih belajar di tingkatan Sekolah Dasar (SD), seorang anak laki-laki Kiai pengasuh Pondok Pesantren NU akan dipanggil Gus. Bahkan panggilan ini bisa dipakai sampai tua seperti Gus Dur dan Gus Mus (almukarom K.H. Mustafa Bisri).
ADVERTISEMENT
Hal ini tentu saja mengubah lagi pemahaman penulis tentang sebutan Gus. Kalau Kiai itu adalah ahli dalam keilmuan agama Islam, namun Gus belum tentu sudah sampai tahap ahli secara keilmuan agama Islam.
Pada tahap ini, kesimpulan penulis, Gus itu semata panggilan karena hubungan biologis ayah dan anak antara seorang laki-laki dengan seorang Kiai pengasuh Pondok Pesantren NU.
Sehingga, pada tahap ini juga, penulis memaklumi saja apa pun realitas sosiologis seorang Gus. Bermacam-macam memang realitas itu. Penulis maklumi saja.
*
Perjalanan hidup penulis yang makin bertambah usia dan luas interaksi, ternyata semakin tercerahkan juga pemahaman penulis tentang panggilan Gus. Pemahaman awal sekadar pemahaman biologis semata, ternyata makin berkembang pula.
Gus itu tentulah, menurut kesadaran baru penulis itu, anak laki-laki yang lahir dari sebuah proses biologis orang tuanya yang dimulai dengan kalimat bismillah dan dilanjutkan dengan proses yang penuh dengan adab Islamiyah sebagai bagian ibadah kedua orang tuanya yang Kiai dan Nyai.
ADVERTISEMENT
Gus itu tentulah anak laki-laki yang selama berada dalam rahim ibunya yang seorang Nyai sarat dengan aktivitas kesholehan kedua orang tuanya. Dibacakan ayat-ayat Al Quran oleh ayah bundanya setiap saat. Mendengarkan lantunan ayat-ayat suci Al Quran yang dibaca santri di masjid pondok setiap saat.
Gus itu tentulah semenjak lahir sampai dewasa dibesarkan dalam tradisi pondok pesantren, baik tradisi keilmuan agama, ibadah, maupun adab.
Maka tidak sedikit Gus yang kelak menjadi Kiai besar, bahkan lebih besar dari kebesaran nama orang tuanya, seperti Gus Dur atau almukarrom K.H. Abdurrahman Wahid.
Maka kepada Gus yang seperti ini, bukan saja penulis sangat hormat karena Gus yang melekat di depan namanya, namun penulis menghormatinya karena beliau adalah bagian dari warisatul anbiya, bagian dari pewaris Nabi.
ADVERTISEMENT