Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.0
Konten dari Pengguna
Manajemen Risiko Ibu Penjual Lontong Sayur untuk Sarjanakan Anak
23 Januari 2025 14:57 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Hendra J Kede tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Cerita ini adalah kisah nyata yang terjadi di rentang waktu Desember 1993-Agustus 2001. Cerita tentang perempuan orang tua tunggal yang sehari-hari berjualan lontong sayur di SMPN Salimpaung, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
ADVERTISEMENT
Suami ibu itu sudah meninggal dunia di awal Desember 1993 dengan meninggalkan tiga anak dan satu wasiat. Wasiat itu disampaikan secara lisan hanya beberapa jam sebelum beliau menghembuskan napas terakhir di RS Yarsi Bukittinggi: agar anak-anak mereka disekolahkan setinggi-tingginya tanpa memaksakan keinginan masing-masing anak.
Anak pertama mereka, laki-laki, pada Mei 1993 sudah berangkat ke Jogja untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi setamat dari MAN Koto Baru Padang Panjang. Saat dia berangkat ke Jogja, ayahnya masih sehat wal afiat.
Anak kedua, juga laki-laki. Saat itu masih kelas 1 di SMAN Salimpaung. Sedangkan anak ketiga, satu-satunya perempuan, baru berusia tiga tahun.
Hingga Sang Ibu wafat, semangat untuk menjaga wasiat suaminya tak pernah luntur. Itulah yang terus diingat oleh ketiga anak-anak beliau.
ADVERTISEMENT
🍀🍀🍀
Suatu hari saya pernah bertanya ke beliau, kapan waktu terberat bagi beliau secara finansial? Beliau lalu mengidentifikasi dua waktu terberat secara finansial setiap tahunnya: saat libur panjang sekolah usai kenaikan kelas dan saat bulan Ramadan.
Hari libur usai kenaikan kelas kira-kira sepanjang 40 hari, sedangkan libur bulan puasa dan Ramadan adalah 35 hari. Di kedua waktu itulah ia tak bisa berjualan lontong sayur di warungnya yang berada di pekarangan SMP dekat rumah. Tapi di antara kedua hari libur panjang itu, libur kenaikan kelaslah yang paling berat.
Libur panjang kenaikan kelas seolah juga bertumpuk seluruh kebutuhan keuangan. Mulai dari membayar kos si sulung yang ada di Jogja, membayar uang semester, biaya awal tahun ajaran anak dua dan ketiga, plus kebutuhan rutin dan badunsanak sebagai orang Minangkabau.
ADVERTISEMENT
Kebutuhan badunsanak itu seperti misalnya, kebutuhan karena ada keluarga atau tetangga yang punya hajatan seperti resepsi pernikahan, khatam Al-Quran, dan lain sebagainya.
Setelah saya mengikuti pelatihan Governance, Risk Management, and Compliance for Executive Level (Advance Level) dan dinyatakan lulus oleh BNSP di akhir 2024 lalu, ingatan saya otomatis terbawa ke dialog dengan ibu penjual lontong sayur yang wafat 31 Agustus 2001 itu.
Saya tiba-tiba saja punya sudut pandang baru dan memberi makna baru tentang bagaimana ibu itu mengidentifikasi dua masa tersulit bagi finansialnya dan bagaimana mitigasinya. Ternyata, tanpa beliau sadari, beliau telah menerapkan prinsip-prinsip risk management walaupun hanya berbasis pengalaman empirik jatuh bangun belasan tahun menjalankan warung lontong sayur.
Hal tersebut beliau lakukan demi satu tujuan: menjalankan wasiat suami untuk menyekolahkan ketiga anak mereka setinggi mungkin sesuai dengan kemauan masing-masing anak tanpa memaksa demi "memperbaiki masa depan" mereka.
ADVERTISEMENT
Secara konsisten, ibu tersebut menyisihkan uang hasil penjualan lontong sayurnya setiap hari, apa pun kondisi jualan hari itu, entah sepi atau ramai. Ia lalu menyimpan uang tersebut di bawah karpet plastik alas meja makan pembeli lontong sayur setiap harinya, dan melupakannya sambil berdoa agar Allah SWT memberikan keberkahan hingga uang itu bisa digunakan membiayai anak-anaknya sekolah dan untuk bertahan hidup.
Beliau sangat disiplin melakukan kebiasaan ini, bahkan sampai hari beliau dipanggil menghadap Allah SWT.
Menurut konsep Governance, Risk, and Compliance (GRC), di tahap ini beliau telah menjalankan prinsip-prinsip governance alias tata kelola sederhana dengan sangat baik. Ia lalu menjaga konsistensinya dengan tetap fokus pada tujuan mengapa ia melakukan hal tersebut berdasarkan manajemen risiko.
ADVERTISEMENT
Setiap libur sekolah atau menjelang Hari Raya Idul Fitri, baru uang itu diambil dan digunakan sebagaimana tujuannya.
Saya pernah bertanya, apakah beliau pernah menghadapi suatu kondisi yang menggodanya untuk tidak menyisihkan hasil jualan, atau sekadar tergoda menggunakan uang tersebut untuk hal lain.
Beliau menjawab, pernah, bahkan sering. Namun saat godaan itu datang, beliau selalu ingat wasiat suami beliau dan masa depan anak-anaknya. Dua hal itulah yang memberikan kekuatan luar biasa kepada beliau agar tetap konsisten dengan aturan yang beliau buat untuk dirinya sendiri.
Di tahap ini, saya mengidentifikasi, beliau sesungguhnya telah menerapkan prinsip-prinsip Compliance atau kepatuhan terhadap ketentuan yang telah beliau buat sendiri. Aturan atau hukum itu perlu beliau taati demi terwujudnya wasiat suami dan masa depan anak-anaknya dalam tata kelola warung lontong sayur yang berbasis manajemen risiko.
ADVERTISEMENT
Beliau sesungguhnya hanya perempuan biasa tamatan SD yang tak punya akses ke sumber-sumber informasi karena tinggal di pelosok kaki Gunung Marapi, tepatnya di Jorong Mandahiling, Nagari Lawang Mandahiling, Kecamatan Salimpaung, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat sana. Namun tanpa sadar, beliau telah menemukan dan menerapkan prinsip GRC secara terintegrasi dengan semangat.
Barakallah, alhamdulillah, wasyukurillah. Apakah ini yang dinamakan ilmu laduni? Saya tak punya kapasitas keilmuan untuk menjawabnya, tapi yang jelas, rasa-rasanya kalau bukan karena campur tangan dan kasih sayang Allah SWT, rasanya tidak mungkin beliau akan menemukan prinsip-prinsip tersebut.
🎓🎓🎓
Anak pertama ibu itu kini telah menamatkan pendidikan S1 di dua disiplin ilmu: Teknik Kimia dan Ilmu Hukum, serta pendidikan S2 Magister Hukum.
ADVERTISEMENT
Sedangkan anak dua, tak mau kuliah dan memilih menggunakan uang itu untuk tes masuk sebagai abdi negara TNI setamat SMA. Namun rupanya Allah berkehendak lain. Pada akhirnya, ia menjadi Wali Nagari atau Kepala Desa setempat.
Sedangkan anak perempuan satu-satunya, si bungsu yang baru kelas 5 SD saat Ibu wafat, kini sudah menamatkan S2 Magister Pendidikan dan sekarang berprofesi sebagai guru.
Tata kelola warung lontong sayur yang (ternyata) ditatakelola berbasis manajemen risiko dan kepatuhan yang relatif konsiaten oleh seorang ibu tamatan SD ternyata telah mampu mengantarkan anak-anak beliau ke masa depan yang lebih baik dibanding ibu penjual lontong sayur itu dan suaminya.
Semoga beliau mendapatkan pahala yang tiada akhir sampai hari kiamat atas usaha beliau tersebut. Pahala yang akan membawa kenikmatan alam kubur laksana taman-taman surga bagi beliau dan suami beliau. Dan akhirnya kelak mendapatkan kenikmatan surga bersama suami dan keturunan beliau.
ADVERTISEMENT
Dan semoga Allah SWT berkenan melipat gandakan balasan kebaikan untuk beliau dan suami beliau mengingat beliau tidak pernah merasakan kenikmatan melihat anaknya pakai toga wisuda karena beliau telah wafat saat anak pertamanya sedang skripsi dengan mewariskan semangat pantang menyerah kepada ketiga anak-anaknya.
Allahumma aamiin.