Nurul Arifin nan Lebih Suka Terbuka Terbanyak Dibanding Tertutup

Hendra J Kede
Ketua Dewan Pengawas YLBH Catur Bhakti / Partner pada Kantor Hukum E.S.H.A and Partners / Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI 2017-2022 / Ketua Pengurus Nasional Mapilu-PWI 2003-2013 / Wakil Ketua Dept. Kerjasama dan Komunikasi Umat ICMI Pusat
Konten dari Pengguna
16 Maret 2023 8:24 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hendra J Kede tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pemilu. Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pemilu. Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Terkait judul dan isi tulisan ini, penulis hanya menggunakan penelusuran berita-berita dan data-data yang dipublikasikan melalui media, bukan berdasarkan wawancara langsung dengan Nurul Arifin.
ADVERTISEMENT
Salah satu isu yang mewarnai ruang publik saat ini adalah perdebatan sistem terbuka atau sistem tertutup yang akan diterapkan dalam Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tahun 2024.
Dinamika terkait wacana tersebut tidak saja terjadi di ruang pengadilan Mahkamah Konstitusi yang sedang memeriksa, mengadili, dan nanti memutuskan apakah judicial review atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) akan mengabulkan permohonan pemohon agar menyatakan Pemilu dengan sistem terbuka adalah inkonstitusional atau konstitusional, namun juga terjadi di ruang-ruang publik, bahkan sudah masuk ke ruang privat, bahan obrolan di meja makan keluarga misalnya.
Penulis tidak hendak membahas itu dari sisi hukum, apakah terbuka atau tertutup yang konstitusional sebagaimana sedang dibahas dalam sidang-sidang Mahkamah Konstitusi tersebut.
ADVERTISEMENT
Dan tidak juga penulis akan membahas dalam tulisan ini tentang mana yang lebih menguntungkan bagi rakyat pemilih dan mana yang lebih baik untuk pengembangan kualitas demokrasi di Indonesia pada masa depan.
Apalagi membahas materi tersebut dengan mengait-ngaitkannya dengan peran oligarki dalam politik kontestasi di Indonesia, khususnya politik kontestasi pemilihan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tahun 2024, mana yang lebih diinginkan oligarki dan mana yang kurang disukai oligarki? Bukankah oligarki tidak mengenal istilah suka dan tidak suka terkait ini? Beda dengan politisi populer dan politisi aktivis partai?
Penulis hanya mau menulis seputar penelusuran penulis tentang pengalaman salah seorang tokoh politik populer terkemuka Partai Golkar, Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Anggota Komisi I DPR Fraksi Golkar, yaitu Nurul Arifin yang pernah ikut kontestasi pemilihan Anggota DPR pada semua sistem, terbuka dan semi tertutup.
ADVERTISEMENT
Kebetulan saat penulis menjalankan amanah sebagai Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat (KI Pusat) periode 2017-2021/2022 Komisi I DPR dan KI Pusat merupakan mitra, sehingga sering mendengar bagaimana kritisnya Nurul Arifin menyoroti sebuah isu.
Menurut penelusuran penulis, Nurul Arifin punya pengalaman baik dan buruk terkait sistem terbuka dan tertutup pemilihan Anggota DPR RI. Tentu saja di seberang beliau ada orang satu partai satu dapil yang memiliki pengalaman berseberangan pada saat bersamaan dengan beliau. Nurul Arifin sakit, yang seberang senang, dan sebaliknya. Cuma penulis tidak tahu siapa saja orangnya. Data penulis agak terbatas tentang perolehan suara caleg tiap dapil.
Tahun 2004 Nurul Arifin maju sebagai Calon Anggota DPR RI dari Partai Golkar. Sebagaimana dilaporkan salah satu media nasional pada 19 Maret 2013 pukul 11.55 WIB, Nurul Arifin mendapatkan suara terbanyak di antara sesama Caleg Partai Golkar di dapilnya saat itu. Partai Golkar mendapat 1 (satu) kursi. Namun walaupun bukan menggunakan sistem tertutup murni, yang dilantik sebagai Anggota DPR Fraksi Golkar bukanlah Nurul Arifin sebagai peraih suara terbanyak.
ADVERTISEMENT
Sistemnya waktu itu terbuka dan nomer urut. Artinya, pemilih dapat mencoblos nama caleg dan partai, namun jika suara yang diraih caleg tersebut tidak mencapai nilai Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) maka nomer urut yang berlaku, sekalipun, ekstremnya, hanya kurang 1 (satu) suara dari jumlah BPP.
Nurul Arifin saat itu berada pada nomer urut 3 (tiga) Daftar Caleg Partai Golkar dengan suara terbanyak, namun tidak mencapai nilai 1 (satu) kursi. Suara Nurul Arifin kurang dari nilai BPP. Dampaknya Nurul Arifin harus merasakan bagaimana pahitnya tidak terpilih walaupun paling banyak dipilih rakyat.
Mempelajari sejarah pemilihan umum semenjak era reformasi hanya segelintir orang yang pernah meraih Bilang Pembagi Pemilih.
Saat memimpin Mapilu-PWI Pusat, 2003-2013, penulis pernah memberikan Agugerah Mapilu-PWI kepada peraih BPP hasil Pemilu 2004 pada puncak Hari Pers Nasional (HPN) di Pekanbaru tahun 2005 dan hasil Pemilu 2009 pada puncak HPN Palembang tahun 2010.
ADVERTISEMENT
Peraih Anugerah Mapilu-PWI tahun 2005 hanya 2 (dua) orang yaitu Dr. Hidayat Nur Wahid dan Saleh Yasid. Peraih Mapilu-PWI rajin 2010 ada 3 (tiga) orang yaitu Puan Maharani, Ibas Yudhoyono, dan Caroline Natasha.
Walaupun saat itu para pemerhati Pemilu  meyakini hampir tidak akan ada anggota DPR yang terpilih melalui keterpenuhan BPP, namun masih ada yang terpilih dengan BPP. Sistem terbuka dan nomer urut masih membuka peluang ada Anggota DPR terpilih bukan berdasarkan nomer urut.
Beda lagi dengan Pemilihan Umum 2009 yang murni sistem suara terbanyak. Setelah suara Partai Peserta Pemilu dihitung dan mendapatkan kursi, maka caleg dengan suara terbanyak akan dilantik, tidak peduli apakah suaranya mencapai BPP atau tidak. Dan tidak peduli dia berada pada nomer urut berapa.
ADVERTISEMENT
Pada Pemilu tahun 2009 ini Nurul Arifin melenggang ke Senayan karena memiliki suara terbanyak di antara temannya satu partai pada dapil yang sama, walaupun suaranya tidak memenuhi BPP.
Gantian yang punya nomer urut kecil yang merasakan sakitnya tidak terpilih karena sistem terbuka murni namun dengan perolehan suara kecil. Sebagaimana sakitnya tidak dilantik hasil Pemilu 2004 karena sistem terbuka dan nomer urut yang dirasakan oleh Nurul Arifin.
Kedua pengalaman ini seharusnya dielaborasi lebih luas dan dikontekskan dengan kebutuhan masyarakat akan kinerja parlemen ke depan oleh Mahkamah Konstitusi dalam mengambil putusan tentang sistem apa yang akan diterapkan pada Pemilu Anggota DPR RI tahun 2024 mendatang. Bukankah ada yang mengatakan suara rakyat adalah suara Tuhan?
ADVERTISEMENT
Jangan lupa, sistem tertutup murni itu adalah murni nomer urut dan tidak membuka peluang sedikitpun kepada masyarakat pemilih untuk memilih nama calon. Dan hampir tidak ada peluang bagi calon populer yang memiliki elektabilitas tinggi sekalipun namun tidak dekat dengan pimpinan partai untuk terpilih sebagai Anggota DPR RI. Bukankah penentuan nomor urut masih semacam hak prerogatif Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Partai Politik peserta Pemilu?
Nurul Arifin nampaknya akan terpilih kembali sebagai Anggota DPR RI dari Partai Golkar. Semua modal untuk terpilih sekarang dimiliki seorang Nurul Arifin. Populer, elektabilitas tinggi, punya daya kritis tinggi dalam memperjuangkan suara konstituennya, dan di Partai Golkar menjabat Wakil Ketua Umum, jabatan yang nampaknya menjamin Nurul Arifin akan dapat nomer urut kecil, bahkan paling kecil, nomer urut 1 (satu).
ADVERTISEMENT
Kalau dulu Nurul Arifin suka sistem terbuka suara terbanyak, kita berharap sebagai Waketum Golkar beliau masih suka dan mau memperjuangkan sistem terbuka suara terbanyak itu, walaupun sistem tertutup murni sekalipun peluangnya terpilih ke Senayan sangat-sangat terbuka lebar pada Pemilu 2024 tahun depan.
Semoga demokrasi Indonesia ke depan semakin berperadaban Indonesia untuk mencerahkan semesta dalam berdemokrasi (meminjam tagline Muktamar Muhammadiyah di Solo beberapa waktu lalu),  Aamiin