Konten dari Pengguna

Pengalaman Mendebarkan Masuk Ruang Operasi Sebagai Pasien

Hendra J Kede
Ketua Dewan Pengawas YLBH Catur Bhakti / Partner pada Kantor Hukum E.S.H.A and Partners / Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI 2017-2022 / Ketua Pengurus Nasional Mapilu-PWI 2003-2013 / Wakil Ketua Dept. Kerjasama dan Komunikasi Umat ICMI Pusat
21 Januari 2025 11:19 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hendra J Kede tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bedah. Foto: MAD.vertise/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bedah. Foto: MAD.vertise/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Setelah dikonsultasikan ke beberapa dokter spesialis, drg.Kharisma Nisa, Sp.BMM merekomendasikan agar dua gigi geraham saya diambil melalui operasi dengan bius tidur. Di telinga saya, istilah bius tidur terdengar lebih nyaman dan tidak begitu mengejutkan dibanding istilah "bius total". Jadi tidak begitu deg-degan mendengarnya.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya beliau menjelaskan tentang mengapa tidak cabut biasa saja. Di samping kadar gula darah saya yang sedang agak naik, sekeliling salah satu gigi geraham yang akan dicabut ternyata ada kista gigi yang perlu dikuret. Kalau tidak diambil, khawatir bisa sampai ke sinus.
Kista gigi. Itu istilah yang baru lagi bagi saya. Selama ini saya hanya tahu istilah kista terkait alat reproduksi perempuan saja.
Saya mencoba untuk berdiskusi dengan beliau agak lama. Saya menangkap kesan, beliau detail sekali dan tidak tergesa-gesa. Padahal siang itu, saya adalah pasien BPJS beliau yang ke-35 di Rumah Sakit Pusat Kesehatan Ummat (RS PKU) Muhammadiyah Surakarta.
Itulah yang membuat saya yakin akan ditangani oleh orang yang sangat profesional secara keilmuan dan keterampilan, plus punya empati yang kuat. Alasan terakhir bagi saya yang seorang pasien BPJS sangat penting.
Ilustrasi periksa gigi ke dokter. Foto: Shutterstock
Jumat, 17 Januari 2025 pagi, sekitar pukul 08.30 WIB, saya ditelepon petugas Tempat Pendaftaran Pelayanan Rawat Inap (TPPRI) RS PKU Muhammadiyah Surakarta. Ada tiga hal yang diberitahukan.
ADVERTISEMENT
Pertama, tindakan operasi dijadwalkan pukul 16.00 WIB. Kedua, saya harus puasa makan dan minum mulai jam 09.00 WIB. Ketiga, kamar kelas 1, sesuai kelas BPJS saya, sedang penuh sehingga saya akan dititipkan sementara di kelas VIP.
What?? Terus terang saya terkejut dengan poin ketiga itu. Dititipkan di ruang VIP, ruang di atas kelas 1, sampai ruangan kelas 1 kosong?
Sesampainya di RS PKU Muhammadiyah Surakarta, segala administrasi yang diperlukan sudah diurus petugas dan sudah saya serta istri tanda tangani juga. Petugas TPPRI juga sudah mengambil sampel darah, mengukur tensi, dan memasang alat untuk nantinya disambungkan dengan infus di punggung tangan saya. Setelah itu baru saya diantar ke kamar VIP 2 di Gedung K.H Suja' lantai 7 untuk stand by menunggu jadwal operasi.
ADVERTISEMENT
Meski berusaha tenang, tapi tetap saja perawat dan istri bisa merasakan kegelisahan saya--atau mungkin bisa dibilang takut juga. Seumur hidup saya belum pernah sekali pun dibius total, pun belum pernah masuk ruang operasi. Segala pengetahuan menakutkan tentang bius total dan operasi muncul di benak, mengalahkan segala pengetahuan menyenangkan tentang keduanya.
Tentu banyak pembaca yang akan bertanya-tanya, pengetahuan dari mana? Saya ini termasuk orang yang sudah menonton film soal kesehatan. Nah dari situlah saya bisa mendapat gambaran soal ruang operasi dan bagaimana dokter bersama timnya bekerja, baik yang operasinya lancar atau menghadapi masa-masa kritis.
Plus saya juga dapat pengetahuan dari cerita mulut ke mulut. Kalau yang ini malah lebih banyak yang menakutkan. Maklum, informasinya hanya "denger-denger" saja, bukan berbasis pengetahuan yang memadai. Celakanya, informasi dengan sumber seperti inilah yang banyak menggoda pikiran saya saat stand by di kamar menunggu diantar petugas ke instalasi bedah sentral.
ADVERTISEMENT
Namun kalau saya ingat cerita istri saat dibius operasi caesar ketika lahiran anak kedua, saya jadi agak tidak tegang. Apalagi kalau saya ingat kata-kata drg. Nisa, "Operasi itu hal yang biasa saja, tawakal saja pada Allah SWT", saya jadi tambah tenang.
🦷🦷🦷
"Assalamualaikum, izin Bapak, ganti baju dulu ya, Pak, dengan baju operasi. Setelah itu Bapak akan kami antar ke instalasi bedah sentral," suara lembut perawat itu membuat detak jantung saya makin kencang. Inilah pertama kalinya jantung saya berdetak begitu kencang setelah mendengar informasi dari suara yang ramah dan lembut.
Sudah tidak ada pilihan. Istri saya dengan cetakan membantu mengganti baju dengan baju operasi. Sesekali dia melirik saya sambil ngomong, "Tenangke pikir dan hatimu jo..."
ADVERTISEMENT
Saya sudah mau membantah, tapi tertahan. Sekilas terlintas di pikiran: ikuti saja sarannya, toh itu saran berdasarkan pengalaman empirik istri masuk ruang operasi.
Awalnya saya akan diantar pakai kursi roda ke instalasi bedah sentral. Tapi menjelang berangkat berubah menjadi pakai tempat tidur yang bisa didorong. Alamak! Kok seperti adegan di film-film itu.
Sepanjang jalan menuju instalasi bedah sentral yang terlihat hanya langit-langit koridor rumah sakit. Benar-benar persis di film. Bedanya cuma perjalanannya pelan dan santai, bukan bergegas karena emergency. Jalan pelan itu cukup untuk menenangkan hati saya.
Tibalah saya di depan pintu masuk instalasi bedah sentral. Istri saya hanya boleh mengantar sampai sini. Tentu sebagai orang kesehatan juga, istri sudah tahu. Selanjutnya saya akan masuk hanya bersama petugas saja.
ADVERTISEMENT
Sebelum berpisah, saya pegang tangan istri. Jujur saja, bayangan yang muncul di benak saya mirip adegan film lagi. Bisa saja ini terakhir kali saya menyentuh tangan istri jika ada apa-apa dengan proses anestesi dan operasi nanti. Di situlah dalam hati saya meneguhkan keyakinan bahwa kesembuhan itu sepenuhnya maqom Allah SWT dan yang saya jalani ini hanya semata melaksanakan perintah Allah SWT, berikhtiar mengobati penyakit.
Keyakinan itu muncul saat saya melihat pintu ruangan bedah ditutup dari dalam. Saya dan pasien-pasien lain mulai antre masuk ruang operasi. Segala macam doa dan wirid sangat membantu di ruangan yang dingin dengan perawat ruang bedah yang hilir-mudik. Segala macam memori dan pengetahuan menakutkan sedikit demi sedikit mulai terkikis dengan doa dan wirid itu.
ADVERTISEMENT
🦷🦷🦷
"Mohon maaf, Pak, ruang operasi Bapak pindah ke lantai dua, ya," kata salah satu petugas dengan ramah.
"Kenapa, Mas?"
"Biar Bapak ndak lama antrenya. Ada perpanjangan operasi yang sedang ditangani," jawab dia.
"Oh, nggih Mas. Matur suwun," jawab saya singkat. Dalam hati saya mencoba mengendalikan pikiran-pikiran negatif tentang istilah perpanjangan operasi itu.
Sampai di lantai dua, saya masuk lagi ruang antre tapi tidak lama, cuma sekitar lima menit. Saat di lorong menuju operasi, drg. Nisa menyapa saya. Sapaan dokter yang hendak mengoperasi saya itu sama sekali tidak menambah kencang detak jantung saya. Aneh kan? Saya justru merasa makin tenang. Ternyata Allah SWT menanamkan ke jiwa saya tentang intonasi suara yang tenang dari dokternya, bukan dari kehadiran dokternya. Barakallah.
ADVERTISEMENT
Jam 17.00 WIB saya sudah berbaring di ruang operasi, di bawah lampu sorot operasi yang ada di film-film itu. Bedanya lampunya belum dihidupkan saja. Petugas yang bekerja sesuai tupoksi masing-masing mulai mempersiapkan pelaksanaan operasi.
"Bapak kami bius melalui infus, ya," terdengar suara dokter anestesi berbicara kepada saya.
"Iya, dokter," jawab saya sambil berdoa.
Saat tangan saya mulai merasa dingin, saya sadar jika obat biusnya sudah dimasukkan. Kesadaran saya pun mulai turun.
"Bismillah ya, Pak," itu kalimat dari drg. Nisa yang saya dengar terakhir sebelum kesadaran saya hilang.
"Bismillahirrohmanirrohiim."
Ilustrasi dokter. Foto: Shutterstock
Saya rasanya ingin memberontak, bicara, bahkan menjerit dan bilang kalau saya masih sadar, obat bius belum bekerja, jangan ambil tindakan operasi dulu. Tapi mulut saya sama sekali tidak bisa digerakkan. Tangan kaku, kaki kaku. Saya masih berusaha sekuat tenaga untuk berteriak atau memberi kode dengan menggerakkan tangan atau kaki, atau sekadar menggelengkan kepala. Tapi semua itu gagal total.
ADVERTISEMENT
Perlahan mata saya bisa dibuka, tapi yang terlihat hanya cahaya putih. Jari-jari tangan dan kaki mulai bisa digerakkan, tapi lidah tetap kaku. Tidak ada tanda-tanda saya sedang dioperasi. Saya lega. Sebentar lagi saya bisa memberitahu jika obat biusnya belum bekerja sepenuhnya.
"Pak, bisa julurkan lidahnya?" suara perawat terdengar jelas dan saya ikuti sesuai arahan. "Bagus. Tangan dan kaki bisa digerakkan ndak, Pak?"
Saya gerakkan tangan dan kaki, sudah bisa sedikit bergerak.
"Bagus, selangnya kami ambil ya, Pak," lanjutnya dan saya hanya mengangguk pelan. "Ambil napasnya pelan-pelan ya, Pak. Jangan panik, nggih, Pak. Pelan-pelan saja napasnya."
Pandangan saya mulai bisa mengidentifikasi benda-benda sekeliling meski samar-sama. Jam dinding samar menunjukkan pukul 18.05 WIB. Setelah pandangan saya agak bagus dan kaki tangan mulai bisa digerakkan, jam menunjukkan 18.20 WIB.
ADVERTISEMENT
"Alhamdulillah." Baru saya sadar kalau operasinya sudah selesai dan sukses. Saat saya ingin berteriak jika saya masih sadar tadi rupanya bukan menjelang tindakan operasi, melainkan saat proses penyadaran usai operasi. Lega sekali. Alhamdulillah wa syukurillah.
18.30 WIB saya rasanya ingin buang angin dan berhasil. Alhamdulillah. 15 menit kemudian keinginan itu muncul lagi, dan berhasil juga.
"Alhamdulillah, ya Rabb."
Buang angin setelah operasi adalah tanda operasinya berhasil dan saya sudah bisa makan dan minum. Setidaknya begitu yang saya ketahui selama ini. Jam 19.00 WIB saya sudah dalam perjalanan dengan tempat tidur roda menuju kamar perawatan.
🦷🦷🦷
Sabtu, 18 Januari 2025, setelah sarapan saya membuat tulisan ini sambil berbaring di tempat tidur. Melalui tulisan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada istri saya, Ira Retnoati, dan anak saya, Muhammad Azzam Rambun Aufklarung, yang telah mendampingi dan menemani penulis sejak persiapan operasi sampai selesai.
ADVERTISEMENT
Terima kasih kepada dokter, perawat, dan pegawai RS PKU Muhammadiyah Surakarta yang telah membantu kelancaran operasi, khususnya kepada dokter dan perawat instalasi bedah sentral dan perawat poli gigi.
Terima kasih juga kepada dr. Nanda Kusumasari, Sp,JP.FIHA yang memeriksa kondisi jantung saya untuk menjalani operasi dengan ramah.
Dan lebih khusus lagi penulis ucapkan terima kasih tak terhingga kepada drg. Kharisma Nisa, Sp.BMM yang telah melakukan operasi dan memperlakukan saya dengan sangat baik.
Dan juga saya ucapkan terima kasih kepada BPJS Kesehatan yang telah membiayai semua operasi ini.
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal bahkan dengan balasan yang lebih baik kepada panjenengan semuanya dan keluarga panjenengan semua.
Semoga RS PKU Muhammadiyah Surakarta selalu dapat memberikan pelayanan terbaik seperti yang saya rasakan ini bahkan lebih baik di masa depan. Begitu juga dengan BPJS Kesehatan semoga makin jaya di masa depan dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat luas, aamiin
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, terima kasih.