Konten dari Pengguna

Risiko Reputasi Polri Pasca Perwira Tembak Mati Perwira

Hendra J Kede
Ketua Dewan Pengawas YLBH Catur Bhakti / Partner pada Kantor Hukum E.S.H.A and Partners / Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI 2017-2022 / Ketua Pengurus Nasional Mapilu-PWI 2003-2013 / Wakil Ketua Dept. Kerjasama dan Komunikasi Umat ICMI Pusat
26 November 2024 9:38 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hendra J Kede tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Polri. Foto: Herwin Bahar/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Polri. Foto: Herwin Bahar/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pangkatnya Ajun Komisaris Polisi (AKP). Perwira Pertama. Setara Kapten di TNI.
ADVERTISEMENT
Umur 57 tahun. Tahun depan, seharusnya, pensiun penuh kehormatan dan menjadi kebanggaan anak cucu.
Seseorang dengan pangkat AKP,  padahal memulai karier dari Bintara, tentulah masuk kualifikasi polisi berkarier cemerlang, bahkan sangat cemerlang.
Tidaklah mudah meniti karier yang dimulai dari Brigadir Polisi II, lanjut Brigadir Polisi I, Brigadir Polisi, Brigadir Polisi Kepala, Ajun Inspektur Polisi II, Ajun Inspektur Polisi I, Inspektur Polisi II, Inspektur Polisi I, sampai berpangkat Ajun Komisaris Polisi (AKP).
Menuntut bermacam-macam model pendidikan, pelatihan, dan penugasan selama lebih dari 3 (tiga) dekade pengabdian sebagai anggota Polri pada semua level kepangkatan tersebut, terutama saat kenaikan pangkat dari Bintara ke Bintara Tinggi dan dari Bintara Tinggi ke Perwira Pertama.
ADVERTISEMENT
Hal itu semua untuk memastikan bahwa hanya anggota polri dengan dedikasi luar biasa, punya prestasi luar biasa, punya pendidikan khusus luar biasa, dan memiliki integritas tak tercela yang mampu meraihnya.
Khusus untuk pendidikan dan pelatihan, bentuknya juga beragam, mulai pendidikan dan pelatihan terkait keterampilan kepolisian, pendidikan dan pelatihan terkait kepemimpinan, pendidikan dan pelatihan terkait kepribadian, sampai pendidikan dan keterampilan terkait dengan kematangan mental dan integritas personal.
Seharusnya begitulah portofolio seorang AKP Dadang Iskandar, Kepala Bagian (Kabag) Operasi Polres Solok Selatan, Polda Sumatera Barat.
*
Tiba-tiba saja dunia kepolisian dan penegakan hukum, bahkan dunia politik dan akademis serta LMS, dihebohkan dengan perilaku bertolak belakang AKP Dadang Iskandar dari portofolio yang seharusnya di atas.
ADVERTISEMENT
AKP Dadang Iskandar menembak mati rekan kerjanya sesama perwira pertama polri, AKP Ulil Riyanto Anshari, Kabag Reskrim, di tempat parkir kompleks Polres Solok Selatan, Polda Sumbar, sekitar jam 00.43 WIB, Jumat (22/11/2024).
Tak berhenti di situ, rumah Kapolres pun turut jadi sasaran tembakannya. Beberapa media menyebut sekitar 6 tembakan diarahkan AKP Dadang Iskandar ke arah Rumdin Kapolres pada dini hari itu. Entah apa maksud dan motifnya.
Motif sementara yang diungkap Polda Sumbar tidak kalah mengejutkan dibanding peristiwa itu sendiri. AKP Dadang Iskandar menembak AKP Ulil Riyanto Anshari karena AKP Ulil menangkap pelaku penambang liar galian C yang di-backingi AKP Dadang Iskandar.
Kelakuan seorang Dadang Iskandar itu, walau hanya kelakuan satu orang oknum AKP dari ribuan AKP profesional yang ada di institusi kepolisian, tentu saja mampu menarik perhatian dan keprihatinan hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dan pada saat bersamaan berpotensi menyeret dan mendegradasi  institusi Polri akibat terbentuknya opini publik yang langsung menyasar reputasi Polri sebagai institusi publik yang tupoksinya penegakan hukum dan perlindungan masyarakat.
Sederhananya, risiko reputasi polri langsung muncul ke permukaan dan reputasi polri langsung dipertaruhkan akibat peristiwa tersebut
*
Bagaimana tidak akan menarik perhatian publik, peristiwa penembakan tersebut mendapat liputan luas media masa seluruh Indonesia, termasuk 'liputan' luas netizen di media sosial. Menjadi headline di semua media televisi, radio, cetak, maupun media online.
Dan sekaligus menjadi trending topik pencarian di mesin-mesin pencari seperti Google.
News value peristiwa penembakan tersebut menjadikan topik terkait itu berhari-hari muncul sebagai headline di media massa.
Bermacam-macam sudut pandang (angle) pemberitaan hadir ke ruang-ruang publik sesuai kebijakan masing-masing ruang redaksi secara serentak dan terus-menerus.
ADVERTISEMENT
Media online bahkan hampir tiap saat memperbaharui informasinya. Bukan lagi hitungan hari, bahkan sudah masuk hitungan jam dan menit. Mayoritas berita tersebut menjadi berita dengan trending topik tinggi.
Bagaimana tidak akan punya news value yang sangat tinggi, seorang perwira polisi berpangkat AKP yang seharusnya sebagai panutan dalam mematuhi hukum dan pelindung masyarakat, justru menembak mati rekannya sesama perwira polisi, di markas polisi pula, karena urusan luar pekerjaannya yang melanggar hukum pula. Dan setelah itu masih melepaskan tembakan dari pistol yang dibeli dengan uang rakyat itu ke arah rumah dinas Kapolres sebagai atasan langsungnya.
Tentu saja besarnya liputan ini dapat dimaklumi, karena memang begitulah tugas jurnalis sebagai pilar ke empat demokrasi sekaligus watch dog publik demi melindungi kepentingan publik yang sangat luas.
ADVERTISEMENT
Ujungnya, peristiwa ini tidak hanya mengundang perhatian publik secara luas, namun juga mengundang keprihatinan luas publik, dan boleh jadi mengundang kecemasan publik luas juga.
Dan mau tidak mau, fakta-fakta tersebut sangat berpotensi menimbulkan dampak sangat signifikan terhadap reputasi lembaga kepolisian di mata masyarakat.
*
Pembaca yang budiman tentu sudah sangat paham bahwa reputasi adalah salah satu aset terpenting bagi sebuah institusi publik, apa lagi institusi sebesar kepolisian yang tupoksi utamanya adalah penegak hukum dan pelindung keamanan masyarakat, di mana kepercayaan publik menjadi salah satu pilar utamanya.
Kepercayaan masyarakat kepada institusi penegakan hukum seperti Polri berbanding lurus dengan kinerja polisi dalam menegakkan hukum, menjaga keamanan, dan menjunjung tinggi integritas dan profesionalitas.
ADVERTISEMENT
Kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri juga sangat berkaitan erat dengan keyakinan publik bahwa anggota Polri memiliki kemampuan pengendalian diri di atas rata-rata kemampuan masyarakat luas.
Bukankah kemampuan pengendalian diri di atas rata-rata itu yang menjadi dasar seorang Polisi diizinkan membawa dan menggunakan senjata api walaupun Polisi itu pada dokrinnya adalah sipil?
Sehingga dan oleh karena itu, potensi tercorengnya kepercayaan publik  terhadap institusi Polri sudah selayaknya masuk sebagai salah satu poin sangat penting yang perlu dideteksi dan dimitigasi setiap saat dalam manajemen risiko Polri.
Apalah lagi kepercayaan publik berkaitan langsung dengan persepsi publik dan berkaitan langsung dengan Risiko Reputasi institusi Polri.
*
Seyogyanya memang Polri sama sekali tidak boleh tercoreng reputasinya, khususnya dalam penegakan hukum dan perlindungan kepada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Tercorengnya reputasi Polri sebagai penegak hukum dan pelindung masyarakat akan mempengaruhi tingkat rasa aman masyarakat. Padahal rasa aman masyarakat itu dilindungi secara langsung oleh Konstitusi sebagai Hak Konstitusional masyarakat luas.
*
Reputasi dalam integrasi konsep Governance, Risk Management, and Compliance (GRC) memang perlu mendapat perhatian serius dari sebuah institusi mengingat besarnya dampak dan daya rusaknya reputasi buruk terhadap institusi publik dan kepentingan publik secara keseluruhan.
Risiko Reputasi sebagai bagian integral dari manajemen risiko dan kepatuhan, seharusnya sudah berada pada level kesadaran penuh seluruh keluarga besar Polri dalam penata-kelolaan institusi Polri pada semua lapisan struktur Polri.
Potensi adanya Risiko Reputasi buruk institusi Polri seharusnya sudah dapat terdeteksi setiap hari, dideteksi oleh seluruh insan Polri, dan ditatakelolakan dengan baik melalui prinsip-prinsip mitigasi risiko reputasi oleh setiap tingkatan struktur Polri.
ADVERTISEMENT
Belajar dari Kasus AKP tembak mati AKP, ini menunjukkan bahwa Risiko Reputasi Polri tidak hanya berasal dari faktor eksternal Polri, tetapi juga dari dinamika internal, termasuk dan tidak terbatas terkait konflik-konflik kepentingan anggota Polri di luar tugas-tugas resminya.
Tata Kelola reputasi dengan basis integrasi tata kelola yang baik, manajemen risiko yang efektif dan kepatuhan yang relevan, secara metodologi, mampu mencegah insiden-insiden seperti AKP tembak mati AKP ini.
Governance yang mencakup struktur, kebijakan, dan mekanisme pengawasan yang bertujuan memastikan organisasi berjalan sesuai visi dan misinya seharusnya mampu mendeteksi dan memitigasi setiap celah yang muncul dalam tata kelola, khususnya dalam pengawasan dan pembinaan personel.
Sistem tata kelola yang kuat dan berbasis pada manajemen risiko yang efektif dan kepatuhan yang relevan seharusnya mampu mendeteksi dan mencegah potensi konflik internal Polri melalui mekanisme evaluasi berkala, pembinaan mental, dan penguatan komunikasi internal, bahkan melalui Whistleblowing System.
ADVERTISEMENT
*
Persepsi masyarakat bahwa kepolisian tidak mampu mengelola internalnya sendiri bisa mengikis legitimasi Polri sebagai penegak hukum dan pelindung masyarakat dan dapat berujung pada jatuhnya reputasi Polri.
Dan jatuhnya reputasi Polri sangat berpotensi mengancam proses penegakan dan perlindungan atas hak asasi manusia dan hak konstitusional seluruh warga negara Indonesia yaitu hak untuk mendapatkan rasa aman.
Sehingga tidak ada pilihan bagi pimpinan Polri selain segera melakukan evaluasi menyeluruh tentang Tata Kelola (Governance) institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sudah diterapkan selama ini agar lebih baik (Good Governance) dengan mengintegrasikanya dengan Manajemen Risiko (Risk Management) dan Kepatuhan (Compliance).
Penulis memang pernah mendengar bahwa Pimpinan Polri sudah lama tidak hanya sekadar berusaha menjalankan institusi Polri sesuai konsep tata kelola Polri yang baik (Good Gobernanve), namun telah meningkatkan kualitas Tata Kelola Polri menjadi Tata Kelola berbasis Manajemen Risiko  dan Kepatuhan (Governance, Risk Management, and Compliance).
ADVERTISEMENT
Sehingga ke depannya yang perlu diintensifkan adalah proses meningkatkan kualitasnya baik pada level operasional, manajerial sektor, maupun pada level kebijakan dan strategi agar menjadi budaya yang mendarah daging pada semua keluarga besar Polri.
*
Pada bagian penutup tulisan ini, penulis berharap dan mengimbau penerapan prinsip-prinsip tata kelola kepolisian berbasis Manajemen Risiko dan Kepatuhan di institusi Polri segera terwujud menjadi bagian dari budaya institusi Polri yaitu budaya Governance, Risk Management, and Compliance (GCR Culture) pada semua tingkatan struktur Polri.
Apalah lagi jika memperhatikan bahwa penegakan hukum dan perlindungan masyarakat dari rasa tidak aman merupakan bagian penting dari Asta Cita pemerintahan Presiden Prabowo Subianto serta perintah Konstitusi Negara Indonesia, UUD NRI 1945, maka keharusan percepatan terbentuknya GCR Culture ini menjadi semakin punya argumentasi logis.
ADVERTISEMENT
Dan jangan lupa, risiko apa pun, termasuk risiko reputasi sekalipun, tetap berpotensi memiliki dua kemungkinan dampak yaitu dampak negatif dan dampak positif, tergantung bagaimana memitigasinya dalam tata kelola institusi.
Insya Allah pimpinan Polri bisa....