news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Teror COVID-19 Bus Malam

Hendra J Kede
Ketua Dewan Pengawas YLBH Catur Bhakti / Partner pada Kantor Hukum E.S.H.A and Partners / Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI 2017-2022 / Ketua Pengurus Nasional Mapilu-PWI 2003-2013 / Wakil Ketua Dept. Kerjasama dan Komunikasi Umat ICMI Pusat
Konten dari Pengguna
29 Juni 2021 6:29 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hendra J Kede tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Hendra J Kede, Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI
Ilustrasi bus. Foto: ShutterStock
Hasil swab antigen sebagai syarat naik pesawat ternyata bisa dipalsukan. Pada salah satu penerbangan sebuah maskapai jurusan Surabaya-Pontianak, bahkan surat palsu tanda negatif COVID-19 itu dipegang oleh dua orang penumpang, yang baru diketahui positif COVID-19 setelah mendarat di Pontianak.
ADVERTISEMENT
Bisa dibayangkan kalau penumpang tersebut terinfeksi jenis virus CORONA varian baru yang sangat mudah menyebar, bahkan hanya dengan berpapasan beberapa detik: berapa banyak penumpang lain yang tertular selama penerbangan dua jam tersebut?
Belum lagi petugas darat saat proses check-in dan boarding. Belum lagi kalau semua kursi dalam penerbangan tersebut penuh semua. Dalam ruangan ber-AC pula.
Untungnya diketahui, walaupun terlambat, sehingga dapat segera dilakukan tracking kepada penumpang lain. Bagaimana kalau tidak diketahui? Bagaimana kalau beberapa penumpang lain sudah telanjur tertular namun tidak menyadarinya, tidak sadar sudah punya riwayat kontak dengan penderita positif COVID-19 dan sudah tertular?
Bagaimana kalau penumpang lain yang tertular tersebut lantas naik moda transportasi umum dari bandara ke rumah. Bagaimana dengan nasib keluarga yang kontak erat dengan penumpang pesawat yang tertular dari penumpang positif COVID-19 yang pakai surat negatif COVID-19 palsu tersebut, namun tidak menyadarinya tersebut?
ADVERTISEMENT
Bagaimana kalau dalam penerbangan lain, ada penumpang yang tidak terdeteksi yang juga memakai surat keterangan negatif COVID-19 palsu? Bagaimana kalau lebih dari 2 (dua) orang? Toh calo surat palsu tersebut tidak dapat dipastikan hanya bekerja untuk kedua orang yang terdeteksi tersebut?
Tanpa diteruskan pertanyaan "bagaimana" berikutnya, sudah bisa dibayangkan betapa mengerikannya penyebaran COVID-19 yang diakibatkan surat keterangan palsu dari calo tersebut, yang seharusnya bisa dicegah lebih awal.
*
Melalui berita dapat diketahui bagaimana kondisi Rumah Sakit yang menjadi rujukan penanganan COVID-19, khususnya di Jabodetabek: hampir penuh menuju penuh.
Melalui berita juga dapat diketahui betapa banyaknya penambahan kasus positif COVID-19 yang diminta isolasi mandiri tiap harinya.
Bahkan tidak sedikit isolasi mandiri itu dilakukan dalam rangka menunggu hasil swab PCR keluar dikarenakan menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan, PCR di Puskesmas: menurut staf di kantor penulis, yang satu keluarga positif terpapar COVID-19 berdasar swab antigen, harus menunggu 5-8 hari keluarnya hasil PCR BPJS itu, kalau mau cepat ikut PCR biaya sendiri.
ADVERTISEMENT
*
Bukan tidak mungkin di antara yang positif terpapar COVID-19 merupakan perantau pedagang keliling yang tinggal di kos-kos, sendirian pula. Mengalami ketakutan tidak dapat merawat diri sendiri karena keluarga di kampung. Akhirnya pakai logika sederhana namun sangat berbahaya.
Logika yang dipakai: lebih baik pulang kampung, isolasi mandiri di kampung, kalaupun meninggal dapat dikuburkan di kampung halaman sendiri.
Pilihan pulang kampungnya naik moda transportasi umum yang tidak ketat seperti bandara, stasiun, dan pelabuhan: terminal bus malam atau agen bus malam.
*
Sebagai pengguna rutin bus malam, sebelum COVID-19 ada, penulis dapat membayangkan betapa mengerikannya penularan COVID-19 dengan bus malam yang tidak mensyaratkan surat keterangan swab antigen negatif COVID-19.
Perjalanan dengan bus ber-AC berjam-jam, bahkan ada yang lebih dari delapan jam.
ADVERTISEMENT
Apa iya selama dalam perjalanan selalu pakai masker, tidak melepaskannya sekalipun? Apa iya tidak berbicara sekalipun selama perjalanan? Apa iya tidak ke kamar kecil dalam bus sekalipun? Apa iya tidak batuk sekalipun? Apa iya pakai masker standar?
Belum lagi di rumah makan, berdesak-desakan dan ngantre kamar kecil. Berdesakan ngantre jatah makan malam. Pas makan pastilah masker dibuka. Meja makan yang selesai dipakai, jangankan dibersihkan dengan disinfektan, bahkan sekadar dilap saja seringnya tidak.
Penumpang turun bukan di stasiun, pelabuhan, atau bandara: bisa di mana saja, turun di pinggir tol pun bisa.
Penumpang turun bus tidak diperiksa ini itu, lha saat naik juga paling yang diperiksa suhu tubuh. Setelah turun langsung berinteraksi dengan keluarga melepas rindu.
ADVERTISEMENT
Saat seorang penumpang turun di tempat tujuannya, hampir pasti tidak menyadari kalau salah satu atau salah dua atau salah tiga penumpang lain boleh jadi adalah orang dengan status positif COVID-19 yang sedang menjalankan logika lebih baik isolasi mandiri di kampung halaman tadi.
Bisa pembaca bayangkan sendiri bagaimana mengerikannya penyebaran COVID-19 selanjutnya yang berawal dari bus malam tadi.
*
Sudah saatnya, menurut hemat penulis, mobilitas penduduk dengan moda transportasi bus malam Antar Kota Antar Provinsi ini ditata ketat sesuai kebutuhan pengendalian penyebaran COVID-19 oleh Kementerian Perhubungan, khususnya Ditjen Hubungan Darat.
Jangan lupa, hak masyarakat untuk tahu informasi keamanan perjalanannya, dan kewajiban negara untuk melayani dan memastikan, khususnya Kemenhub, sesuai Pasal 28F UUD NRI 1945, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, beserta aturan turunannya.
ADVERTISEMENT
Semoga diperhatikan, aamiin.