Konten dari Pengguna

Menara Kartu Pluralisme dan Angin Politik Indonesia

Hendra Oktavianus
Diplomat Indonesia. Chevening Alumni. Master on Global Media & Communication dari University of Warwick, UK. Pecinta buku, kamera dan asa.
8 April 2018 9:45 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hendra Oktavianus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menara yang terbuat dari kartu-kartu adalah ilustrasi yang tepat untuk menunjukan rapuhnya Pluralisme di Indonesia saat ini. Tidak perlu menunggu krisis besar untuk meruntuhkan kestabilan sosial Indonesia, hanya perlu angin kecil dari satu-dua kalimat yang di potong dari konteks, direkam dan diviralkan melalui sosial media.
ADVERTISEMENT
Kejadian terakhir yang kembali menggoyang nusantara adalah puisi "Ibu Indonesia" oleh Ibu Sukmawati. Puisi tersebut dipandang menghina Agama Islam karena membandingkan Syariat Islam dengan Konde. Puluhan video, status, tweet bertebaran di media sosial dan diikuti demo tanggal 6 April 2018 untuk memojokan sang puitis agar bernasib sama dengan mantan Gubernur DKI yang saat ini mendekam di bui. Harapan mengulang kemenangan kejadian "411" & "212". Respon masyarakat mungkin akan berbeda apabila mengetahui kejadian puisi Sukmawati mungkin terkait dirinya pernah laporkan Habib Rizieq ke Polisi tahun 2016 silam. Dapat juga melihat statusnya sebagai saudari Megawati, pemimpin partai yang berkuasa dan pendukung terbesar Presiden Joko Widodo. Sebagai pancingan bagi sang Presiden untuk berbuat langkah salah yang siap dilahap lawan politiknya.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari terbaginya pandangan atas puisi Ibu Pertiwi tersebut, kasus ini merupakan cerminan keringnya ranting pluralitas komunitas dan kelompok di pekarangan rumah kita. Masalah yang seharusnya dapat diselesaikan dengan dialog dan musyawarah menjadi bara api yang menyulut dan membakar emosi masyarakat. Perbedaan yang seharusnya merupakan hal biasa di kehidupan berdemokrasi menjadi sesuatu yang harus dibayar sangat mahal belakangan ini.
Pluralisme di Kehidupan Demokrasi Indonesia
Inikah demokrasi untuk rakyat? (Foto: Sébastien Thibault )
Pluralisme bukanlah toleransi. Dia adalah satu keadaan dimana setiap anggota masyarakat bukan hanya mentolerir, tetapi mengerti dan memahami kelompok lain. Paham bahwa perbedaan itu yang membuat kehidupan bermasyarakat menjadi kaya akan ide, ekspresi dan budaya. Membangun dan menjaga pluralisme di Indonesia bukanlah hal mudah. Ribuan pulau, 1.340 suku bangsa, 1.100 bahasa daerah, enam agama resmi, puluhan partai politik adalah sebagian dari variabel yang harus diperhitungkan. Banyaknya faktor membuat bertahannya pluralitas di Indonesia yang umurnya mendekati 73 tahun adalah suatu capaian.
ADVERTISEMENT
Berkali-kali Indonesia diperkirakan pecah berkeping-keping seperti yang terjadi di wilayah Balkan, namun Pancasila masih tetap mempertahankan integritasnya negara kepulauan.
Merajut benang-benang sosial untuk memperkuat lembaran pluralisme dengan menjaga keseimbangan antar kelompok masyarakat. Rakyat Indonesia dapat bangga melihat Sabang sampai Marauke masih di peta nusantara, walaupun saudara kita di Timor Leste memutuskan berwarna abu-abu.
Pluralisme Indonesia dulu begitu dikagumi oleh masyarakat internasional dan menjadi nilai jual dalam negosiasi politik dengan negara sahabat. Indonesia telah menjadi tuan rumah Bali Democracy Forum setiap tahun, memimpin diskusi antar agama dan antar budaya untuk memupuk demokrasi dan paham pluralism di negara sahabat. Namun saat ini tampaknya Indonesia yang harus belajar dari pengalaman dari kejadian yang terjadi di negara lain.
ADVERTISEMENT
Tantangan menjaga kohesi kepluralitasan Indonesia sedang di uji dengan keras di zaman modern. Kecanggihan teknologi dan tersedianya sosial media yang diciptakan memperkuat pertemanan dijadikan alat untuk membuat tembok pemisah kelompok.
Gelembung anggota kelompok untuk saling membenarkan dan mengelus punggung satu sama lain. Membangun pagar tinggi yang menghalangi masuknya ide dan pandangan berbeda dari masyarakat.
Tembok teknologi juga semakin mempertebal pemisah antar kelompok dengan fenomena post-truth, kondisi dimana individu mengambil keputusan bukan berdasarkan logika dan kebenaran namun berdasarkan emosi dan perasaan.
Post-truth yang dinamakan Oxford Dictionary sebagai word of the year 2017 terjadi karena keterbatasan manusia untuk memproses berlimpahnya informasi yang tersedia di era teknologi. Hal ini membuat individu akan memilih informasi yang disukai dan sesuai sebagai dasar pengambilan keputsan.
ADVERTISEMENT
Fragmentasi sosial ini membuat rongga besar di antara tembok-tembok masyarakat yang mudah dieksploitasi oleh pihak yang memiliki kepentingan. Kekosongan yang menjadi pupuk subur bagi fenomena populisme dan resep rahasia dari kemenangan Donald Trump dan Brexit. Perlahan-lahan membuka lobang besar untuk mengubur pluralisme.
Dengan pengguna internet yang mencapai 262 juta orang dan pengguna sosial media teraktif di dunia, Indonesia mempunyai digital literasi yang rendah. Masyarakat Indonesia dengan mudah terpancing hoaks dan hate news selama hal tersebut sejalan dengan pemikiran pribadi atau kelompok.
Menyebarluaskan artikel hanya dari judul, membangun pemikiran dari sumber yang dipertanyakan, mempercayai 100% pemikiran kelompok tanpa menerima pandangan lain. Rakyat Indonesia adalah makanan empuk berita sensasional.
ADVERTISEMENT
Kacamata baru bagi rakyat Indonesia
Ilustrasi kacamata (Foto: Pixabay)
Masalah ini akan menjadi bom waktu bagi pluralisme Indonesia terutama di tengah penyelenggaraan pesta demokrasi yang puncaknya akan terjadi pada tahun 2019. Sayangnya kelemahan ini diketahui oleh para oknum politik yang akan semaksimal mungkin mengeksploitasi kondisi tersebut untuk menggapai kemenangan atau menghancurkan lawan politiknya.
Tidak mudah untuk mencari solusi hal ini. Menyediakan kacamata baru bagi masyarakat Indonesia untuk melihat secara objektif dan secara kritis mempertanyakan sebab atas satu kejadian. Mencari fakta dibalik fenomena.
Masyarakat Indonesia harus sadar bahwa di era ini setiap aktor politik akan berusaha untuk mencari dan menunggangi sensasi untuk menembus gelembung kelompok masyarakat dan selalu menjadi topik di media. Kunci Donald Trump untuk menjadi Presiden Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Prinsip emas yang harus diingat adalah jangan pernah mempercayai para calon pemimpin yang menggunakan kejadian untuk memperkuat pengaruhnya terhadap salah satu kelompok. Merobek robek kain pluralisme Indonesia demi mencapai kursi di Istana Negara. Apabila sang pemimpin mengucilkan satu kelompok untuk mendapatkan suara, hanya menjadi soal waktu sebelum dirinya mengucilkan kelompok anda.
Media di Indonesia, juga harus berusaha sedapat mungkin objektif dan menghindarkan diri dari putaran angin politik dalam meliput satu kejadian. Media outlet tradisional (surat kabar, situs berita, televisi, radio) mungkin akan lebih sulit menjadi netral mengingat tangannya terbelunggu oleh sang pemilik media yang ikut dalam pecaturan politik.
Influencer media sosial akan menjadi kunci pembangun jejaring informasi untuk menyeimbangan pandangan. Menghindarkan untuk menyebarkan informasi dari sudut pandang senasional yang walaupun lebih menguntungkan namun menjadi bahan bakar emosi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Demokrasi dan Pluralisme sangat rapuh dihadapan masyarakat yang marah dan pemimpin yang bersedia mengekspoloitasi kemarahan dan ketakutan mereka untuk kepentingan pribadi atau golongan.
Pluralisme dan Kemanusiaan
Individu secara naluri akan mencari kelompok sosial yang sepaham baik dari segi politik, agama, budaya, hingga bagaimana cara mengaduk bubur. Sifat ini terprogram dalam otak sejak zaman nenek moyang untuk memperbesar peluang hidup. Berkelompok akan membuat berburu, bercocok tanam dan berkembang biak akan semakin mudah.
Namun, seiring dengan bertambahnya waktu dan semakin sempitnya dunia karena berkembangnya teknologi dan transportasi, kehidupan bermasyarakat manusia semakin bercampur. Kebiasaan untuk berkelompok tidak dapat lagi membuat batasan "Kita" dengan "Mereka" karena individu telah saling bergantung satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Pluralisme bukan hanya menjadi kunci bagi negara, termasuk Indonesia untuk tetap utuh menjadi negara, namun bagi umat manusia untuk tetap menjadi manusia.
Kalimat sensasional yang diucapkan oleh salah satu tokoh politik yang menyatakan Indonesia akan bubar pada tahun 2030 dapat menjadi kenyataan apabila Indonesia tidak menjaga tenunan pluralisme dalam lembaran bendera merah putihnya.