Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Mengisi Hari Kebahagiaan Dunia dengan Filosofi Negara Bhutan
20 Maret 2018 7:11 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
Tulisan dari Hendra Oktavianus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setiap tanggal 20 Maret, dunia internasional merayakan hari kebahagiaan dunia (international happiness day). Hari kebahagiaan internasional ini merupakan hari besar di kalender PBB guna meningkatkan kesadaran warga dunia untuk mengingat dan merayakan arti dari kebahagiaan.
Hari kebahagiaan internasional ini diusulkan oleh James Illien, staf ahli di PBB yang terinsiprasi dari negara Bhutan pada tahun 2013. Bhutan merupakan negara di Asia Tengah yang walaupun pendapatan perkapita dan kemampuan ekonominya rata-rata namun mempunyai indeks kebahagiaan tertinggi di Asia dan kedelapan terbesar dunia. Masyarakat Bhutan menikmati keserdehanaan hidup mereka walaupun tidak memiliki hal-hal yang dipandang universal sebagai sumber kebahagiaan seperti mobil mewah, uang ataupun rumah. Kebahagiaan mereka berasal dari komunitas yang sehat, kesenjangan sosial yang rendah, alam yang asri dan keseimbangan kehidupan rohani.
(salah satu ilustrasi Bhutan sebagai tempat paling bahagia di dunia. Sumber: https://www.seebtm.com/en/bhutan-country-happiness/)
ADVERTISEMENT
Bhutan mengukur tingkat kebahagiaan dengan konsep Gross National Happiness (GNH) index yang memperhitungkan kesemibangan aspek kehidupan non materil sebagai faktor. Hal-hal seperti kebersihan lingkungan, ketenangan beragama, kesehatan mental, keseimbangan waktu bekerja dan keluarga menjadi indikator dalam memperhitungkan GNH Indeks. Pendekatan ini dipandang banyak pihak lebih mencerminkan manusia dibandingkan tingkat ukuran ekonomi yang selama ini menggunakan Gross Domestik Product (GDP) yang hanya fokus kepada kapasitas ekonomi.
Hal ini jauh berbeda dengan kebiasaan yang terjadi di dunia, termasuk Indonesia. Kita sering mengidentikan kebahagiaan dengan sesuatu capaian atau benda. Tanpa sadar pandangan tersebut dihasilkan dari ribuan jam dan hari menonton dan mendengar rayuan iklan, poster, film atau radio yang digelombangkan oleh perusahaan-perusahaan agar kita membeli produk atau jasa mereka. Pengaruh ini dibungkus sedemikian rapi sehingga konsep kebahagiaan yang kita kenal terikat dengan produk ataupun jasa.
ADVERTISEMENT
Sosial media juga membuat tabir yang semakin menyarukan inti kebahagiaan. Pikiran kita tertutup oleh posting dan tweet dari kerabat atau artis yang menampilkan kebahagiaan. Kita banyak lupa bahwa sosial media hanya katalog terbaik kehidupan seseorang, tidak melambangkan perjuangan dan sisi negatif mereka.
Untuk itu, kita harus belajar dari Masyarakat Bhutan bahwa kebahagiaan itu ada di sekeliling kita. Ada di piring kita yang terisi nasi pagi ini, tangki bensin yang penuh, senyum anak yang pergi sekolah ataupun sentuhan tangan pasangan kita pada saat pulang kerja. Kebahagiaan itu melihat si dia masuk kelas sambil tersenyum. Bahagia itu berarti masih bisa mendengar suara orang tua kita di telepon. Kebahagiaan itu adalah konsep yang abstrak dan unik bagi setiap individu.
ADVERTISEMENT
Kita terkadang lupa hal-hal kecil yang menyelimuti hidup kita lebih berarti daripada ilusi yang dijual perusahaan. Produk dan jasa yang dijual mungkin dapat membuat anda tambah bahagia tapi tidak akan menggantikan kebahagiaan diri anda yang sebenarnya.
Jadi jangan lupa untuk besyukur, tersenyum dan berbahagia rekan-rekan. Bagikan juga kebahagiaan tersebut ke orang di sekitar anda.
Selamat Berbahagia !!