Konten dari Pengguna

Menyoal Ojek Online: Regulasi, dan Fenomena Kaki Lima

Hendra Oktavianus
Diplomat Indonesia. Chevening Alumni. Master on Global Media & Communication dari University of Warwick, UK. Pecinta buku, kamera dan asa.
28 April 2018 9:17 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hendra Oktavianus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jakarta, kota dengan seribu masalah. Dari banjir hingga penggusuran, tiada hari tanpa berita mengenai kompleksnya problematika ibu kota tercinta. Warna-warni kota selalu dipenuhi dengan ketidakcocokan antar kelompok atau golongan.
ADVERTISEMENT
Salah satu yang mengemuka adalah polemik keberadaan Ojek Online atau yang disingkat Ojol. Awalnya keberadaan Ojol sangat diperlukan warga Jakarta, namun semakin lama semakin menjadi kaki lima. Kumuh, kotor, dan menyebar liar di mana-mana.
Ojek Online (Foto: Ojek Online)
zoom-in-whitePerbesar
Ojek Online (Foto: Ojek Online)
Ojol mulai booming di Jakarta sejak 2010 melalui salah satu perusahaan berjaket hijau yang kemudian diikuti oleh beberapa perusahaan lainnya. Keberadaan Ojol dinilai para ekonom sebagai disruptor yang mengguncang status quo sektor transportasi umum di Indonesia.
Ojol memberikan angin segar untuk warga Jakarta yang dimudahkan tidak hanya dalam sektor transportasi, namun juga jasa pelayanan, pengantaran, kuliner, hingga kesehatan. Konsumen tidak perlu lagi dihantui kemacetan, monster terbesar penduduk Jakarta. Tinggal beberapa sentuhan di layar handphone, kopi lezat yang diidamkan akan tiba ke pangkuan anda dalam beberapa saat.
ADVERTISEMENT
Keberadaan Ojol tentu saja menimbulkan arus balik dari pelaku dan pengusaha transportasi lokal yang rezekinya terganggu. Kedua pihak saling menyebarkan kampanye negatif, menyebarkan isu, serangan fisik, hingga demo besar.
Absennya regulasi yang hingga sekarang masih tarik ulur juga membuat keberadaan Ojol ini berada di ranah abu-abu. Sangat rentan terhadap masalah.
Namun terlepas dari bergunanya Ojol yang memudahkan hidup konsumen dan sebagai sumber rezeki dari pengendara, ada trend negatif yang terus meningkat dari keberadaan Ojol. Keberadaan Ojol mulai menunjukan arah yang sama dengan masalah kaki lima, problem klasik kota Jakarta yang tidak pernah bisa diselesaikan.
Ojol mulai menjamur, mengokupasi, membuat kotor, dan macet suatu tempat, mereka secara tidak beraturan menunggu di tempat ramai pelanggan, di pinggir jalan, di halte, di depan stasiun, terminal, dan sebagainya. Mereka berebut dengan angkot dan bus mengambil bahu jalan yang menghambat jalannya lalu lintas.
ADVERTISEMENT
Absennya kewajiban perusahaan Ojol memperlakukan pengendara Ojol sebagai pegawai juga membuat perusahaan dapat lepas tangan untuk menyediakan pangkalan bagi pengendara Ojol, sebagaimana perusahaan transportasi taksi.
Tidak adanya pangkalan ini menimbulkan keresahan baru di masyarakat yang kerap menemukan pengendara Ojol bergelimpangan menunggu di tanah kosong, pinggir jalan, dan pojok-pojok yang teduh. Tidak jarang mereka juga makan, minum, buang sampah sembarangan hingga buang air seni di berbagai tempat umum sehingga menjadi bau dan kumuh.
Peserta demo Ojek Online (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Peserta demo Ojek Online (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
Ojol saat ini telah menjadi salah satu elemen kehidupan kota besar di Indonesia, sehingga dibutuhkan pengaturan dan regulasi yang tepat untuk tetap menjaga keseimbangan kota. Pemerintah dan publik harus dapat memaksa perusahan Ojol untuk menanggung porsi yang lebih besar dalam tanggung jawab publik dan perlindungan pengendara nya.
ADVERTISEMENT
Hal ini dapat dimulai dengan penyediaan pangkalan agar para pengendara Ojol dapat beristirahat secara layak tidak seperti gembel. Perusahaan Ojol dapat bekerja sama dengan pompa bensin, restoran, tempat peristirahatan, atau bahkan dengan pemerintah kota guna menyediakan pangkalan yang layak.
Jakarta memang bukan ahli dalam menyelesaikan masalah. Setiap permasalahan yang muncul selalu menjadi kesempatan bagi oknum politik. Rakyat kecil selalu diangkat menjadi tameng kebenaran bagi para oknum untuk menjustifikasi pergerakan mereka.
Sudah banyak contoh yang terjadi seperti kasus Kaki lima di depan stasiun dan tempat wisata yang menjadi sumber kemacetan atau rakyat kecil di pinggir sungai yang membuang limbah, dan menjadi sumber banjir. Semua dijustifikasi dengan berkedok atas nama kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Hal ini juga diperburuk dengan keberadaan mafia dan preman yang hidup dari pembiaran masalah yang berkepanjangan.
Keberpihakan untuk rakyat kecil tentu saja merupakan keharusan, namun tidak berarti harus mengikis kepentingan umum. Publik harus dapat melihat dengan objektif penyelesaian dari satu masalah sehingga tidak terjerat arus politik.
Media di satu sisi juga diharapkan bersikap dewasa untuk tidak menyorot sisi drama terus menerus dari penyelesain masalah sehingga mendistorsi opini publik. Keberpihakan terhadap rakyat harus ditunjukan dengan penyelesaian masalah secara holistik dengan tetap mengedepankan kepentingan umum.
Ojol adalah salah satu fenomena positif dari kemerdekaan berkespresi dan berkreasi di Indonesia, dan adalah harapan bersama agar kehadiran pengendara motor berjaket cerah ini dapat dijaga agar tetap menjadi bagian dari solusi ibu kota bukan menjadi masalah kaki lima baru Jakarta.
ADVERTISEMENT