Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.87.1
Konten dari Pengguna
Lensa Kacamata Perjalanan Pendidikan Ki Hadjar Dewantara
30 Oktober 2024 18:33 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Hendra Surya Prasetya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pendidikan tahun 1854 menjadi awal pendidikan yang ada di Indonesia, kala itu Indonesia masih bernama Hindia Belanda dan belum merdeka. Fakta ini tidak lepas dari sejarah pendidikan yang memaparkan bahwa beberapa bupati mencetuskan pendirian sekolah di kabupaten untuk rakyat Indonesia, tetapi tujuan pendirian sekolah ini tidak untuk rakyat Indonesia seutuhnya hanya untuk calon pegawai (pembantu) yang bisa membantu usaha dagang pemerintahan Hindia Belanda saat itu. Sekolah Bumi Putra atau Hollandsch-Inlandsche School (HIS) menjadi penggerak awal pendidikan bagi rakyat Indonesia. Sekolah tersebut terdapat 3 kelas dan materi yang di berikan hanya pengetahuan dasar membaca, menulis, dan berhitung untuk rakyat Indonesia yang bersekolah di sana.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1920 menjadi perubahan dalam pendidikan Indonesia, saat itu jiwa kemerdekaan mulai bangkit, mengakibatkan lahirnya cita-cita untuk perubahan radikal dalam pendidikan dan pengajaran. Cita-cita ini gabungan kesadaran kultural dan kebangkitan politik menuju kemerdekaan sebagai jaminan kemerdekaan dan kebebasan kebudayaan bangsa. Pada tahun 1922 lahir Taman Siswa di Yogyakarta sebagai gerbang emas kemerdekaan dan kebebasan kebudayaan bangsa sehingga menjadi inti sistem pendidikan yang di didirikan Ki Hadjar Dewantara. Taman Siswa adalah gerakan pendidikan yang membuka peluang pendidikan bagi semua golongan, tanpa memandang ras, agama, atau latar belakang sosial. Hal ini sesuai dengan visi dan misi Ki Hadjar Dewantara yang ingin menciptakan pendidikan yang inklusif dan merata.
Ki Hadjar Dewantara mengemukakan “bahwa para penguasa bangsa Belanda di Indonesia (Hindia Belanda) sebenarnya sama sekali tidak memperhatikan soal pendidikan kebudayaan. Mereka semata-mata mementingkan pengajaran, yang intelektualitas serta materialistis, karena pendidikan di situ semata-mata berupa pendidikan intelek”. Hal ini mengacu pada tujuan Hindia Belanda menerapkan pendidikan untuk memanfaatkan rakyat Indonesia dalam usaha dagang di bidang materialistis dan mengubah tanpa sadar kebudayaan lokal lewat sistem pendidikan zaman Hindia Belanda. Di samping pendidikan intelektual juga harus ada pendidikan yang kultural dan nasional seperti yang di sampaikan Ki Hadjar Dewantara “jangan sampai kita hanya meniru sistem pendidikan dan pengajaran yang sepi pengaruh kebudayaan, seperti yang kita alami di zaman Belanda, dengan pendidikannya yang intelektualis, materialise dan kolonial itu”.
ADVERTISEMENT
Pendidikan kultural dan nasional diberikan kepada siswa untuk tujuan ke arah keluhuran manusia, nusa, dan bangsa tidak dengan memisahkan diri dari kesatuan kemanusiaan, dalam keadaan yang sedemikian, siswa ketika berada di lingkungan keluarganya masih dapat merasakan suasana kultural dan tetap mendapatkan pengaruh dari segala kultur yang terus hidup dalam berbagai tradisi kebudayaan. Ki Hadjar Dewantara mengungkapkan “pendidikan adalah tempat persemaian segala benih-benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat kebangsaan. Dengan maksud agar segala unsur peradaban dan kebudayaan tadi dapat tumbuh dengan sebaik-baiknya dan dapat kita teruskan kepada anak cucu kita yang akan datang”. Selain itu, Ki Hadjar Dewantara juga menekankan pentingnya pendidikan sebagai alat untuk memperkuat identitas dan budaya Indonesia. Ia memandang bahwa pendidikan seharusnya menjadi sarana untuk melestarikan dan memajukan kearifan lokal serta nilai-nilai tradisional Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ki Hadjar Dewantara merumuskan semboyan yang mengandung filsafat dalam akulturasi kebudayaan yang telah dirumuskan dalam rangkaian asas-asas ke-tamansiswaan-an. Yaitu “Asas Tir-con” yang mengajarkan “bahwa di dalam pertukaran kebudayaan dengan dunia luar harus kontinuitas dengan alam kebudayaannya sendiri, lalu konvergensi dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang ada, dan akhirnya jika kita sudah bersatu dalam alam universal, kita bersama mewujudkan persatuan dunia dan manusia yang konsentris.” dalam pidato sambutan Ki Hadjar Dewantara. Dewan Senat Universitas Gadjah Mada, 7 November 1956. Konsentris berarti bertitik pusat satu dengan berbagai kebudayaan, tetapi masih memiliki garis lingkaran sendiri-sendiri. Inilah suatu bentuk dari sifat Bineka Tunggal Ika.
Perkembangan pendidikan dari zaman ke zaman selalu berkembang tidak memungkiri adanya akulturasi budaya luar ke Indonesia, ini selaras dengan apa yang di sampaikan Ki Hadjar Dewantara “kita harus meniru segala apa yang baik dari negeri manapun, tetapi ambilah sifat-sifat dasar yang ada di seluruh dunia, yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan nasional kita. Sebaliknya, rakyat kita harus berani, sanggup dan mampu untuk mewujudkan bentuk sendiri, isi sendiri dan irama sendiri, seperti yang layak boleh diharap-harapkan dari bangsa yang telah memasuki dunia internasional, tetapi sebagai bangsa yang berpribadi”.
ADVERTISEMENT
Melihat perkembangan pendidikan di Indonesia saat ini, sangat besar pengaruh dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Meskipun telah berlalu beberapa dekade sejak beliau wafat pada tahun 1959, nilai-nilai dan prinsip-prinsip pendidikan yang beliau anut masih relevan dan menjadi pedoman dalam upaya peningkatan sistem pendidikan di Indonesia. Salah satu konsep utamanya adalah "tirakat pendidikan," yang mengedepankan aspek pengembangan spiritualitas dan karakter sebagai bagian penting dari pendidikan, selain itu pandangan tentang pendidikan juga mencakup aspek kebebasan. Ia menginginkan pendidikan yang tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi juga memberikan kebebasan kepada individu untuk berpikir dan berkarya. Ia menekankan pentingnya pendidikan yang membebaskan pikiran dan memberikan ruang bagi kreativitas.
Dalam menghadapi tantangan pendidikan di era modern, pandangan Ki Hadjar Dewantara mendorong pendidikan yang inklusif, humanis, dan memberikan kebebasan kepada individu, sehingga meningkatkan kualitas pendidikan demi masa depan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia. Ki Hadjar Dewantara adalah bukti bahwa pemikiran dan perjuangan dalam bidang pendidikan dapat membentuk perubahan yang positif dan berkelanjutan dalam masyarakat seperti pengibaratan pendidikan dengan sawah. “untuk dapat bekerja di sawah dan ladang dengan tenteram dan seksama (yakni tugas cara pendidik dan para pejuang kebudayaan) sangat kita perlukan adanya pagar (karakter dan arahan) yang kokoh dan kuat, untuk menolak segala bahaya yang mengancam dari segala kekuasaan dan kekuatan yang mungkin dapat merusak sawah dan ladang serta tanaman-tanamannya, yang kita pelihara”. Ki Hadjar Dewantara.
ADVERTISEMENT
Abad 21 sekarang ini yang menjadi harapan Ki Hadjar Dewantara yaitu pendidikan baik guru dan muridnya merdeka. Manusia merdeka adalah manusia yang hidupnya bersandar pada kekuatan sendiri, baik lahir maupun batin dan tidak bergantung pada siapapun. Pendidikan yang mengininkan murid-murid menjadi manusia merdeka tidak lepas dari cara guru dalam mendidik murid menjadi peribadi yang mandiri, bisa mengenal diri dan berdaya untuk menentukan tujuannya, hal ini tidak lepas dari bagaimana guru membuat kebutuhan belajar yang relevan dan kontekstual pada diri sendiri maupun lingkungan. Murid-murid sekarang dimudahkan oleh perkembangan teknologi, kehadiran seorang pendidik sangat penting. Karena selaras dengan pendapat Ki Hadjar Dewantara, pendidik itu tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak.
ADVERTISEMENT
Daftar pustaka
Wiryopranoto, suhartono. Herlina,Nina. dkk. 2017. KI HAJAR DEWANTARA “Pemikiran dan Perjuangannya” Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tri H, Yohanes Suryo Bagus. 2014. “Ki Hadjar Dewantara: Mendidik Manusia Merdeka,” dalam: Johanes Supriyono (peny.). Memoria Indonesia Bergerak. Jakarta: Megawati Institute.