Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Investigasi OSINT, Dari Googling hingga Olah Data yang tidak Disembunyikan
15 April 2023 4:53 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Hendro Dwijo Laksono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penggunaan Open-Source Intelligence (OSINT) dalam sebuah investigasi harusnya bisa dilakukan oleh siapa saja. Pertama, hampir setiap orang sudah terbiasa melakukan googling dan stalking.
ADVERTISEMENT
"Rasa ingin tahu jadi awal yang bagus untuk melakukan investigasi," ungkap Zen RS, Chief of content Narasi.tv dan Chief Editor Narasi Newsroom, saat menjadi nara sumber dalam diskusi 'Investigative Reporting di Media Digital', penutup rangkaian Festival Komunikasi Ramadhan 2023, di Ruang Multimedia Kampus Stikosa AWS, Jumat (14/4/2023).
Dalam forum yang diinisiasi IKA Stikosa AWS itu, Zen membagikan beberapa tips investigasi yang biasa dilakukan di Narasi TV. Termasuk penggunaan OSINT dalam proses investigasi.
"OSINT pada dasarnya sebuah upaya untuk mengumpulkan dan menganalisis data dan informasi yang berasal dari sumber-sumber terbuka," ungkap mantan editor di Tirto.ID ini.
Data dan informasi ini, kata Zen, kemudian ditindaklanjuti, hingga akhirnya dapat dipublikasikan untuk kepentingan publik.
ADVERTISEMENT
"Dengan metode ini, kami mengumpulkan data yang tidak dirahasiakan. Sering kali malah bisa kita temukan di ruang terbuka seperti sosial media," terangnya.
Secara teknis, lanjutnya, OSINT bisa dilakukan lewat googling. Dari proses pencarian khusus di Google, kita bisa menemukan banyak data yang kadang di luar dugaan. Termasuk dokumen resmi yang harusnya tersimpan rapi dan tidak bisa diakses oleh siapa saja.
"Istilahnya Google Dorking. Ini teknik yang biasanya digunakan para hacker untuk menemukan informasi yang terekspos secara tidak sengaja ke internet," tambah Zen,
Karena bersifat terbuka, data-data ini dinilai tidak memiliki risiko hukum. "Kita mulai dengan mengumpulkan data sebanyak mungkin menggunakan kueri umum, lalu kita bisa lebih spesifik dengan menggunakan kueri kompleks," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Lewat OSINT, kata Zen, pihaknya beberapa kali menemukan data yang tidak terduga. Mulai dari kasus penjualan satwa langka, hingga data tentang Eddy Tansil di Hongkong dan China.
Horse Race Journalism
Sehari sebelumnya, Kamis (13/4/2023), Festival Komunikasi Ramadhan 2023 menghadirkan Abdul Manan, alumni Stikosa AWS yang juga tercatat sebagai Redaktur Utama di Majalah TEMPO. Dalam kesempatan itu ia memaparkan 'Pemilu 2024 dan Media Kita'.
Ketua Majelis Etik Nasional Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia ini kemudian menyoroti tentang horse race journalism atau jurnalisme pacuan kuda yang kerap muncul dalam pemberitaan Pemilu.
"Horse race journalism adalah praktik jurnalisme politik pemilu yang lebih menyerupai liputan pacuan kuda. Karena fokus peliputannya lebih pada data polling dan persepsi publik daripada kebijakan kandidat," papar Manan.
ADVERTISEMENT
Model peliputan ini, kata Manan, sebetulnya tidak cukup baik untuk dikembangkan. Karena menurut sebuah penelitian, jurnalisme pacuan kuda bisa berdampak buruk pada banyak hal.
"Pertama adalah ketidakpercayaan pada politisi. Kedua ketidakpercayaan terhadap media," tegasnya.
Selain, lanjutnya, juga berdampak pada miskinnya pemahaman pemilih karena kurang mendapat informasi dan pelaporan data jajak pendapat yang bisa jadi tidak akurat. Untuk itu, Abdul Manan kembali mengingatkan pentingnya tradisi verifiksi, cek dan recek.
"Salah satu tantangan dalam liputan politik adalah bagaimana mendapatkan dan mempublikasi informasi yang berbasis fakta, dan berusaha untuk mengungkap kebenaran," katanya.
Alat yang disediakan oleh Kode Etik Jurnalistik untuk bisa mencapai kebenaran itu, menurut Abdul Manan adalah dengan verifikasi dan cek dan re-cek terhadap fakta.
ADVERTISEMENT