Konten dari Pengguna

Semua Berawal dari Rivalitas

Eri Hendro Kusuma
Guru di SMPN Satu Atap Pesanggrahan 2 Kota Batu Jawa Timur, Penulis Lepas.
5 Oktober 2022 18:35 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eri Hendro Kusuma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seorang suporter Arema FC (Aremania) menaburkan bunga di depan pintu tribun 13 Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Selasa (4/10/2022).  Foto: Ari Bowo Sucipto/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Seorang suporter Arema FC (Aremania) menaburkan bunga di depan pintu tribun 13 Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Selasa (4/10/2022). Foto: Ari Bowo Sucipto/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mendengar kabar tentang tragedi di Stadion Kanjuruhan, akhirnya membuat saya harus menengok lagi tentang arena tribun. Saya sudah cukup lama tidak menonton pertandingan sepak bola baik secara langsung di stadion maupun melalui siaran televisi. Saya memutuskan untuk 'gantung syal' tepatnya pada saat terjadi dualisme kompetisi sepak bola di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di sini saya sedang tidak membicarakan 'kambing hitam' atas terjadinya peristiwa Kanjuruhan. Biarlah tim khusus yang sudah dibentuk oleh negara bekerja untuk mengusut secara 'jujur' dan tuntas atas terjadinya peristiwa yang telah menjadi perhatian dunia internasional tersebut.
Berbagai bentuk kegiatan yang dilakukan oleh Aremania untuk tragedi Stadion Kanjuruhan Malang. Foto: Dok. Rudi Hartono
Awal membaca status media sosial salah satu kawan yang saat itu sedang berada di Kanjuruhan, saya langsung 'berspekulasi' jika peristiwa itu terjadi akibat bentrok antarsuporter. Apalagi pertandingan pada malam itu adalah pertandingan 'final' menurut Aremania maupun Bonek Mania. Sebagai salah satu Aremania, saya tahu betul jika ada anggapan "Arema boleh kalah dengan tim lain asal tidak dengan Persebaya," saya kira anggapan itu juga berlaku untuk Bonek Mania.
Saya sebenarnya juga bingung mengapa dulu bisa terbentuk jiwa fanatisme Aremania pada diri saya. Mungkin jiwa itu tumbuh alamiah sebagai akibat dari faktor lingkungan. Meskipun keloyalan saya dahulu terhadap Arema masih jauh dibanding kawan-kawan Aremania yang lain, tapi setidaknya mulai di bangku kelas 6 SD saya sudah duduk di tribun Stadion Gajayana untuk menonton pertandingan Arema.
ADVERTISEMENT
Saya dulu membeli tiket pertandingan dari hasil berjualan koran. Untuk makan di stadion saya sudah disiapkan bekal oleh emak (ibu). Pada saat di Stadion Gajayana, dulu sering ada kejadian penonton yang memiliki tiket resmi tapi tidak bisa masuk stadion gara-gara stadion sudah penuh. Sehingga jauh sebelum pertandingan dimulai, biasanya saya bersama kakak saya sudah masuk di dalam stadion. Kisaran waktunya jika pertandingan dimulai pukul 15.30 WIB maka saya sudah berada di stadion sekitar pukul 13.00 WIB.
Saat Arema bertanding ke luar kota, saya dulu juga sering ikut untuk menyaksikan langsung di stadion. Pernah berangkat sendiri memakai motor ke Stadion Surajaya Lamongan. Kemudian berangkat ke Stadion Manahan Solo memakai mobil yang berkapasitas 7 orang tapi diisi oleh 16 orang juga pernah saya lalui. Semua dilakukan 'demi Arema'.
ADVERTISEMENT
Saat kuliah kebetulan saya memiliki kawan akrab, satu kelas, satu organisasi, juga satu kamar di kontrakan. Kawan saya itu kebetulan adalah seorang Bonek Mania. Dalam banyak hal kita selalu satu pemikiran dan kesepakatan, kecuali ketika berbicara masalah Arema vs Persebaya. Tentu jika sudah menyangkut masalah sepak bola itu tidak bisa satu frekuensi. Yang sering terjadi adalah adu mulut dan sedikit cekcok. Meskipun pada akhirnya hanya berakhir pada komedi.
Pernah suatu ketika duduk bersama di warung kopi. Berpikir dan merenung bersama menjawab pertanyaan, "Kok kita bisa "se-fanatik" itu ya?" Padahal tidak ada upah atau hal lain yang sifatnya menguntungkan pribadi pada saat mendukung tim sepak bola kesayangan kita masing-masing. Pastinya kita akan banyak mengeluarkan biaya untuk membeli tiket, kaus, makan saat menonton, dan biaya lain yang tak terduga demi menyaksikan sebuah pertandingan sepak bola.
ADVERTISEMENT
Jawaban sementara saat diskusi di warung kopi pada waktu itu adalah karena adanya istilah 'rivalitas' sehingga muncullah sebuah fanatisme. Tentu kesimpulan saya dan kawan saya pada saat di warung kopi itu bisa diperdebatkan. Namanya juga obrolan di warung kopi bukan seminar di sebuah institusi resmi.
Berbagai bentuk kegiatan Aremania untuk tragedi Stadion Kanjuruhan. Foto. Dok. Rudi Hartono
Belajar dari kasus Kanjuruhan, terlepas dari masalah SOP, jumlah tiket, dan lain sebagainya yang saat ini tengah berseliweran sebagai 'kambing hitam' atas peristiwa yang terjadi. Sebenarnya ada satu hal yang menjadi penyebab utama peristiwa itu terjadi, yakni faktor 'kekecewaan'. Karena kekalahan tim Arema dari Persebaya, sehingga 'ada beberapa' Aremania yang meluapkan kekecewaannya dengan turun dari tribun dan masuk ke lapangan setelah pertandingan usai.
Saya kira saat ini sudah waktunya mengakhiri rivalitas tanpa rasa kedewasaan. Menurut saya semua suporter sudah selayaknya bersikap, 'siap menang dan siap kalah' dengan tim mana pun saat bertanding. Memang akan terasa menyakitkan jika tim yang kita dukung kalah dengan tim rival utama. Tapi akan jauh lebih menyakitkan jika karena emosi sesaat, banyak nyawa yang hilang secara sia-sia. Semoga peristiwa di Kanjuruhan menjadi terakhir kalinya di Indonesia.
ADVERTISEMENT