Konten dari Pengguna

Sektor Jasa sebagai Pintu Gerbang menuju Global Value Chain

26 Oktober 2017 22:01 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hendro Wicaksono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
oleh : Hendro Wicaksono dan Lestary Jakara Barany
1. Pendahuluan
ADVERTISEMENT
Dalam era globalisasi saat ini, perkembangan teknologi dan transportasi membuat setiap negara semakin terhubung dengan negara lain. Hal ini memengaruhi produksi barang secara global. Barang tidak hanya diproduksi oleh satu negara, melainkan proses produksinya tersebar ke beberapa negara sehingga membentuk sistem produksi tanpa batas untuk barang dan jasa yang biasa, baik melalui jaringan global, regional, atau hanya antara dua negara. Sistem produksi secara global inilah yang disebut sebagai Global Value Chain (GVC).
GV¬¬C meliputi seluruh aktivitas yang perusahaan lakukan untuk mencipatakan barang dan jasa dari konsepsi awal hingga dapat dipakai oleh konsumen akhir (Marin-Odio, 2014). GVC terjadi karena adanya efisiensi ekonomi dan competitive advantage yang berbeda dari setiap negara, sehingga dapat meminimalisasi biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan (Elms dan Low dalam Iliuteanu, n.d.). Struktur potensi nilai tambah dalam setiap tahap produksi dalam GlVC untuk berbagai industry dapat digambarkan dalam smile curve.
ADVERTISEMENT
Grafik 1 menunjukkan bahwa terdapat tahap produksi yang mempunyai nilai tambah rendah, seperti production, merupakan tahap awal keikutsertaan dalam GVC serta terdapat tahap produksi yang mempunyai nilai tambah tinggi, seperti research and development dan services. Terdapat dua cara untuk bisa meningkatkan nilai tambah dan kapasitas produksi, baik melalui aktivitas yang sama tetapi naik ke kurva yang lebih tinggi, atau naik ke aktivitas yang mempunyai nilai tambah lebih tinggi untuk bisa meningkatkan nilai dari proses produksi (Damuri, 2014). Sebagian besar aktivitas yang mempunyai nilai tambah tinggi cenderung melibatkan komponen jasa lebih intensif. Dengan demikian, GVC tidak hanya melibatkan sektor barang, tetapi juga sektor jasa.
Sektor jasa mempunyai peran penting karena berkontribusi lebih dari 65% dari GDP dunia pada tahun 2011 dan mempekerjakan sekitar 35% dari seluruh angkatan kerja, serta dapat meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan tingkat kompetitif sektor lain. Dalam GVC, sektor jasa mempunyai dua peran penting, pertama sebagai penghubung dari basis produksi yang terdispersi, dan kedua berperan di dalam proses produksi tersebut (Damuri, 2014). Sayangnya, di tengah ketergantungan antar negara, terdapat indikasi maraknya proteksionisme, hal ini terlihat dari meningkatnya berbagai tariff measurement dan non tariff measurement, seperti kebijakan Presiden Trump di Amerika Serikat. Kebijakan proteksionis ini tidak hanya berpengaruh terhadap sektor barang, tapi juga terhadap sektor jasa. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji bagaimana kebijakan restriktif di sektor jasa dapat menghambat daya saing dan produktivitas, serta memberikan rekomendasi kebijakan untuk mengatasi masalah terkait dalam rangka meningkatkan partisipasi Indonesia dalam GVC.
ADVERTISEMENT
2. Protectionism dan Global Value Chain
Pengembangan sektor jasa dapat berkontribusi terhadap pengembangan dari GVC itu sendiri, seperti transportasi dan logistik yang efisien dapat mengurangi biaya transportasi, sector informasi dan komunikasi yang baik dapat membuat koordinasi yang efisien dan presisi, sehingga nantinya dapat meningkatkan partisipasi Indonesia dalam GVC. Namun, karena data yang tersedia mengenai sektor jasa sangat terbatas, riset terkait sektor ini sulit untuk dilakukan. Oleh karena itu, dalam menganalisa persoalan ini penulis akan membahas sektor barang yang akan digunakan sebagai pembanding dari sektor jasa. Penulis melakukan regresi untuk mengetahui faktor determinan dari nilai partisipasi GVC sebuah negara, dengan variabel independen barupa nilai tarif rata-rata dan value added dari sektor manufaktur (tabel 1). Kebijakan proteksionis dicerminkan dengan variabel nilai tarif rata-rata, semakin tinggi tarif yang dikenakan oleh sebuah negara, maka negara tersebut akan semakin protektif.
ADVERTISEMENT
Hasil menunjukkan bahwa nilai tarif rata-rata dan value added dari sektor manufaktur sebuah negara mempengaruhi nilai partisipasi GVC secara signifikan. Koefisien nilai tarif rata-rata bernilai -1,397, hal ini berarti setiap peningkatan tarif sebesar 1 persen, maka nilai partisipasi GVC akan turun sebesar 1,397. Hal ini berbeda dengan koefisien value added dari sektor manufaktur yang bernilai 0,529, berarti setiap peningkatan value added manufaktur sebesar 1 persen, maka nilai partisipasi GVC akan naik sebesar 0,529 persen. Dengan demikian, semakin protektif sebuah negara, yang dicerminkan dengan semakin tingginya tingkat rata-rata tarif di negara tersebut, akan membuat partisipasi GVC sebuah negara menurun.
Saat ini, selain perbincangan mengenai meningkatnya proteksionisme, para ekonom dan pembuat kebijakan juga diperhadapkan pada pergeseran persepsi tentang global value chain. Kesadaran bahwa tidak hanya barang yang terlibat dalam rantai nilai dunia ini, melainkan juga jasa. Globalisasi proses produksi menjadikan sektor jasa berperan krusial, meskipun pemahaman mengenai global value chain lebih sering dikaitkan dengan komoditas manufaktur. Pada tahun 2011, sektor jasa mencakup 66% produksi, 45% perdagangan, 66% FDI dan 35% penyerapan tenaga kerja dunia. Grafik 2 menunjukkan proporsi jasa lebih tinggi daripada sektor komoditas dan pertumbuhan semakin tinggi jika dihitung berdasarkan ekspor nilai tambah.
ADVERTISEMENT
Damuri (2014) menjabarkan dua peran sektor jasa, yaitu sebagai perekat GVC dan sebagai bagian dari unit produksi itu sendiri. Pertama, sektor jasa sebagai perekat artinya menghubungkan berbagai proses produksi yang terpisah di lokasi yang berbeda-beda. Misalnya penggunaan jasa transportasi dan teknologi komunikasi dalam memfasilitasi transmisi instruksi dan informasi, serta dalam mobilitas input dan output. Kedua, sektor jasa telah menyatu dengan proses produksi barang manufaktur dan turut mendukung proses setelahnya. Misalnya, sebelum mencipatkan sebuah produk dilakukan research and development, artinya sektor jasa turut menjadi input barang manufaktur. Lalu, setelah proses produksi selesai, jasa periklanan dibutuhkan dalam promosi barang tersebut.
3. Kebijakan Sektor Jasa Indonesia dan Perekonomian Global
Di Indonesia, neraca pembayaran menunjukkan nilai ekspor jasa tahun 2016 sebesar 23 juta USD yang disokong oleh jasa perjalanan (travel). Total ekspor jasa meningkat 2 juta USD dari tahun sebelumnya. Sementara itu, impor jasa bernilai 30 juta USD dan nilai impor tertinggi berasal dari sektor transportasi. Sektor jasa terus bertumbuh dan kontribusinya berdasarkan nilai tambah mencapai 43% dari PDB. Sektor ini juga menyerap tenaga kerja hingga 45%. Nilai ini tertinggi bilang dibandingkan proporsi sektor lain yang menunjukkan penurunan, yakni agrikultur 22% dan manufaktur 33%.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, kesadaran ekonom dan pembuat kebijakan mengenai betapa krusialnya sektor jasa tidak disertai dengan ketersedian data yang memadai. Akibatnya, peneliti terkendala saat ingin melakukan riset terkait dampak dari sektor jasa terhadap GVC dan perekonomian. Namun demikian, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dan Bank Dunia telah mengeluarkan Service Trade Restriction Index (STRI) dalam rangka mengkukur betapa restriktifnya kebijakan sutau negara terhadap pasar sektor jasa.
Berdasarkan Grafik 3, kebijakan yang relatif liberal diimplementasikan di Amerika Latin, Eropa Timur dan negara-negara OECD. Sedangkan kebijakan paling restriktif terjadi di negara Gulf Cooperation Council (GCC) yang rata-rata skornya mencapai 50, kemudian diikuti oleh Asia Selatan dan Timur, serta Timur Tengah dan Afrika Utara. Dari grafik tersebut juga diilustrasikan bahwa pola restriksi antar sektor relatif sama, baik di negara berkembang dan negara maju, yaitu hambatan dalam perdagangan jasa profesional. Salah satu penyebabnya adalah mobilitas internasional para profesional yang terkendala dua hal penting, yakni restriksi terkait imigrasi dan restriksi mengenai kualifikasi dan lisensi. Sementara itu, jasa yang relatif lebih tidak diproteksi di negara maju tetapi sangat direstriksi di negara berkembang adalah transportasi. Adapun bidang yang secara konsisten cenderung memiliki pasar yang terbuka adalah retail.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia sendiri, 22 sektor yang diamati masih memiliki kecenderungan kebijakan yang protektif. Hal ini ditunjukkan dari skor STRI yang mendekati 1 (Grafik 4), di mana restriksi yang paling umum berupa penghambatan masuknya jasa dari luar negeri. Level restriksi di pasar sektor jasa Indonesia relatif lebih tinggi dari rata-rata 40 negara OECD. Sektor dengan skor relatif tinggi meliputi jasa asuransi, distribusi, dan hukum. Meski begitu, pasar beberapa sektor jasa Indonesia sudah lebih terbuka, misalnya sound recording, rail freight, dan angkutan udara. Liberalisasi pasar sound recording sebenarnya baru dimulai tahun 2016 setelah pemerintah menghapus sektor ini dari daftar negatif investasi.
Mengapa skor STRI Indonesia tergolong tinggi? Secara umum penyebabnya adalah beberapa posisi manajemen hanya boleh dijabat oleh orang yang berkebangsaan Indonesia, preferensi harga yang diberikan kepada pegusaha domestik, hak penggunaan lahaan oleh pihak asing yang terbatas, peraturan mengenai setidaknya ada satu BUMN di beberapa usaha. Meskipun pada tahun 2014 sektor jasa menyumbang lebih dari setengah PDB, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 tidak menunjukkan banyak kajian mengenai strategi pengembangan sektor jasa dalam rangka mendiring kinerja perekonomian dan meningkatkan daya saing.
ADVERTISEMENT
4. Liberalisasi Sektor Jasa dan Partisipasi dalam GVC
Jika meninjau neraca pembayaran, sektor jasa Indonesia mengalami defisit 8 juta USD (Bank Indonesia, 2016) dan kontribusi paling besar berasal dari impor subsektor transportasi. Pertumbuhan perdagangan internasional mendukung fakta tersebut. Pasalnya, perdagangan barang perlu didukung oleh layanan logistik yang memadai yang seringkali tidak dapat dipenuhi oleh penyedia transportasi domestik. Peranan krusial sektor jasa ini mengindikasikan bahwa kebijakan perdagangan jasa yang restriktif tentunya dapat mengurangi daya saing Indonesia secara umum.
Salah satu strategi kunci industrialisasi bagi negara berkembang adalah dengan berpartisipasi dalam global value chain. Sektor jasa memegang peranan penting dan sebagaimana penjelasan yang sudah diuraikan di atas, penulis merekomendasikan untuk meliberalisasi sektor jasa Indonesia. Meskipun dalam jangka pendek kebijakan ini akan memberikan kerugian bagi pengusaha domestik, tetapi dalam jangka panjang pengusaha akan terinsentif untuk berinovasi dan memperbaharui kinerjanya. Bagi industri yang sudah berdiri sejak lama, liberalisasi memungkinkan perolehan pangsa pasar yang lebih luas. Bagi konsumen domestik, kualitas jasa yang tersedia pun lebih baik, contohnya adalah liberalisasi industri penerbangan.
ADVERTISEMENT
Sebelum mendunia, liberalisasi sektor jasa bisa dimulai pada tingkat regional. Langkah ini bisa dimplementasikan melalui keterlibatan dalam services trade agreement. Penelitian dari Woori Lee (2017) menunjukkan bahwa kesepakatan tersebut dapat meningkatkan perdagangan bruto dan GVC-trade antara negara berkembang, dari negara berkembang ke negara maju, tetapi tidak simetris. Akan tetapi, kebijakan liberalisasi perdagangan sektor jasa merupakan kebijakan yang minim insentif politik. Sehingga upaya implementasi kebijakan ini seringkali terperangkap alibi kepentingan nasional.
5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil regresi, kebijakan perdagangan yang protektif akan menghambat partisipasi suatu negara dalam GVC. Saat ini tidak hanya sektor barang yang berperan penting dalam GVC, tetapi juga sektor jasa, misalnya keterlibatan sektor jasa dalam rantai nilai industri manufaktur. Pergeseran paradigma ini menuntut adanya penyesuaian kebijakan di sektor jasa. Service Trade Restrictiveness Index Indonesia di atas rata-rata 40 negara OECD yang mengindikasikan bahwa regulasi sektor jasa cenderung restriktif. Hal ini tentunya menghambat partisipasi Indonesia di GVC. Oleh karena itu, penulis merekomendasikan liberalisasi sektor jasa yang dapat dimulai dengan service trade agreement di tingkat regional. Pembukaan pasar jasa Indonesia sebaiknya disertai dengan kesiapan dari sisi internal, berupa human capital, financial capital dan connectivity.
ADVERTISEMENT
Referensi
Borchert, I. et al. (2012). Policy Barriers to International Trade in Services. Washington DC: The World Bank.
Damuri, Y. (2014). Services Sector Development and Improving Production Network in ASEAN. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies. Retrieved from https://www.csis.or.id/uploaded_file/publications/services_sector_development_and_improving_production_network_in_asean.pdf
Damuri, Y. (2016). Services Sector Development in Indonesia and the Implementation of AEC Measures in Services. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies
Iliuteanu, M. Deepening and Expanding Global Value Chain Participation across Asia and Europe. Economic Research Institute for ASEAN and East Asia. Retrieved from http://www.eria.org/Deepening_and_Expanding_GVC_Participation.pdf
Kowalski, P. et al. (2015). Participation of Developing Countries in Global Value Chains: Implications for Trade and Trade-Related Policies. Paris: OECD Publishing.
ADVERTISEMENT
Lee, W. (2017). Services Liberalization and GVC Participation: New Evidence for Heterogeneous Effects by Income Level and Provisions. Geneva: Center for Trade and Economic Integration
Marin-Odio, A. (2014). Global Value Chains In Services: A Case Study On Costa Rica. Geneva: International Trade Centre. Retrieved from http://www.intracen.org/publication/Global-value-chains-in-services-A-case-study-on-Costa-Rica/
The Organisation for Economic Co-operation and Development . (2016). Services Trade Restrictiveness Index (STRI): Indonesia.
The World Bank. (2017). Measuring and Analyzing the Impact of GVCs on Economic Development. Washington DC: The World Bank. Retrieved from http://www.worldbank.org/en/topic/trade/publication/global-value-chain-development-report-measuring-and-analyzing-the-impact-of-gvcs-on-economic-development
Lampiran
Grafik 1. Smile Curve
Sumber : World Bank (2017)
GVC= β+β_1 ATR+ β_2 ManVA
Tabel 1. Hasil Regresi
Model di atas merupakan model yang penulis bangun berdasarkan OECD (2017) dan Kowalski et al. (2015). Data melibatkan 56 negara yang meliputi negara berkembang dan maju di tahun 2009. Data yang digunakan hanya di tahun 2009 mengingat itulah data GVC Participation Index paling baru yang dikeluarkan oleh OECD.
ADVERTISEMENT
Variabel GVC adalah GVC Participation Index, yaitu share dari input asing (backward participation) dan input yang diproduksi di dalam negeri yang digunakan di ekspor negara ketiga di gross export negara tersebut. Variabel ATR adalah Average Tariff Rate, yaitu nilai rata-rata tariff yang ditetapkan oleh setiap negara. Variabel ManVA adalah Manufacturing Value Added, yaitu berapa nilai tambah dari sektor manufaktur dituliskan dalam persentase dari PDB. Data ATR dan ManVA didapatkan dari website world bank.
Nilai R square dari persamaan di atas adalah 13,37%, berarti variasi dari nilai GVC Participation Index dapat dijelaskan 13,37% oleh variabel ATR dan ManVA. Dengan demikian, model ini masih dapat dikembangkan lebih lanjut untuk mendapatkan nilai R square yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
Grafik 2. Proporsi Gross dan Value-Added Export Sektor Jasa Dunia Tahun 1980, 1995, dan 2009
Sumber: GVC Report 2017, OECD.
Grafik 3. Services Trade Restrictions Index (STRI) Berdasarkan Sektor dan Regional
Sumber: Policy Barriers to International Trade in Services
Grafik 4. STRI Indonesia berdasarkan sektor dan Area Kebijakan
Sumber: OECD 2016