Konten dari Pengguna

Kisah dari Kedai di Jogja: Manusia Pasar

10 Desember 2017 14:59 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hendy Adhitya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kisah dari Kedai di Jogja: Manusia Pasar
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Belum genap kami satu bulan buka kedai kopi di sini tapi sudah banyak kejadian menarik dilewati, dan sayang jika hanya disimpan di dalam ingatan kepala yang rawan hilang dalam hitungan hari.
ADVERTISEMENT
Taman Kuliner (TamKul) Condongcatur bagi sebagian masyarakat Yogyakarta pasti sudah tidak asing dengan area yang lebih dikenal sebagai tempatnya untuk memuaskan perut ini. Namun buat sebagian orang, nama Tamkul tidak dikenal sama sekali.
Tapi bagi orang yang tahu, imej Tamkul bahkan masih jauh dari harap. Beberapa pengunjung kedai kami ketika ditanya mengidentikkan tempat ini sebagai 'tempat yang tidak ada aktivitas', 'kelihatan sepi', 'gelap', 'terkadang menyeramkan'.
Tidak mengherankan jika respon mereka seperti itu. Karena seperti yang kalian ketahui, dari gerbang masuk, 'pintu sambutan' Tamkul memang menimbulkan kesan tidak ramah: tak terawat, tak teratur, berantakan, rerumputan dan ilalang meninggi. Belum lagi cat gerbang yang memudar, pos satpam tanpa penjaga, lampu-lampu penerangan yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
ADVERTISEMENT
Bayangkan, jika seseorang lapar dan hendak menuju Tamkul, tapi begitu sampai depan gerbang dia mengurungkan niat karena berpikir, "ini tempat ada yang jualan ga ya?"
Berdasarkan cerita yang kami dengar, beberapa penjual dalam paguyuban pelapak sudah mengajukan peremajaan disain Tamkul seperti perbaikan lampu jalan, namun hingga kini belum ada respon dari pengurus.
Kesimpulan sementara: Tua dan Muda
Kalau bisa saya simpulkan sementara, ada dua tipe penjual di Tamkul. Penjual dari generasi tua, dan penjual dari generasi muda. Maksudnya bisa berarti dua hal. Pertama mengacu kepada usia, kedua mengacu kepada gaya berjualan.
Untuk hal pertama tidak perlu dijelaskan lagi. Sementara untuk gaya berjualan maksudnya adalah jenis barang, jalur distribusi penjualan, dan teknik marketing.
ADVERTISEMENT
Sepenangkapan saya, pelapak generasi tua menjual barang setipe: mi instan, kopi sachet, nasi ayam goreng, soto, nasi goreng, gorengan. Artinya, jika ada satu penjual membuka usaha mi instan, maka pelapak di sebelahnya juga menjual dagangan serupa.
Sementara pelapak generasi muda menjual barang dengan jenis dagangan berbeda: teh lokal dengan varian rasa atau kombinasi rempah, jus dengan gabungan buah, kopi dengan ragam rasa, sepatu, baju, perlengkapan skateboard. Namun hal ini sebenarnya merupakan titah dari pengurus Tamkul untuk menjadikan area ini lebih bervariasi dari segi dagangan. Khususnya pelapak generasi muda.
Untuk jalur distribusi penjualan, semua pelapak generasi muda memanfaatkan sosmed sebagai sarana mengkomunikasikan barang yang mereka jual kepada calon pembeli. Katakanlah, Raccoon, Tropical Breeze, Gildan, Lokalti, dan masih banyak lagi. Sementara pelapak generasi tua mengandalkan pengunjung Tamkul yang datang ke kedai mereka.
ADVERTISEMENT
Teknik marketing yang dilancarkan pelapak generasi tua cukup unik. Pada beberapa kesempatan mereka menawarkan dagangan dengan cara berkeliling saat mengetahui ada kerumunan pengunjung Tamkul. Sebaliknya dengan pelapak generasi muda, promo seperti diskon, harga khusus kadang menjadi andalan dan hal tersebut dilakukan melalui akun sosmed mereka.
Dapatkan cerita unik dari kami di bawah ini: