Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Mengikis Disparitas Inklusi dan Literasi Keuangan
10 September 2024 7:07 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Hendy Pebrian Azano Ramadhan Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tak akan pernah lekang dalam ingatan krisis moneter yang melanda Indonesia pada 1998 silam. Kala itu, kekhawatiran masyarakat terhadap stabilitas sistem perbankan memicu aksi menarik tabungan secara massal. Tindakan kolektif tersebut lantas menjadi akar permasalahan kekurangan likuiditas yang signifikan pada perbankan, hingga memperburuk krisis keuangan tersebut.
ADVERTISEMENT
Biaya restrukturisasi pascakrisis pun tidaklah murah. Tak kurang dari 70 persen produk domestik bruto (PDB) harus digelontorkan. Krisis ini jelas memberikan kerugian yang sangat besar.
Pengalaman adalah guru terbaik. Berkaca dari tragedi historis tersebut, terdapat pelajaran yang dapat dipetik. Masyarakat harus lebih tenang manakala krisis ekonomi tengah terjadi. Tak perlu gegabah melakukan penarikan dana. Terlebih, mengambil tindakan panic buying yang akan memicu inflasi semakin tak terkendali.
Rendahnya literasi keuangan masyarakat dituding jadi salah satu penyebabnya. Data terbaru dari OJK menunjukkan indeks literasi keuangan hanya berada pada angka 49,68 persen, lain halnya dengan tingkat inklusi keuangan masyarakat yang sudah berada pada titik 85,10 persen. Sehingga, dapat dikatakan bahwa sebagian besar masyarakat telah merasakan manfaat dari kemudahan akses keuangan, namun belum memiliki pemahaman yang memadai tentang peran Rupiah dalam perekonomian.
ADVERTISEMENT
Disparitas signifikan tersebut mengindikasikan sinyal bahaya bagi negeri ini. Seperti kita tahu, tingginya tingkat literasi keuangan pada individu akan mengurangi kecemasan dalam menghadapi ketidakstabilan ekonomi, sehingga tidak gegabah untuk melakukan penarikan massal ataupun panic buying saat terjadi krisis.
Serangkaian problema tersebut harus disikapi secara holistik. Tak hanya pemerintah, semua segmen harus berpartisipasi aktif dalam mengambil langkah preventif. Bank Indonesia sebagai Bank Sentral juga tak terkecuali.
Keberadaan Bank Indonesia tentu akan sangat krusial. Praktiknya, mengedukasi masyarakat agar dapat memahami peran Rupiah dengan lebih baik melalui event edukasi ke sekolah (Goes to School), Goes to Campus, dan program-program edukasi lainnya yang menyasar generasi penerus bangsa.
Materi edukasi yang dipaparkan haruslah memuat setidaknya tiga keypoints yang dapat diterapkan masyarakat untuk meningkatkan pemahaman akan fungsi Rupiah. Pertama, cerdas bertransaksi dengan Rupiah. Sesuai dengan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, “Rupiah adalah satu-satunya alat pembayaran yang sah di NKRI dan setiap transaksi di wilayah NKRI wajib menggunakan Rupiah.” Dalam praktiknya, menggunakan Rupiah dalam setiap transaksi, baik tunai (uang kartal) maupun non tunai (e-money, kartu debit, kartu kredit atau QRIS).
ADVERTISEMENT
Kedua, berbelanja secara bijak. Perilaku panic buying akan menyebabkan tekanan yang berlebihan pada sisi permintaan, sehingga berpotensi memicu inflasi yang tak terkendali. Selain itu, dewasa ini tingkat hedonisme Gen Z juga sedang tinggi. Kecenderungan lebih memilih gaya hidup mewah, dibandingkan menabung atau berhemat.
Sebagimana pepatah “mencegah lebih baik daripada mengobati”, penting untuk memberikan edukasi kepada masyarakat agar berbelanja sesuai dengan kebutuhan, bukan hanya mengikuti keinginan semata.
Ketiga, memahami pentingnya berhemat. Meskipun istilah “menabung” sudah umum, namun lain halnya dengan dana darurat. Lantas, berapa banyak penduduk Indonesia yang telah menyiapkan dana darurat?
Melansir data dari Lifepal, hanya 9 persen dari penduduk Indonesia yang telah memiliki dana darurat. Padahal, diperlukan dana yang disisihkan dan dipersiapkan khusus untuk kondisi mendesak. Kejadian-kejadian seperti krisis moneter 1998, krisis ekonomi 2008, dan pandemi covid-19 bukan tak mungkin akan terulang kembali di masa depan.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, peningkatan pemahaman keuangan di kalangan masyarakat akan krusial dalam mencegah sengkarutnya sistem perbankan. Dengan pemahaman yang mendalam mengenai produk dan layanan perbankan, masyarakat dapat membuat keputusan finansial yang lebih cermat dan mengurangi risiko yang tidak perlu.
Bilamana terjadi peningkatan masyarakat yang memiliki dana darurat dan memanfaatkan berbagai produk keuangan, maka aliran uang di Indonesia akan semakin lancar.
Efek dominonya, dana yang terkumpul dapat dialokasikan oleh penyedia jasa keuangan untuk mendukung pembiayaan korporasi dan konsumsi rumah tangga. Langkah-langkah kecil ini harus terus ditingkatkan karena memberi kontribusi masif. Tujuannya satu. Stabilitas sistem keuangan terjaga dengan baik.
*Tulisan di atas merupakan opini pribadi