Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Peran Sektor Keuangan dalam Menuju Net Zero Emission 2060
17 November 2024 14:40 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Hendy Pebrian Azano Ramadhan Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Investasi energi bersih dan infrastruktur akan mencapai dua triliun Dollar pada 2024. Hampir dua kali lipat dari bahan bakar fosil. Peralihan ke energi bersih dan ketahanan iklim tidak akan berhenti. Tugas kita adalah mempercepat dan memastikan manfaat besar tersrbut dirasakan oleh semua negara dan semua orang.”
ADVERTISEMENT
Pernyataan ini disampaikan oleh Simon Stiell, Sekretaris Eksekutif UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change), dalam sambutannya pada pembukaan Conference of the Parties (COP) 29 di Azerbaijan. Ia menegaskan bahwa perubahan iklim adalah salah satu ancaman terbesar bagi umat manusia.
Perubahan iklim nyatanya tidak hanya berupa kenaikan suhu, tetapi juga menciptakan serangkaian bencana yang semakin intens dan tak terprediksi. Dalam beberapa dekade terakhir, dunia telah menyaksikan peningkatan frekuensi dan intensitas bencana alam, seperti banjir besar, kekeringan berkepanjangan, kebakaran hutan, dan badai.
Di dalam negeri, dampak perubahan iklim semakin terasa dengan naiknya permukaan laut yang mengancam wilayah pesisir, cuaca yang tidak menentu hingga kerugian ekonomi yang mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahun. Rangkaian bencana ini tentu tidak hanya mengganggu kehidupan sehari-hari, tetapi juga mengancam ketahanan pangan, kesehatan masyarakat, hingga kestabilan ekonomi dan sistem keuangan.
ADVERTISEMENT
Mengutip laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), jika tidak ada upaya signifikan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, suhu global akan terus meningkat dan membawa kerugian yang tidak terbayangkan. Indonesia, sebagai negara kepulauan yang rentan terhadap perubahan iklim, berpotensi kehilangan hingga 40% dari PDB-nya pada tahun.
Merespons ancaman tersebut, Indonesia telah menyampaikan komitmennya melalui Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) pada tahun 2022. Targetnya pun jelas, pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89% secara mandiri dan 43,2% dengan dukungan internasional pada tahun 2030. Dalam jangka panjang, Indonesia akan memangkas emisi gas rumah kaca hingga 100 persen atau net zero emission pada tahun 2060.
Untuk mencapai target ini, pemerintah memperkirakan kebutuhan investasi hijau sebesar USD 281 miliar hingga 2030. Namun, anggaran negara hanya mampu memenuhi sekitar 34% dari jumlah ini, sehingga keterlibatan sektor swasta dan dukungan internasional sangatlah diperlukan.
ADVERTISEMENT
Dalam menjawab tantangan dan mencapai target iklim, pemerintah dan lembaga keuangan Indonesia berfokus pada tiga aspek utama dalam pengembangan ekonomi hijau. Pertama, peralihan energi yang menargetkan pengurangan ketergantungan pada bahan bakar fosil dengan mengembangkan energi terbarukan dan infrastruktur hijau. Investasi ini tidak hanya akan mengurangi emisi karbon tetapi juga menciptakan sekitar 1,8 juta green jobs pada tahun 2030, yang sangat diperlukan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Kedua, pembiayaan dan investasi hijau yang potensinya mencapai USD 792 miliar di sektor energi dan infrastruktur. Pendanaan ini diharapkan dapat mendukung pertumbuhan PDB rata-rata 6,1-6,5% hingga 2045. Ketiga, peran sektor keuangan, di mana Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Kementerian Keuangan telah membentuk Komite Keuangan Berkelanjutan yang bertujuan mengkoordinasikan kebijakan fiskal, mikroprudensial, dan makroprudensial dalam mendukung transisi hijau. Kerja sama ini penting untuk meningkatkan daya tarik investasi hijau bagi investor domestik dan internasional.
ADVERTISEMENT
Namun, meskipun potensi ekonomi hijau di Indonesia tinggi, terdapat beberapa tantangan yang perlu diatasi. Keterbatasan sumber daya manusia dan infrastruktur dalam mengembangkan produk hijau serta melakukan verifikasi dan sertifikasi standar hijau masih menjadi kendala. Di sisi lain, kebijakan insentif untuk proyek hijau masih belum sepenuhnya efektif, sehingga banyak perusahaan belum terdorong untuk beralih ke proses produksi yang ramah lingkungan.
Sebagai bank sentral, Bank Indonesia memiliki peran kunci dalam mendukung ekonomi hijau melalui beberapa kebijakan dan inovasi utama. Salah satunya adalah pengembangan Kalkulator Hijau yang memungkinkan perusahaan menghitung emisi karbon secara lebih mudah, sehingga mendukung transparansi publikasi keberlanjutan dan mempermudah akses pembiayaan hijau. Kalkulator ini dirancang agar perusahaan dapat secara sukarela mengukur emisi mereka sesuai standar internasional, seperti GHG Protocol (Greenhouse Gas Protocol).
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, BI juga menerapkan kebijakan Green Loan-to-Value (LTV) dan insentif likuiditas untuk sektor properti hijau dan kendaraan listrik. Kebijakan ini memberikan keringanan kredit untuk proyek hijau dan mendorong pelaku industri untuk lebih banyak berinvestasi pada proyek yang berkelanjutan. Langkah-langkah ini diiringi dengan pendalaman pasar keuangan hijau, yaitu peningkatan keberlanjutan pasar obligasi hijau dan instrumen keuangan lainnya yang memenuhi kriteria ESG (Environmental, Social, and Governance), yang diharapkan dapat menarik lebih banyak investor global untuk berpartisipasi dalam proyek hijau di Indonesia.
Serangkaian inovasi itu menyiratkan sebuah pesan bahwa ekonomi dan keuangan hijau di Indonesia bukan hanya sekedar komitmen, tetapi merupakan langkah strategis dalam menghadapi perubahan iklim dan meningkatkan daya saing internasional. Pemerintah, Bank Indonesia, OJK, dan berbagai sektor keuangan berperan penting dalam mengimplementasikan kebijakan yang mendukung transisi hijau. Keberhasilan implementasi ekonomi hijau ini akan meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global, menjaga stabilitas ekonomi domestik, serta mengurangi dampak negatif perubahan iklim terhadap lingkungan dan kesejahteraan sosial.
ADVERTISEMENT