news-card-video
16 Ramadhan 1446 HMinggu, 16 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Deflasi Maret 2025: Manis di Awal, Pahit di Akhir?

Margareth Henrika Silow
Dosen Manajemen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawarman, Samarinda
16 Maret 2025 2:43 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Margareth Henrika Silow tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto diolah oleh penulis
zoom-in-whitePerbesar
Foto diolah oleh penulis
ADVERTISEMENT
Badan Pusat Statistik mengumumkan deflasi bulanan Februari 2025, seperti membawa kabar yang sekilas terdengar menyenangkan: harga barang dan jasa turun, masyarakat bisa berbelanja dengan lebih hemat, dan daya beli tampaknya meningkat. Namun, bagi mereka yang memahami ekonomi, deflasi bukan sekadar angka di laporan BPS. Di balik turunnya harga, ada cerita panjang tentang risiko bagi perekonomian yang perlu kita cermati.
ADVERTISEMENT
Fenomena deflasi yang terjadi di Indonesia kali ini benar-benar mengejutkan. Selama ini, kita lebih akrab dengan inflasi—kenaikan harga yang kerap membuat masyarakat mengeluh tentang biaya hidup yang semakin membebani. Namun, tiba-tiba situasi berbalik: harga-harga turun, daya beli seolah meningkat, dan ini terasa seperti angin segar bagi banyak orang. Tapi, apakah kondisi ini benar-benar menguntungkan? Atau justru menyimpan masalah yang lebih besar?
Salah satu pemicu utama deflasi kali ini adalah kebijakan pemerintah yang memberikan diskon besar pada tarif listrik di awal tahun. Tujuannya tentu mulia, yaitu meringankan beban masyarakat. Namun, dalam ekonomi, kebijakan yang tampak baik di permukaan tidak selalu berdampak positif dalam jangka panjang. Diskon listrik hingga 50% ini turut mendorong penurunan harga secara keseluruhan. Ditambah lagi, harga pangan juga turun berkat hasil panen yang lebih baik setelah kemarau panjang tahun sebelumnya. Kebijakan fiskal lain, seperti insentif pajak dan diskon tarif tol, semakin memperkuat tekanan pada inflasi.
ADVERTISEMENT
Bagi konsumen, kondisi ini tentu menyenangkan. Harga beras lebih terjangkau, tarif transportasi turun, dan biaya listrik pun lebih ringan. Dalam jangka pendek, daya beli masyarakat memang terlihat meningkat. Namun, di balik itu, pelaku usaha justru menghadapi ancaman serius. Ketika harga turun, keuntungan perusahaan menyusut. Jika kondisi ini berlanjut, mereka mungkin terpaksa memangkas biaya produksi, yang bisa berujung pada pemotongan gaji atau bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Selain itu, deflasi juga bisa memicu perilaku menunda belanja. Jika harga terus turun, mengapa harus membeli sekarang? Banyak orang mungkin memilih untuk menunda pembelian barang elektronik, kendaraan, atau properti, dengan harapan harga akan lebih murah di bulan depan. Jika ini terjadi dalam skala besar, ekonomi bisa melambat. Perusahaan yang kehilangan pelanggan akan kesulitan bertahan, produksi menurun, dan lapangan pekerjaan pun berkurang.
ADVERTISEMENT
Deflasi juga berdampak pada beban utang. Bagi individu atau perusahaan yang memiliki pinjaman, turunnya harga justru memperburuk kondisi mereka. Nilai nominal utang tetap sama, tetapi dengan pendapatan yang menurun akibat deflasi, cicilan menjadi lebih sulit untuk dibayarkan. Hal ini bisa memicu gelombang gagal bayar, yang berpotensi mengguncang sektor perbankan dan keuangan.
Sejarah ekonomi menunjukkan bahwa deflasi yang berkepanjangan sering kali menjadi tanda awal perlambatan ekonomi atau bahkan resesi. Jepang pernah mengalami "dekade yang hilang" akibat deflasi yang menekan pertumbuhan ekonominya. Amerika Serikat juga menghadapi dampak serupa pada era Depresi Besar. Indonesia pun berisiko mengalami situasi serupa jika deflasi ini tidak ditangani dengan hati-hati.
Tentu, pemerintah dan Bank Indonesia tidak tinggal diam. Otoritas moneter kemungkinan akan mengambil langkah-langkah untuk menstabilkan harga, seperti menurunkan suku bunga agar kredit lebih murah dan mendorong masyarakat untuk berbelanja serta berinvestasi. Sementara itu, kebijakan fiskal bisa diarahkan untuk meningkatkan belanja pemerintah guna menjaga roda ekonomi tetap berputar.
ADVERTISEMENT
Namun, tantangan utamanya adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara harga yang stabil dan pertumbuhan ekonomi yang sehat. Inflasi yang terlalu tinggi memang merugikan, tetapi deflasi juga bisa membawa dampak yang tidak kalah berbahaya. Kuncinya adalah memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak hanya memberikan manfaat jangka pendek, tetapi juga mempertimbangkan keberlanjutan ekonomi dalam jangka panjang.
Masyarakat perlu memahami bahwa meskipun harga barang turun, kondisi ini bukan selalu pertanda baik. Kita harus tetap waspada terhadap dampak jangka panjangnya, terutama bagi sektor bisnis dan ketenagakerjaan. Deflasi mungkin tampak seperti berkah saat ini, tetapi jika tidak diantisipasi dengan benar, bisa menjadi awal dari tantangan ekonomi yang lebih besar.