Konten dari Pengguna

TKDN Bukan Kambing Hitam: Strategi Cerdas Hadapi Tarif AS

Margareth Henrika Silow
Dosen Manajemen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawarman, Samarinda
13 April 2025 10:54 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Margareth Henrika Silow tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto : diolah oleh penulis
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto : diolah oleh penulis
ADVERTISEMENT
Ketika Amerika Serikat kembali memainkan genderang perang dagang terhadap Tiongkok di tahun 2025, gaungnya tak hanya terdengar di Washington dan Beijing, tetapi juga menggema hingga Indonesia. Di tengah ketegangan dua raksasa ekonomi dunia itu, Indonesia justru menjadi collateral damage, dikenai tarif impor 32% oleh AS. Di balik angka itu tersembunyi risiko lebih besar: masa depan industri nasional yang tengah bertumbuh. Bagaimana seharusnya Indonesia bersikap di tengah pusaran geopolitik ekonomi global ini?
ADVERTISEMENT
Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok kembali memanas pada awal 2025, menandai babak baru ketegangan geopolitik yang telah berlangsung sejak 2018. Ketegangan terbaru ini bukan hanya memengaruhi kedua raksasa ekonomi dunia, tetapi juga mengguncang struktur perdagangan global, termasuk posisi negara berkembang seperti Indonesia. Keputusan pemerintah Amerika Serikat memberlakukan tarif impor sebesar 32% terhadap sejumlah produk Indonesia memicu reaksi cepat dari Presiden Republik Indonesia, yang salah satunya berupa wacana penghapusan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sebagai kompensasi atas potensi penurunan daya saing ekspor. Namun, respons kebijakan ini patut ditinjau secara lebih mendalam, karena bisa saja berisiko mengorbankan kemandirian industri nasional dan memperburuk struktur ekonomi jangka panjang.
Studi-studi empiris terbaru terkait perang dagang AS-Tiongkok memberikan wawasan penting dalam memahami dinamika dan dampak konflik semacam ini terhadap sistem perdagangan internasional. Dalam artikel The Return of Protectionism (Ma & Ning, 2024), disoroti bahwa kebijakan tarif tinggi yang diterapkan Amerika Serikat sejak 2018 terhadap Tiongkok tidak berhasil mencapai tujuan utamanya: mengurangi defisit perdagangan dan memulihkan sektor manufaktur domestik. Justru, kebijakan tersebut mendorong relokasi rantai pasok global dan menimbulkan kerugian kesejahteraan ekonomi di kedua negara. Tarif tersebut tidak efektif menghidupkan kembali industri di AS, dan malah menciptakan distorsi dalam alokasi sumber daya dan meningkatkan harga produk di pasar domestik. Fakta ini menunjukkan bahwa proteksionisme bukanlah solusi struktural terhadap ketidakseimbangan dagang.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, riset How Did Chinese Exporters Manage the Trade War? (Sheng et al., 2025) mengungkap strategi Tiongkok dalam menghadapi tekanan tarif melalui mekanisme diversifikasi ekspor secara vertikal (Vertical Trade Diversion/VTD). Strategi ini melibatkan pengalihan produk dari pasar negara maju seperti AS ke negara-negara berkembang, terutama di kawasan Selatan global, dengan menyesuaikan kualitas produk dan menurunkan biaya penetrasi pasar. Hal ini menunjukkan fleksibilitas tinggi dari eksportir Tiongkok dalam mempertahankan daya saing tanpa harus bergantung pada pasar utama seperti Amerika Serikat. Peningkatan kualitas produk di negara tujuan baru juga menjadi bukti bahwa proteksionisme mendorong inovasi dan adaptasi pelaku usaha, bukan semata-mata menghambatnya.
Dalam konteks ketahanan regional, studi Regional Resilience During a Trade War (He et al., 2024) menunjukkan bahwa wilayah yang memiliki jaringan lokal yang kuat serta orientasi ekspor bernilai tambah tinggi terbukti lebih tahan terhadap guncangan dagang. Kota-kota yang sangat tergantung pada perusahaan asing dan aktivitas ekspor berbiaya rendah justru lebih rentan terhadap gejolak kebijakan proteksionisme. Temuan ini sangat relevan bagi Indonesia yang saat ini memiliki disparitas tinggi dalam struktur industri dan distribusi nilai tambah, khususnya antara industri hulu dan hilir.
ADVERTISEMENT
Dari sudut pandang teoritis, artikel Modelling Trade War Between Two Countries (Chen, 2024) menjelaskan bahwa perang dagang hanya akan muncul dalam kondisi tertentu, yaitu saat struktur permintaan internasional menunjukkan keseimbangan spesifik antara harga domestik dan harga substitusi lintas negara. Dalam ketidakseimbangan tersebut, solusi yang lebih efektif justru bukanlah perang dagang, melainkan penggunaan subsidi strategis dan reformasi struktur perdagangan internasional. Dengan kata lain, kebijakan yang menekankan transformasi industri dan peningkatan nilai tambah lebih menjanjikan daripada reaksi proteksionis spontan yang sering kali tidak menyelesaikan akar masalah.
Dampak ketegangan dagang juga sangat terasa di pasar keuangan global, sebagaimana ditunjukkan dalam riset Assessing Conditional Volatility Due to Trade War in the G-7 Stock Markets (Shafique & Bhutta, 2024). Meskipun volatilitas meningkat selama periode ketegangan, pasar saham negara maju seperti AS, Jepang, dan Inggris tetap menunjukkan ketahanan yang kuat. Ini disebabkan efisiensi pasar dan kedalaman sistem keuangan mereka yang memungkinkan informasi diserap secara cepat dan akurat. Bagi Indonesia, pasar keuangan yang masih rentan dan dangkal berpotensi menghadapi gejolak lebih besar, khususnya bila tekanan eksternal tidak diimbangi dengan kejelasan arah kebijakan domestik.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks tersebut, wacana penghapusan kebijakan TKDN sebagai respons terhadap tarif 32% dari AS perlu dikritisi secara rasional. TKDN, sebagai kebijakan afirmatif, dirancang untuk memperkuat basis industri dalam negeri melalui pemanfaatan komponen lokal dalam produksi barang dan jasa. Penghapusan TKDN mungkin memberikan kelonggaran jangka pendek dalam struktur biaya ekspor, tetapi dapat melemahkan industri nasional yang baru bertumbuh dan memperbesar ketergantungan pada bahan impor. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menghambat pembangunan kapasitas industri strategis dan mengurangi ketahanan ekonomi nasional terhadap guncangan eksternal.
Sebaliknya, Indonesia perlu mencontoh langkah-langkah strategis seperti yang dilakukan Tiongkok dalam menghadapi tekanan eksternal. Pertama, memperkuat diversifikasi pasar ekspor dengan menjajaki negara-negara berkembang yang selama ini kurang dimaksimalkan potensinya. Kedua, mendorong peningkatan kualitas dan inovasi produk agar tetap kompetitif secara global, terlepas dari hambatan tarif. Ketiga, memperkuat jaringan industri domestik dan integrasi rantai pasok lokal agar nilai tambah dapat dipertahankan di dalam negeri. Keempat, memperkuat kebijakan fiskal dan moneter yang responsif agar pasar tetap stabil dan adaptif terhadap tekanan global.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia juga perlu memahami bahwa perang dagang bukan semata persoalan tarif, melainkan cerminan dari rivalitas geopolitik yang lebih luas, termasuk isu keamanan teknologi, penguasaan pasar strategis, dan pengaruh politik global. Dalam konteks ini, kebijakan perdagangan harus diposisikan secara strategis dan terintegrasi dengan kebijakan industri, investasi, dan diplomasi ekonomi.
Dengan demikian, langkah terbaik bukanlah menyerah pada tekanan global dengan mengorbankan instrumen pembangunan nasional seperti TKDN, tetapi memperkuat kapasitas domestik melalui transformasi industri dan diplomasi dagang yang cerdas. Indonesia perlu menegaskan posisinya sebagai negara berkembang yang mampu menavigasi tantangan global dengan tetap menjaga kedaulatan ekonominya. Sejarah menunjukkan bahwa dalam setiap krisis, tersimpan peluang untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional—dengan syarat bahwa respons kebijakan yang diambil bersifat strategis, inklusif, dan berbasis pada pembelajaran empiris yang kuat.
ADVERTISEMENT
Perang dagang adalah cermin dari dinamika kekuasaan global, namun respons kita terhadapnya adalah cermin dari arah pembangunan nasional. Alih-alih mengorbankan instrumen penting seperti TKDN demi kelonggaran jangka pendek, Indonesia seharusnya memperkuat pondasi industri domestik dan membangun ketahanan ekonomi dari dalam. Di tengah ketidakpastian global, bangsa yang mampu mengendalikan respons strategisnya sendiri adalah bangsa yang akan keluar sebagai pemenang, bukan hanya selamat.