news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Pelajaran Hidup dari Mbah Lindu, Legenda Gudeg Yogyakarta

Hepi Nuriyawan
Karyawan Swasta dan Esais
Konten dari Pengguna
21 Juli 2020 13:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hepi Nuriyawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi : Mbah Lindu berjualan gudeg di Jl. Sosrowijayan, dekat Malioboro (source : food.detik.com)
Biyem Setyo Utomo, atau lebih dikenal dengan nama Mbah Lindu, adalah salah satu penjual gudeg di Yogyakarta yang sudah melegenda. Beliau dikenal sebagai penjual gudeg sejak jaman penjajahan Belanda dan Jepang.
ADVERTISEMENT
Bahkan, di umur yang menanjak 97 Tahun, Mbah Lindu masih sempat ngrewangi atau membantu anak-anaknya menyiapkan dagangan gudeg yang buka pada pukul 5 subuh. Tentu saja membantu di dapur utama. Sejak akhir tahun 2018, Mbah Lindu “bertugas” sebagai juru masak utama di rumahnya di Klebengan, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta.
Di umur yang sudah tidak muda lagi, semangat melestarikan makanan Yogyakarta tidak pernah kikis. Kegigihannya membawa makanan Gudeg menjadi tenar hingga saat ini. Ada beberapa hal yang bisa diambil menjadi pelajaran dari sosok Mbah Lindu ini.
Semangat Terus Berdagang
Menurut Wiliam Wongso, Pakar Kuliner di Indonesia, Mbah Lindu mungkin satu-satunya sosok manusia di dunia yang di umur 90-an masih semangat untuk terus berdagang. “Ini harus masuk Guiness (World Record) karena tidak ada di dunia ini (orang yang sesepuh Mbah Lindu) yang masih hidup, masih tiap hari berjualan dan masak, seperti Mbah Lindu. Tidak ada.
ADVERTISEMENT
Semangat ini yang sudah lama berkobar sejak umur 13 Tahun dimana saat itu masih Zaman Pendudukan Belanda. Mbah Lindu memiliki pengalaman unik ketika berjualan di zaman kolonial. Ketika serdadu meminta nasi gudeg, dengan sigap beliau memberinya. Kalau tidak, bisa-bisa Mbah Lindu muda ditangkap dan ditawan oleh penjajah.
Semangat ini juga membekas di hati keluarganya. Pasalnya, hampir setiap hari Mbah Lindu selalu disiplin dan tepat waktu. Beliau yang pertama kali bangun ketika matahari belum menampakkan wujudnya.
Setiap jam 2 siang, Mbah Lindu mulai menyiapkan peralatan dan bahan masaknya. Mulai membuat gudeg dari nangka yang bercita rasa manis karena gula merah, ayam maupun telor bacem, dan lauk pauk lainnya. Beliau memasak sampai sekitar jam 7. “Jam 7 matiin api. Sudah matang tapi belum terlalu matang. Jadi didiamkan dulu.” Tutur beliau.
ADVERTISEMENT
Kemudian lanjut istirahat, sampai pukul 2 pagi. Saat dini hari ini beliau masak nasi dan bubur. Setelah itu, pukul 04.30 bersama dengan anak-cucu menyiapkan lapak dagangannya di Jl. Sosrowijayan, masih dekat dengan Jalan Malioboro.
Hal yang memacu semangat berjualan Mbah Lindu adalah karena keluarga. Mbah Lindu tidak ingin merepotkan keluarganya dengan alasan apapun. “Mbah pingin panjang umur, pingin dodolan, ampun ngrepoti anak putu. (Doakan mbah semoga panjang umur. Agar mbah bisa jualan terus. Tidak mau merepotkan anak dan cucu)”.
Bekerja Merupakan Wujud Syukur
Sebagai orang yang diberi kenikmatan yang “lengkap” tanpa suatu kekurangan apapun, kita harus bersyukur dengan apa yang diterima. Wujud rasa syukur akan badan kita yang sehat dan lengkap adalah menggunakan sebaik mungkin amanah dari Tuhan.
ADVERTISEMENT
Begitu pula yang diterapkan oleh Mbah Lindu. Beliau diberi nikmat sehat, badan yang lengkap, dan tidak berkurang suatu apapun dari penglihatan hingga pendengaran. Semuanya masih berfungsi dengan baik. Beliau mengungkapkan rasa syukurnya dengan bekerja.
Mengapa bekerja? Karena memperdayakan segala kemampuan jiwa raga untuk kegiatan yang baik nan halal, yaitu berniaga.
Bisa saja di umur yang renta seperti ini Mbah Lindu cukup duduk manis di rumahnya. Mungkin sambil mengawasi anggota keluarga maupun karyawan bekerja memasak atau berjualan. Tapi tidak dengan Mbah Lindu. Sampai menjelang akhir hayatnya, beliau masih menggunakan sisa tenaganya untuk mau terjun langsung memasak.
Karena sering beraktivitas, tak jarang Mbah Lindu jarang sekali terkena penyakit yang serius. Beliau malah berkelakar kalau tidak jualan, malah membuat beliau menjadi sakit.
ADVERTISEMENT
Dokter aja bingung sama mbah. Kok orang tua ga ada penyakit? Mbah jawab, “saya sakit kalau tidak ada uang.” Dokternya malah ketawa.
Ternyata rasa syukur ini tidak hanya bahagia apa yang dimiliki. Tetapi lebih dari itu, menggunakan segala daya upaya yang dimiliki juga cermin dari ungkapan rasa syukur. Bersyukur dengan anugerah Tuhan yang memberikan segala kenikmatan yang diberikannya.
Menerima Apa Saja dari Tuhan
Dengan pencapaian saat ini, Mbah Lindu tentu saja bisa memetik hasil dari buah kesuksesan menjual gudeg. Bisa memiliki rumah cukup mewah, kendaraan banyak, dan lain-lain.
Tapi jangan kaget kalau pandangan semua itu sirna ketika melihat faktanya. Mbah Lindu memiliki rumah yang sangat sederhana. Dengan sentuhan gaya jawa dimana penuh dengan papan jati, menunjukkan betapa sederhananya kehidupan Mbah Lindu.
ADVERTISEMENT
Dapur yang mungkin ada dalam pandangan orang sudah berkompor dan gas elpiji, semua tidak ada. Hanya pawon dan kayu bakar yang menghiasi dapur Mbah Lindu.
Mungkin hanya kendaraan berupa sepeda motor dan mobil bak terbuka untuk sarana belanja bahan dan pulang-pergi berjualan, yang dimiliki Mbah Lindu dari segi alat modernnya. Sisanya? Masih dengan cita rasa lokal yang sederhana.
Ini juga kunci dari Mbah Lindu mengapa beliau bisa bertahan berjualan selama kurang lebih 84 tahun. Dikala industri kuliner sudah merajut ke arah modern, Mbah Lindu tetap dengan mempertahankan ketradisionalan.
Hidup ga usah macam-macam. Jangan iri dengan kepunyaan orang lain. Walau tidak punya apa-apa, terima apa yang kita miliki. Yang penting anak diberi kesehatan.
ADVERTISEMENT
***
Mbah Lindu meninggalkan kita semua Hari Minggu, 12 Juli 2020. Tepat di usianya yang ke 100. Sudah sembilan hari Mbah Lindu meninggalkan beberapa kenangan dan pengalaman hidup. Begitu banyak pelajaran yang bisa diambil dari beliau, tentang arti semangat menjalani hidup, sampai di usia yang tidak bisa dibilang muda.
Sebagai generasi muda, tentunya kita bisa mengambil pelajaran dari Mbah Lindu. Tak perlu mengeluh dengan keadaan yang sekarang. Tetap maju sesuai dengan keyakinan masing-masing. Tak perlu juga iri dengan keberhasilan dan kepunyaan orang lain.
Menjadi diri sendiri dikala serbuan globalisasi. Mbah Lindu membuktikan, cita rasa khas gudeg buatannya akan selalu terpatri di hati. Karena cita rasanya berbeda dari yang lain.
Selamat jalan Mbah Lindu. Terima kasih untuk gudegmu yang selalu dirindu.
ADVERTISEMENT