Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Rapot Kuning Untuk Mas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
28 Juli 2020 12:07 WIB
Tulisan dari Hepi Nuriyawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Tahun Ajaran Baru Periode 2020/2021 baru saja dimulai. Seperti biasa Anak-anak kembali masuk ke sekolah setelah berbagai perjuangan yang ditempuh, seperti seleksi penerimaan siswa baru dan ujian semester. Awal ajaran baru seringnya ditandai dengan beragam warna-warni anak-anak bersepeda di jalanan menuju sekolah masing-masing. Ada putih merah, putih biru, dan putih abu-abu, semuanya mewarnai jalanan pagi harinya.
ADVERTISEMENT
Namun, tahun ini sungguh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Tak ada hingar bingar anak sekolah bersepeda dengan seragam lengkap. Hanya yang berstatus “Siswa Baru” yang ke sekolah untuk mengikuti Masa Orientasi Siswa (MOS). Tentu jalanan menjadi sepi. Tak bisa melihat wajah-wajah yang bersemangat menjemput ilmu.
Kondisi dunia yang tak tentu memaksa pemerintah menerapkan beberapa kebijakan agar pendidikan tetap jalan sesuai Protokol Kesehatan Covid-19. Melalui Kebijakan Menteri Pendidikan, seluruh kegiatan belajar dilakukan secara online di rumah masing-masing. Hal ini membuat kegiatan belajar-mengajar di sekolah menjadi sepi.
Akan tetapi, kebijakan belajar online menjadi berlebihan, ketika Menteri Pendidikan, Nadiem Makariem berpendapat pada Rapat Komisi X DPR RI pada Kamis (2/7). “Pembelajaran jarak jauh ini akan menjadi permanen. Bukan pembelajaran jarak jauh pure saja, tapi hybrid model.” tutur beliau. Ditambah dengan sinyal dari Presiden Jokowi yang mendukung rencana pembelajaran jarak jauh secara online dibuat permanen.
ADVERTISEMENT
Mungkin Mas Menteri ini lupa bahwa pendidikan tidak hanya masalah mengajar atau mentransfer ilmu dari guru ke murid, tapi juga mendidik anak untuk membentuk dan menemukan karakter pribadi masing-masing. Langkah mendidik ini haruslah dilakukan secara langsung, tidak bisa digantikan oleh sebuah teknologi.
Sebagai contoh pembelajaran model pesantren. Para santri diwajibkan untuk belajar dengan bertatap muka secara langsung dengan guru. Apalagi ketika belajar tentang membaca huruf arab. Salah ucap maupun salah panjang pendeknya akan berakibat fatal tentang makna per katanya. Yang seperti itu tidak bisa digantikan oleh sebuah video call melalui zoom atau semacamnya.
Kemudian, Pendidikan Pesantren didesain untuk menghormati kyai yang notabene orang yang dituakan. Senakal-nakalnya santri, tak ada satu pun santri yang berani melawan gurunya. Jangankan melawan, untuk sekedar menatap matanya pun sungkan.
ADVERTISEMENT
Sikap menghormati orang yang lebih tua maupun dituakan, tidak akan didapat dalam sistem pembelajaran jarak jauh secara online. Banyak kasus yang ketika pembelajaran online berlangsung, siswa tidak fokus pada pembelajarannya. Jelas seperti itu akan kehilangan makna mendidik anak untuk sekedar menghormati jerih payah orang lain, khususnya guru, yang telah menyiapkan segala keperluannya untuk masa depan anak-anak. Apakah hal-hal sepele ini sudah dipikirkan oleh Mas Menteri?
Belum lagi dengan permasalahan Penerapan Kurikulum 2013 (K-13) yang saat ini masih belum bisa dilaksanakan di semua sekolah. Indonesia termasuk negara yang cukup aneh, karena pendidikannya berlaku tiga kurikulum yang karakternya berbeda. Kurikulum 2006 (KTSP), Kurikulum Peralihan, dan K-13. KTSP yang lebih menekan kognitif anak. K-13 ditekankan pada Pendidikan Karakter. Sementara Kurikulum Peralihan perpaduan antara keduanya. Berbeda dengan Negara Finlandia yang hanya menerapkan satu kurikulum, dan itu pun bertahan selama puluhan tahun tanpa diganti.
ADVERTISEMENT
Jalannya sebuah pendidikan tidak bisa hanya berupa kebijakan. Tapi juga memerlukan sarana dan prasarana yang memadai. Tak mengherankan, jika anggaran pendidikan dalam APBN diprioritaskan paling tinggi dari segala anggaran, yaitu 20% dari APBN. Bahkan, anggaran pendidikan sebesar 20% itu sudah dijamin oleh UUD 1945 sebagai konstitusi negara, yaitu pada Pasal 31 ayat 4.
Namun, alokasi 20% Anggaran Pendidikan sepertinya belum maksimal. Banyak contoh serapan anggaran sebesar itu belum terserap sepenuhnya. Seperti bangunan sekolah yang masih banyak yang rusak. Persediaan buku-buku pelajaran yang masih minim. Prasarana penunjang seperti laboratorium, perpustakaan, dan lain-lain yang jumlahnya bisa dihitung jari.
Ironisnya, keadaan seperti itu justru semakin hari semakin banyak kasus yang menggambarkan pendidikan kita malah mundur ke belakang. Baru-baru ini tersiar kabar ada bangunan sekolah yang dijual oleh pihak desa di daerah Garut, Jawa Barat, dengan harga Rp. 80 juta. Alasannya, dana tersebut akan digunakan untuk membangun sekolah karena dipindah lokasinya.
ADVERTISEMENT
Kasus tersebut bisa jadi sebuah fenomena gunung es yang ada di negeri ini. Jika dijumlahkan kasus per daerah, tentu saja akan membuat miris hati.
Tapi, mau bagaimana lagi, Anggaran Pendidikan tahun 2020 saja hanya Rp. 75 Triliun. Jauh lebih kecil jika benar-benar melaksanakan amanat konstitusi yaitu anggaran 20% dari APBN, sekitar Rp. 500 Triliun. Dengan angka Rp. 75 Triliun itu, apa yang bisa diharapkan dari pendidikan kita? Mirisnya, pemerintah malah lebih memprioritaskan Anggaran Pertahanan dan Keamanan dibanding Pendidikan.
Tak bisa diharapkan lagi jika anggaran pendidikan hanya kurang dari 10% dari APBN. Sekolah rusak, perpustakaan yang minim koleksinya, sampai prasarana pendukung seperti akses internet juga masih hanya dalam bayang-bayang maya. Padahal, pemerintah menggenjot program Pendidikan yang berfokus pada pengembangan karakter anak demi menghadapi Revolusi Industri 4.0.
ADVERTISEMENT
Cita-cita pemerintah tersebut hanya terkesan sebuah buih di lautan. Semangat diucapkan, namun tanpa realisasi nyata. Buktinya, Mas Menteri masih terkaget-kaget ketika mendapat laporan ada daerah yang sulit akses listriknya. Listrik ini termasuk komponen pendukung utama dalam sistem pembelajaran jarak jauh di rumah. Bagaimana mau menerapkan pembelajaran jarak jauh? Sarana dan prasarana saja masih banyak kekurangan di masing-masing daerah.
Jika Mas Nadiem mau menerapkan pembelajaran jarak jauh secara permanen, coba dilihat dulu sarana dan prasarana masing-masing daerah. Sudah memadai atau belum. Jangan hanya cuma kaget sambil menggerutu “Lho, ga ada listrik ya disana?”, “kok ga ada akses internet disana?”. Menjadi Pembuat Kebijakan itu kerjanya bukan untuk kagetan.
Tapi yang lebih penting adalah Apakah Mantan Bos Gojek ini paham dengan perbedaan istilah antara Mendidik dan Mengajar? Mengingat kedua istilah ini memiliki makna yang berbeda. Padahal, Mendidik dan Mengajar adalah “jantungnya” proses pendidikan. Kedua istilah ini tentunya harus segera dipelajari baik-baik oleh Mas Nadiem. Apalagi jika masih diberi amanat menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI yang membersamai Presiden Jokowi hingga purna tugas.
ADVERTISEMENT
Namun, jika pengabdian Mas Nadiem hanya berumur 10 Bulan, sekiranya Presiden menunjuk orang yang benar-benar ahli pendidikan. Orang yang memiliki jabatan Guru Besar dan berlatar belakang murni pendidikan. Karena selama ini, Menteri Pendidikan setelah Ki Hajar Dewantara, belum ada lagi tokoh yang berasal dari latar belakang kependidikan dan sangat paham dunia pendidikan. Mungkin hanya Daoed Joesoef saja yang mampu mengimbangi Bapak Pendidikan itu.
Rapot untuk Mas Nadiem di semester awal ini masih kuning. Masih bisa diperbaiki dengan berbagai macam kebijakan dan aksi nyata pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan yang mumpuni. Semoga Mas Nadiem bisa meningkatkan prestasi kerjanya lebih baik lagi.