Konten dari Pengguna

Wahai Petani, Kaulah Pahlawan Kami Saat Covid-19

Hepi Nuriyawan
Karyawan Swasta dan Esais
6 Agustus 2020 7:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hepi Nuriyawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Google Image
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Google Image
ADVERTISEMENT
Suatu sore setelah selesai bertugas, saya mampir ke rumah nasabah sambil numpang “ngopi”. Namanya Pak Kuswanto. Beliau adalah seorang petani yang cukup mahsyur di Kabupaten Cilacap. Pak Kuswanto sudah menjalani profesi petani sejak puluhan tahun yang lalu. Tak heran jika beliau dikenal juga di kalangan tim marketing produk pertanian, bahkan sampai Dinas Provinsi Jawa Tengah.
ADVERTISEMENT
Wahai Bapak-Ibu Petani, Kaulah Pahlawan Kami Saat Ini
Suatu sore setelah selesai bertugas, saya mampir ke rumah nasabah sambil numpang “ngopi”. Namanya Pak Kuswanto. Beliau adalah seorang petani yang cukup mahsyur di Kabupaten Cilacap. Pak Kuswanto sudah menjalani profesi petani sejak puluhan tahun yang lalu. Tak heran jika beliau dikenal juga di kalangan tim marketing produk pertanian, sampai orang Dinas Provinsi Jawa Tengah.
Di rumah beliau, ada dua tamu juga yang ikut “ngopi”. Pak Rudy, pihak marketing sebuah produk pertanian, dan Pak Roni, teman sepertanian Pak Kuswanto. Kami semua bercengkerama tentang segala permasalahan pertanian. Apalagi saat ini untuk daerah Maos, Kabupaten Cilacap sedang sibuk musim panen. Saya yang termasuk paling muda dan paling kurang paham masalah pertanian. Jadi saya hanya menyimak dan sesekali masuk dalam perbincangan.
ADVERTISEMENT
Saat Covid-19, hanya ada dua pekerjaan yang siap bertahan sampai saat ini lho pak. Pertama komunikasi, kedua pertanian. Coba bayangkan kalau petani juga diwajibkan untuk ikut aturan PSBB, mau makan apa besok?” Sahut Pak Rudy.
Saya merenung apa yang diucapkan oleh Pak Rudy tersebut. Sampai saya teringat kejadian akhir Maret lalu, dimana PSBB sudah diberlakukan di setiap daerah, termasuk Kabupaten Cilacap. “Semua wajib di rumah. Tidak boleh keluar rumah. Kalau terpaksa keluar, pakai masker.” Himbauan dari beberapa stakeholder mengingatkan bahaya Covid-19.
Dari sekian banyak orang yang patuh, hanya satu yang mungkin dinilai melanggar aturan PSBB, yaitu Petani. Karena waktu itu, saya hampir tak pernah melihat ada seorang petani memakai masker ke sawah. Tidak ada. “Berani juga ini orang-orang?” Dalam benakku. Apalagi akhir Maret baru mulai musim tanam, dan mulainya pagebluk Covid-19.
ADVERTISEMENT
***
Saya sendiri kehabisan kata-kata bagaimana salutnya dengan orang yang berprofesi sebagai petani. Saat dunia menjadi “lemah tak berdaya” menghadapi serangan virus corona. Diminta untuk tetap tenang di rumah, karantina mandiri. Petani dengan langkah tegap dan gagah berani menuju ke sawah tanpa memperhatikan protokol kesehatan. Mereka mau berkorban jiwa, raga, dan hartanya hanya untuk kepentingan khalayak banyak, yaitu kebutuhan pangan.
Padahal, masih banyak yang sinis dengan profesi ini. Menganggap sebuah profesi rendahan, sampai dicap sebagai “wong cilik”. Apa betul status “wong cilik” untuk petani? Saya rasa itu salah alamat.
Bahkan, ada salah seorang tokoh negeri ini berkata, “Saya harap kedepannya anak-anak dari petani ini bisa menjadi dokter.” Sekilas ini suatu kalimat yang membanggakan dan menggairahkan. Tapi, sebenarnya ini justru sangat berbahaya bagi kelangsungan pangan nasional.
ADVERTISEMENT
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) untuk tahun 2019 saja, jumlah petani di Indonesia terus menurun. Kali ini berada di angka 33,4 juta petani. Itu pun untuk usia milenial (19-30 tahun) tak sampai 10%-nya. Coba dibandingkan dengan total penduduk Indonesia saat ini. Kurang dari 15% yang memilih profesi mulia ini.
Dengan kekurangan petani ini, jelas menghambat produksi beras nasional. Hal ini tentu akan mengancam ketahanan pangan nasional. Bukannya memberikan solusi untuk petani, pemerintah justru membuka solusi jalan pintas : Impor Beras.
Daripada stok beras kita menipis. Nanti kalau rakyat kita kelaparan, bagaimana?Ah, kalimat yang sangat sulit dipahami itu. Hanya bisa dilakukan oleh orang-orang profesional.
Jelas-jelas berita impor beras terus membanjiri halaman berita. Tapi apa yang dilakukan oleh petani? Mogok kerja? Tidak, kawan. Justru mereka malah tetap semangat menyiapkan cadangan pangan untuk kita-kita ini. Bisa saja bapak-ibu petani duduk manis saja di rumah sambil menikmati kopi dan gorengan, serta memandangi sawah maupun pekarangan rumah. “Kan sudah ngimpor, mau ngapain lagi? Ya tinggal santai aja tha?
ADVERTISEMENT
Tidak seperti para pekerja lainnya yang hobinya menuntut jika gaji atau kesejahteraannya berkurang. Sedikit-sedikit demo. “Tolong dengarkan aspirasi kami! Kami ini kurang sejahtera! Naikkan gaji kami!”. Seperti tidak pernah melihat ke bawah kalau ada yang jauh lebih kurang beruntung dari mereka yang lantang bersuara.
Apakah petani juga melakukan hal demikian? Selama pemberitaan impor beras, saya tak melihat petani mogok kerja. Malah tetap enjoy ke sawah. Tak terlihat pula spanduk kecaman “Tolong perhatikan nasib petani!”. Mungkin itu cara mereka yang cantik dan anggun untuk menyuarakan protes keras ke beberapa pemangku kepentingan.
Apalagi ketika Pak Roni menceritakan pengalaman saat rapat dengan pihak desa, terkait pemberlakukan PSBB di desanya Maret lalu. Beliau memprotes atas pemberlakuan aturan tersebut untuk semua kalangan, termasuk petani.
ADVERTISEMENT
Maaf Pak Kades, Pak Babinsa, dan Pak Babinkamtibmas, kalau petani diminta ikut serta dalam peraturan PSBB, lalu siapa tanam padinya? Siapa yang mau kasih pupuk? Siapa yang panen? Bapak-bapak ini mau gak? Terus siapa yang menjamin keberhasilan ketahanan pangan desa kita?
Kata Pak Roni, saat itu semua orang terdiam. Tak ada yang berani berbicara. Suasana rapat menjadi hening seketika. Sampai Pak Kades berbicara, “Ya sudah, kita kecualikan para petani ikut aturan (PSBB) ini.”
Saya mulai bertambah kekaguman atas tindakan heroik Pak Roni ini. Sebagai karyawan swasta biasa saja saya mungkin tidak berani melakukannya. Yang dihadapi bukan sembarangan penyakit. Saat ini saja sudah menyentuh angka 100.000 penderitanya menurut data Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19.
ADVERTISEMENT
Mau-maunya ini petani mengorbankan badannya, hanya agar kita terhindar dari penyakit kelaparan. Jelas-jelas Covid-19 ini bahaya banget. Gila bener?” Pikirku saat itu. Mungkin di kepala mereka cuma satu, tak mau melihat kita kekurangan pangan. Tentu saja iya, karena salah satu kebutuhan pokok manusia juga.
Saya juga sangat bersyukur, karena sampai saat ini belum terdengar kabar dari manapun tentang pasien Covid-19 dari klaster pertanian. Hampir semua yang terkena virus tersebut berada di lingkungan rumah dan perkotaan. Kalau di desa, rata-rata pendatang yang berasal dari kota yang terjangkit Virus ini. Bisa jadi apa yang dikatakan salah satu menteri saat itu benar adanya. “Virus akan mati kalau di bawah terik matahari.” Kalau boleh menambahkan sedikit, “... di bawah terik matahari di tengah hamparan sawah.”.
ADVERTISEMENT
***
Pak Kuswanto dan Pak Roni adalah contoh kecil dari sebagian pahlawan ketahanan pangan. Saya yakin di luar daerah tempat tinggal mereka, masih ada banyak pahlawan ketahanan pangan yang terlahir dari tanah sawah. Bahkan bisa jauh lebih heroik dan lebih perkasa dalam menghadapi tantangan pagebluk saat ini.
Alangkah baiknya mulai saat ini kita menghargai upaya keras dari petani untuk sekedar mengenyangkan perut kita. Saya sangat jengkel kalau ada yang makan tapi nasinya masih disisakan banyak. Siapapun mereka. Seakan tidak menghargai kerja keras petani melawan terik matahari dan segala serangan hama. Cara menghargai petani ya satu, habiskan nasi yang ada di piring kita.
Senja pun mulai tiba. Kopi sudah tinggal ampasnya. Saya bergegas kembali ke kantor dan berpamitan dengan tiga pahlawan hebat. Teriring doa semoga mereka sehat selalu, dan menjadi pahlawan yang tak ternilai harganya.
ADVERTISEMENT