Konten dari Pengguna

Information Governance: Pengelolaan Media Sosial di Lingkungan Birokrat

Heri Apriyanto
Pendidikan terakhir: -Master Of Information Technology - University of South Australia Pekerjaan: Pranata Komputer di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
23 Juli 2021 15:06 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Heri Apriyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar diambil dari Freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Gambar diambil dari Freepik.com
ADVERTISEMENT
Menjamurnya aplikasi media sosial dan bervariasinya layanan yang ditawarkan kepada komunitas membuat jumlah pengguna media sosial mencapai lebih dari 4 miliar pengguna di dunia (sumber: we are social, 2021). Di indonesia sendiri, terdapat 170 juta pengguna aktif media sosial.
ADVERTISEMENT
Kebanyakan dari mereka memanfaatkan smartphone untuk mengakses Youtube, Whatsapp, Facebook, Instagram, dan berbagai macam aplikasi media sosial lainnya. Trend ini juga merambah di lingkungan birokrasi. Seperti dua mata pisau, penggunaan media sosial di kalangan birokrat akan dapat memberikan dampak buruk seperti keterlambatan pelayanan, kebocoran data, hingga menurunnya produktivitas individu.
Di lain sisi, penggunaan dan pemanfaatan media sosial juga dapat meningkatkan kualitas pelayanan, memperbaiki kualitas komunikasi publik, hingga pencegahan penyalahgunaan wewenang di lingkup birokrasi.
Penggunaan media sosial yang berlebihan oleh pegawai pemerintahan baik sipil maupun militer akan berdampak pada terlambatnya pelayanan kepada masyarakat. Pertama, penggunaan media sosial pada jam kerja akan secara langsung memotong jam produktif para birokrat. Berdasarkan hasil penelitian oleh James dan Meredith dari Universitas Baylor, Texas, Amerika Serikat yang dimuat pada jurnal internasional Human Computer Interaction pada tahun 2010, pengguna media sosial akan berpotensi mengalami sindrom Fear of Missiong Out (FoMO).
ADVERTISEMENT
Sindrom ini akan membuat penderitanya merasakan kecemasan apabila tertinggal sesuatu yang baru dari media sosial mereka. Dampaknya, mereka akan selalu memantau media sosial mereka tanpa mengenal waktu hanya karena tidak ingin merasa tertinggal akan berita terbaru yang ada di sosial media. Kondisi seperti ini akan sangat mengganggu pelayanan publik apabila dialami oleh para birokrat.
Hal negatif lain yang dapat terjadi adalah adanya kebocoran data. Kebocoran data lembaga pemerintah dapat saja terjadi baik itu melalui postingan secara langsung dari lingkungan birokrat ataupun pencurian data di media sosial. Dikutip dari kompas, pada awal tahun 2021, ada laporan kebocoran data terjadi melalui media sosial.
Terdapat lebih dari 200 juta data pengguna media sosial baik itu pengguna instagram, facebook dan pengguna media sosial lainnya yang dimanfaatkan oleh pihak lain yang tidak bertanggung jawab. Hal ini tentunya sangat mengkhawatirkan mengingat banyaknya dokumen dan informasi rahasia yang terdapat di lingkungan birokrasi dapat terekspos secara bebas di internet melalui media sosial.
ADVERTISEMENT
Hal yang terburuk dari penggunaan media sosial secara berlebihan oleh birokrat adalah terganggunya jasmani dan rohani. Banyaknya berita hoaks, aktivitas bullying, dan berita-berita bernuansa negatif akan sangat berdampak pada psikologi pengguna media sosial. Rasa tidak percaya diri, takut untuk berkomunikasi di komunitas, dan kecemasan berlebihan menanggapi suatu masalah dapat diakibatkan dari penggunaan secara berlebihan media sosial. Kurangnya tidur dan intensitas penggunaan layar ponsel atau komputer juga akan berdampak pada kesehatan fisik dan mata.
Lalu, apakah penggunaan media sosial selalu berdampak buruk? jawabannya adalah tidak. Media sosial adalah alat untuk bersosial dan terhubung di internet. seperti alat-alat lain, jika penggunaanya salah atau berlebihan akan memberi dampak negatif. Jika digunakan secara bijak, media sosial akan memberi dampak positif baik bagi individu maupun juga pelayanan di lingkungan birokrasi.
ADVERTISEMENT
Mengingat begitu banyaknya pengguna media sosial di Indonesia. Sudah banyak pemerintah daerah yang memanfaatkan media sosial seperti whatsapp, youtube, ataupun facebook sebagai sarana pelayanan. Baik itu untuk mempermudah komunikasi publik, hingga sebagai sarana pendaftaran pelayanan. Dari situs Pemerintah Kabupaten Pasuruan misalnya, kita dapat mengetahui bahwa whatsapp digunakan untuk pendaftaran layanan dan mencari informasi terkait proses pelayanan seperti pengajuan KTP,KK,dll. Youtube juga banyak digunakan sebagai corong informasi kebijakan pemerintah seperti yang dilakukan oleh akun resmi Sekretariat Negara Pemerintah Indonesia yang memberitakan mengenai kegiatan dan kebijakan pemerintah.
Selain itu, maraknya penggunaan media sosial juga dapat dimanfaatkan untuk alat kontrol sosial. Pencegahan tindakan penyalahgunaan wewenang di kalangan birokrasi hingga tindakan korupsi dapat dicegah dan diungkap melalui media sosial. Melalui media sosial, masyarakat dapat dengan mudah menginformasikan terjadi penyelewengan pembangunan atau kebijakan tanpa harus terbentur ruang dan waktu. Beberapa tahun lalu, pengguna sosial media membongkar tindakan penyelewengan wewenang di jembatan timbang daerah Jawa tengah. Hal ini memicu tindakan tegas Gubernur Ganjar Pranowo yang melakukan Sidak langsung untuk mengecek keabsahan berita di media sosial tersebut.
ADVERTISEMENT
Lalu, Bagaimana seharusnya menyikapi maraknya penggunaan media sosial di kalangan birokrat? pemblokiran dan larangan penggunaan media sosial secara penuh di lingkungan pemerintahan bukanlah solusi terbaik. Tidak adanya kontrol penggunaan media sosial juga akan berdampak negatif pada indeks pelayanan publik. Information Governance atau pengaturan pengelolaan informasi dan penggunaan media sosial adalah solusi terbaik untuk meminimalisir dampak negatif media sosial dan mengoptimalkan penggunaan media sosial untuk peningkatan pelayanan publik.
Pertama, harus adanya regulasi yang mengatur mengenai waktu penggunaan media sosial di lingkungan birokrasi. Hal ini mencakup, durasi, kondisi, dan kapan media sosial boleh digunakan dan tidak boleh digunakan. Kedua, informasi apa saja yang boleh di bagikan dan kapan itu boleh dilakukan harus ditetapkan dan disosialisasikan dengan baik. Hal ini untuk mencegah adanya kebocoran data. Menentukan siapa yang berhak menginformasikan suatu informasi kepada masyarakat ataupun memberikan klarifikasi terkait isu-isu tertentu juga dapat mencegah kebingungan di kalangan masyarakat. Metode kontrol dan monitor juga perlu ditetapkan untuk memastikan seluruh regulasi dapat diterapkan dan dipatuhi oleh seluruh pengguna sosial di lingkungan birokrat. Terakhir adalah infrastruk yang dapat mengawal terlaksananya pengelolaan media sosial. Pembatasan jam penggunaan media sosial melalui jaringan kantor, atau monitoring birokrat melalui cyber trace activity methode atau penggunaan CCTV dapat diimplementasikan di lingkungan birokrasi.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, media sosial hanyalah alat, tidak ada alasan untuk menyalahkan media sosial tentang segala hal negatif yang terjadi di dalamnya. Karena, jika kita bijak dalam menggunakan dan mengelolanya, media sosial juga dapat memberikan manfaat yang sangat baik di segala sektor tidak hanya di lingkungan birokrat (HA).
Pengguna media sosial mencoba mengabadikan momen diacara Australian Day pada tahun 2019. Gambar diambil di Adelaide, Australia Selatan.