Konten dari Pengguna

Interaksi Manusia dan Hewan dalam Serial Animasi Avatar: The Last Airbender

heri st
Dosen Prodi Perpustakaan dan Sains Informasi Universitas YARSI
13 Maret 2024 12:50 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari heri st tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Serial animasi Avatar: The Last Airbender tengah menjadi perbincangan hangat di jagat penikmat sinema. Hal ini dilatari oleh tayangnya ATLA versi live action garapan Netflix yang digadang-gadang akan berlanjut ke musim kedua. Meskipun banyak menuai kritik, tetapi tidak sedikit pula yang memuji keberanian dan usaha Netflix untuk mewujudkan impian masa kecil para penggemar serial ATLA.
ADVERTISEMENT
Serial ATLA sendiri, tayang pertama kali di Indonesia pada 2008. Serial ini sangat populer dan tidak hanya digandrungi oleh anak-anak, tetapi juga orang dewasa. Oleh karena alur ceritanya yang menarik, dan banyak memuat isu-isu global. Salah satu yang cukup intens terlihat (tetapi juga luput dari obrolan), yaitu bagaimana ATLA memiliki kepedulian terhadap isu lingkungan/ekologi. Lebih spesifik lagi antara hubungan manusia dengan nonmanusia.
Hubungan manusia dan nonmanusia tidak selalu bersifat kooperatif. Hal ini dapat dilihat dari interaksi antara manusia dengan binatang yang seringkali diwarnai oleh eksploitasi dan kekerasan. Isu mengenai relasi negatif antara manusia dan binatang mendapat perhatian dalam studi ekokritisisme.
Hal menarik dari animasi ATLA, yaitu adanya masalah degradasi area alami spesies nonmanusia, salah satunya muncul pada episode Winter Solstice, Part 1: The Spirit World. Kehilangan habitat menjadi sumber kemarahan arwah Hitam dan Putih (Hei Bai). Kemarahan itu tampak jelas diarahkan pada aktivitas manusia yang merusak alam. Melalui episode ini, teks memperlihatkan hubungan manusia dan nonmanusia yang tidak berjalan harmonis.
ADVERTISEMENT
Keempat Negara memiliki hubungan simbiosis dengan makhluk hidup lain. Khususnya dengan hewan yang menjadi sumber pengendalian elemen air, tanah, api, udara. Pada episode The Firebending Masters, Toph menjelaskan bahwa sumber pengendalian tanah berasal dari Tikus Tanah. Toph belajar pengendalian tanah dari hewan tersebut, sementara sumber pengendalian udara, dijelaskan oleh Aang, berasal dari hewan bison terbang. Zuko menjelaskan elemen api berasal dari Naga. Satu-satunya elemen yang tidak berasal dari hewan, yaitu elemen air. Elemen ini berasal dari kekuatan roh bulan.
Sumber Asli Pengendalian Tanah (Season 3: Episode 13)
Sumber Asli Pengendalian Udara (Season 3: Episode 13)
Sumber Asli Pengendalian Api (Season 3: Episode 13)
Interaksi antara pengendali elemen dan binatang yang menjadi sumber asli pengendalian juga menunjukkan bagaimana hubungan ekologis tersebut berlangsung. Interaksi antara manusia dan nonmanusia (hewan) tidak selalu harmonis, bahkan seringkali bersifat eksploitatif, kekerasan, dan pembantaian yang berakibat kepunahan. Dalam konteks serial Avatar: The Last Airbender, kembali ditunjukkan oposisi biner sebagai strategi untuk memperlihatkan karakteristik Negara Api yang antroposentris, sementara bangsa lain cenderung ekosentris.
ADVERTISEMENT
Tokoh Aang telah bersahabat sejak kecil dengan bison terbangnya, Appa. Aang menjadi representasi dari relasi harmonis antara manusia dengan hewan. Begitu pula dengan Toph, yang bersahabat dengan tikus tanah, dan menganggap kedekatan dengan alam sebagai strategi untuk meningkatkan sensitivitas indra perabanya. Sebagai manusia yang terlahir buta, Toph menjadikan elemen tanah sebagai mekanisme pertahanan diri untuk tetap bisa melihat dan merasakan pergerakan yang ada di alam.
Indra Peraba pada Toph (Season 3: Episode 13)
Berbeda dengan pengendali udara dan pengendali tanah, hubungan antara pengendali api dengan sumber asalnya (para naga) bersifat subversif. Negara Api sebagai bangsa yang destruktif, memelihara tradisi memburu para naga untuk mencapai dominasi dan kejayaan. Akibatnya, binatang naga mengalami kepunahan. Hal ini diungkapkan oleh tokoh Zuko kepada Aang dalam dialog berikut.
ADVERTISEMENT
AANG : “Zuko, something happened to the dragons in the last 100 years.”
“Something you’re not telling me.”
ZUKO : “My great-grandfather Sozin happened.”
“He started the tradition of hunting dragons for glory.”
“They were the ultimate firebenders and if you could conquer one, your firebending would become legendary and you’d earn the honorary title, Dragon.”
“The last great dragon was conquered long before I was born,”
“By my uncle.”
Kepunahan Para Naga (Season 3: Episode 13)
Tradisi Memburu Para Naga (Season 3: Episode 13)
Sebagai tokoh antagonis yang menjadi pusat konflik, Negara Api juga digambarkan melakukan tindak kekerasan terhadap hewan, yang disimbolkan melalui tokoh Flopsie. Flopsie merupakan hewan peliharan Raja Bumi (Raja Kota Omashu). Saat Omashu dikuasai oleh Negara Api, hewan tersebut dikurung dan dirantai. Hal yang sama terjadi pada Appa. Saat dibeli oleh Pengendali Api, Appa dikurung dan dieksploitasi untuk pertunjukan komersil. Kedua peristiwa ini seolah ingin menegaskan bahwa antroposentris tulen tidak pernah menghargai eksistensi nonmanusia.
Bentuk Penyiksaan Terhadap Hewan Flopsie (Season 2: Episode 3)
Bentuk Penyiksaan Terhadap Hewan di Sirkus (Season 2: Episode 3)