Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Memberhentikan Wapres: Antara Aspirasi dan Konstitusi
5 Mei 2025 15:39 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Herman Dirgantara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Salah satu diskursus yang kini turut menyeruak di ruang publik adalah usulan Forum Purnawirawan TNI agar Gibran Rakabuming Raka dicopot dari jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Terlepas dari motif atau latar belakangnya, penting untuk dikaji secara objektif: mungkinkah seorang Wakil Presiden diberhentikan ‘di tengah jalan’ berdasarkan UUD 1945 selaku hukum tertinggi?
ADVERTISEMENT
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang berlandaskan prinsip negara hukum (Pasal 1 ayat [3] UUD 1945), seluruh tindakan kenegaraan, termasuk yang menyangkut jabatan Presiden-Wakil Presiden, harus berpegang pada aturan konstitusional (Asshiddiqie, 2010).
Lebih lanjut, UUD 1945 secara tegas mengatur bahwa masa jabatan keduanya adalah lima tahun dan dipilih langsung oleh rakyat dalam satu pasangan (Pasal 6A ayat [1] dan Pasal 7). Sistem masa jabatan tetap (fixed term) ini merupakan elemen esensial dalam sistem pemerintahan presidensiil, yang berfungsi menjaga stabilitas pemerintahan dan kepastian hukum (Isra, 2018).
Namun demikian, UUD 1945 juga membuka ruang terbatas bagi penghentian jabatan Presiden maupun Wakil Presiden sebelum masa jabatannya berakhir. Mekanisme ini dikenal dengan istilah pemakzulan atau impeachment (Pasal 7A dan 7B UUD 1945).
ADVERTISEMENT
Memberhentikan Wapres di Tengah Jalan
Sebagaimana halnya Presiden, secara konstitusional, memberhentikan seseorang dari jabatan Wakil Presiden memungkinkan. Namun, dengan syarat dan prosedur yang amat ketat, limitatif, dan berlapis.
Pasal 7A UUD 1945 menyatakan bahwa Wakil Presiden dapat diberhentikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berdasarkan usulan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hanya jika terbukti melakukan: tindak pidana berupa pengkhianatan terhadap negara (makar), korupsi, penyuapan, kejahatan berat lainnya, dan perbuatan tercela. Di samping itu, tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wakil Presiden sesuai ketentuan UUD 1945. Dengan kata lain, pemberhentian tidak bisa didasarkan semata-mata pada opini politik, tekanan kelompok tertentu, atau sentimen publik belaka.
Mekanisme Konstitusional
Prosedur pemakzulan yang diatur dalam Pasal 7B UUD 1945 melibatkan tiga tahap penting. Pertama, usul dari DPR. Usul pemberhentian diajukan oleh DPR kepada MPR. Pengajuan usul ini pun jauh dari kata mudah. Harus didukung oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR (Pasal 7B Ayat [3] UUD 1945). Ini adalah ambang batas politik yang tinggi di parlemen.
ADVERTISEMENT
Kedua, pemeriksaan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sebelum DPR mengajukan usul ke MPR, DPR wajib mengajukan permintaan kepada MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat (Pasal 7B ayat [1] dan [2] UUD 1945).
Tahap ini semacam ‘filter’ yudisial yang memastikan suatu tuduhan memiliki dasar hukum kuat dan dapat dibuktikan, alih-alih sekadar asumsi maupun tuduhan politik semata (Susanti, 2021). Dalam konteks itu, MK diberi waktu 90 hari untuk memutus (Pasal 7B Ayat [4] UUD 1945).
Dan ketiga, keputusan MPR. Apabila MK memutuskan bahwa Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat, barulah DPR dapat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian kepada MPR (Pasal 7B ayat [5] UUD 1945).
ADVERTISEMENT
MPR kemudian wajib menyelenggarakan sidang untuk memutus usul DPR tersebut paling lambat 30 hari sejak usul diterima (Pasal 7B ayat [6] UUD 1945). Keputusan MPR diambil dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir (Pasal 7B Ayat [7] UUD 1945).
Antara Aspirasi dan Konstitusi
Menyikapi usulan dari Forum Purnawirawan TNI, penting untuk memahami bahwa meskipun hak menyampaikan pendapat dijamin oleh konstitusi (Pasal 28E ayat [3] UUD 1945), namun suara tersebut tidak memiliki kekuatan hukum untuk menginisiasi proses pemakzulan (Anggraini, 2020).
Aspirasi dari kelompok masyarakat hanya bisa dianggap sebagai masukan politik yang — jika dianggap relevan oleh DPR — dapat diproses dengan syarat terpenuhinya seluruh ketentuan dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945 dan terbukti secara hukum oleh MK. Proses tersebut adalah ranah DPR, MK, dan MPR (yang di dalamnya turut menyertakan DPD) dengan syarat serta prosedur yang tidak sederhana.
ADVERTISEMENT
Dalam episentrum tafsir tekstual (gramatikal), UUD 1945 hanya menyebut DPR sebagai institusi yang berwenang mengusulkan pemberhentian, dan hanya atas dasar alasan hukum yang limitatif. Sementara dalam menafsirkan secara sistematis, mekanisme impeachment yang berlapis (politik di DPR dan MPR, serta yudisial di MK) menunjukkan kehendak pembentuk konstitusi (original intent) untuk menjaga stabilitas jabatan Presiden-Wakil Presiden dari goncangan politik sesaat dan memastikan pemberhentian hanya terjadi karena pelanggaran hukum serius yang terbukti (Butt & Lindsey, 2012).
Usulan atau bahkan desakan ihwal tersebut tentu dapat dipahami dalam optik aspirasi politik atau ekspresi keprihatinan. Namun, aspirasi atau ekspresi demikian baru bisa bermakna secara konstitusional bila diterjemahkan oleh DPR ke dalam usulan formal yang memenuhi syarat Pasal 7A dan 7B UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Dan tak kalah penting, harus mampu dibuktikan secara hukum di MK. Tanpa melalui jalur yang rigid ini, usulan mencopot seseorang dari jabatan Wakil Presiden sulit disangkal tak lebih dari riak-riak politik minus konsekuensi hukum.
Tidak ada yang salah dari aspirasi politik. Dalam era demokrasi digital, aspirasi politik adalah bagian dari fondasi demokrasi. Namun, penting ditekankan: demokrasi harus sepaket dengan nomokrasi.
Menjaga marwah konstitusi berarti menempatkan setiap proses ketatanegaraan dalam bingkai UUD 1945, alih-alih berdasarkan selera atau desakan kelompok tertentu. Oleh karenanya, konstitusi bukan hanya perkakas hukum, melainkan pula janji bersama bahwa: kekuasaan tidak bisa ditentukan oleh siapa yang paling berteriak keras, melainkan oleh hukum yang berlaku untuk semua.
ADVERTISEMENT