Konten dari Pengguna

Bila Akhirnya UU ITE Direvisi Kembali

Arrizal Jaknanihan
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM. Menggiati isu seputar geopolitik Cina dan Asia-Pasifik.
17 Februari 2021 19:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arrizal Jaknanihan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi UU ITE Foto: Maulana Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi UU ITE Foto: Maulana Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Setelah imbauannya berujung pada kritik dari berbagai kalangan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya memberikan sinyal akan adanya revisi dari UU ITE. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau lebih dikenal dengan UU ITE sendiri telah menuai banyak kritik setelah dua belas tahun diimplementasikan. Tidak hanya karena standar pelanggaran yang subjektif, instrumen hukum ini pun pada praktiknya lebih sering digunakan oleh elite politik ataupun bisnis yang merasa terancam.
ADVERTISEMENT
Dalam laporan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) pada 2018, contohnya, dilansir bahwa pelapor paling banyak dari undang-undang ini berasal dari kalangan pejabatan, yaitu sebanyak 35,92% dari total 245 laporan yang tercatat sejak 2008. Angka tersebut bahkan lebih tinggi dari kalangan awam yang jumlahnya 32,24% dari total laporan.
Itikad baik untuk memperbaiki hukum yang "tidak bisa memberikan rasa keadilan," sebagaimana disebutkan oleh Jokowi dalam rapat pimpinan TNI-Polri Senin (15/2) lalu, patut mendapatkan apresiasi. Meskipun perlu usaha lebih, tentunya, untuk memasukkan agenda revisi UU ini ke dalam Program Legislasi Nasional 2021 yang sudah "terlanjur" ditetapkan oleh Baleg DPR satu bulan sebelumnya.
Namun demikian, terdapat beberapa catatan penting yang perlu dijadikan pertimbangan bila UU ini akhirnya akan dikaji kembali setelah sebelumnya pernah mengalami revisi pada 2016. Salah satu yang paling utama adalah prioritas apa yang perlu dicapai. Dalam hal tersebut, menghilangkan pasal-pasal karet terutama deretan pasal 27-29 tentu patut menjadi sorotan.
ADVERTISEMENT
Direktur SAFEnet Damar Juniarto, sebagaimana disadur oleh CNN Indonesia, menyebutkan ada sembilan pasal bermasalah yang perlu disorot dalam UU ITE. Namun demikian, setidaknya dari jumlah korban, terdapat tiga dari sembilan pasal tersebut yang memiliki urgensi paling tinggi untuk ditinjau ulang—atau bahkan ditiadakan dan sekaligus dikembalikan mekanisme acuannya ke RKHUP. Terlebih lagi, dengan tingginya tingkat pemenjaraan dari undang-undang tersebut, yaitu sebesar 88% (676 perkara) pada rentang kasus 2016-2020.
1. Pasal 27 ayat 1-Asusila
Korban kekerasan berbasis gender menjadi kelompok yang paling rentan menjadi sasaran dari pasal ini. Alih-alih melindungi, pasal terkait asusila ini pada praktiknya lebih sering digunakan untuk melanggengkan diskriminasi gender. Salah yang disorot adalah kasus Baiq Nuril, mantan guru honorer di Mataram, NTB, yang justru dihukum setelah berusaha melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya oleh kepala sekolah SMA tempatnya bekerja.
ADVERTISEMENT
Selain dapat menyerang korban kekerasan seksual, aturan ini juga membatasi kebebasan ekspresi. Dalam unggahan aktris Tara Basro, contohnya, yang diadukan akibat salah satu unggahan sosial medianya yang dianggap bermuatan asusila—suatu ironi bila mengingat unggahan yang dilaporkan tersebut sebenarnya bertujuan untuk menyampaikan pesan pemberdayaan.
2. Pasal 27 ayat 3-Defamasi
Pasal ini mengatur tentang defamasi, yaitu muatan informasi yang dianggap sebagai penghinaan ataupun pencemaran nama baik seseorang. Dengan ketiadaan standar yang jelas tentang pencemaran nama baik sendiri, aturan ini menjadi pasal karet yang paling berisiko untuk disalahgunakan. Dilansir dalam laporan SAFEnet tahun 2018, pasal ini merupakan pasal yang paling sering digunakan oleh kalangan profesi pejabat.
Dari total 324 kasus yang tercatat sejak tahun 2008, sebanyak 209 dijerat oleh pasal terkait—lebih dari setengah keseluruhan kasus yang diadukan melalui UU ITE. Angkanya pun mengalami peningkatan pesat selama tahun politik pada 2019 lalu.
ADVERTISEMENT
Berbagai kalangan pernah terjerat pasal ini dengan beberapa yang disorot karena kritiknya terhadap pemerintah. Jurnalis dan aktivis HAM Dandhy Dwi Laksono, contohnya, terjerat pasal ini setelah menyampaikan keadaan yang sedang terjadi di Papua selama kerusuhan dan diskriminasi yang terjadi pada 2019 silam.
Tidak hanya jurnalis dan aktivis kemanusiaan, masyarakat awam juga menjadi kelompok rentan terhadap pasal ini. Hal tersebut ditunjukkan dalam kasus Prita Mulyasari, seorang ibu rumah tangga di Tangerang yang didakwa mencemarkan nama baik oleh pihak RS Omni karena ketidakpuasannya dengan layanan rumah sakit.
3. Pasal 28 ayat 2-Ujaran Kebencian
Kerap digunakan bersama dengan Pasal 156a KUHP, pasal ini paling rentan dipakai untuk melakukan represi terhadap kelompok minoritas agama yang memberikan kritik. Tidak hanya kelompok minoritas, pasal ini juga banyak ditargetkan pada warga yang mengkritik aparat keamanan ataupun pemerintah dengan alasan "ujaran kebencian" yang tidak memiliki dasar.
ADVERTISEMENT
Aktivis kemanusiaan dan mantan dosen UNJ Robertus Robet pernah dijerat oleh kasus ini setelah menyanyikan lagu yang dianggap menyebarkan ujaran kebencian pada institusi TNI. Hal tersebut dilakukan Robet sebagai kritik ketika adanya wacana penerapan kembali Dwifungsi ABRI pada 2019 lalu. Beberapa nama yang santer seperti Veronica Koman dan Basuki Tjahaja Purnama pun dilaporkan melalui pasal ini.
Selain tiga pasal utama yang disebutkan di atas, masih terdapat banyak poin yang dapat dipertimbangkan untuk dihapuskan. UU ITE sebenarnya pernah mengalami revisi pada tahun 2016. Akan tetapi, sebagaimana dilansir dalam Tirto, hasil yang diberikan dari revisi tersebut masih sangat jauh dari harapan. Selain karena hanya mengubah delik aduan dan lama hukuman, berbagai pasal karet seperti defamasi atau ujaran kebencian masih dipertahankan.
ADVERTISEMENT
Sebagai dampaknya, jumlah korban dari UU ITE pun tetap bertambah dari tahun ke tahun. Hal tersebut juga diikuti oleh penyelidikan terhadap akun media sosial yang melonjak dari 1.338 pada tahun 2017, menjadi 3.005 kasus pada 2020.
Dari kritik dan hasil revisi yang pernah dilakukan sebelumnya, perlu diambil langkah yang lebih menyentuh akar permasalahan dari UU ini. Jalan menuju penghapusan pasal karet masih panjang, mulai dari memasukkan UU ITE ke dalam Prolegnas sampai akhirnya mencapai kompromi dari berbagai pihak yang diuntungkan oleh peraturan ini sebelumnya. Namun setidaknya, terdapat beberapa langkah yang dapat diambil lebih dahulu dengan tujuan sama.
Sebagaimana yang disebutkan oleh Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid pada Tempo, salah satunya dengan membebaskan korban pasal-pasal karet ini sebelumnya, seperti amnesti yang pernah diberikan Jokowi pada Baiq Nuril 2019 silam. Penghapusan pasal karet memang menjadi target utama, namun langkah lain yang sifatnya lebih "sehari-hari" seperti free trial dan dihindarkannya trial by mob menjadi hal yang sama pentingnya.
ADVERTISEMENT