Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Separuh Jiwaku Terbang bersama C&R
24 April 2019 11:31 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Herman Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penutupan media cetak oleh pemiliknya bukanlah peristiwa aneh di era digital ini. Bahkan ketika era media cetak masih berjaya, tidak sedikit media cetak yang tutup.
ADVERTISEMENT
Sebagai bacaan yang nyawanya sangat tergantung pada pembaca, kehilangan pembaca merupakan sebuah pukulan dahsyat, atau setidaknya, dia seperti kuman tuberkulosis yang menggerogoti paru-paru manusia. Jika tidak cepat didiagnosis dan diberi obat dengan dosis yang tepat, lama-kelamaan si penderita makin kurus dan akhirnya mati juga.
Namun perbedaannya dengan penderita tuberkulosis, media cetak--meskipun sudah didiagnosa dengan tepat--satu-satunya obat yang bisa menyembuhkan ya pembaca itu, yang sulit diperoleh. Kemudahan mengakses media online yang gratis dan lebih aktual membuat pembaca meninggalkan media cetak. Satu persatu media cetak berguguran. Fenomena ini terjadi di seluruh dunia.
Meskipun sudah terbiasa, dan bisa menduga, berita yang saya dengar hari ini tentang penutupan Tabloid Cek & Ricek (C&R) cukup membuat saya terpukul. Betapa tidak, bagi saya C&R adalah simbol eksistensi jurnalisme dunia hiburan. Memang banyak media cetak lain yang juga memposisikan diri serupa, tetapi C&R memiliki kredo yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Tabloid ini bukan tipe media hiburan yang mencoba tampil genit, dengan pulasan make-up tebal semata, tetapi lebih mengutamakan isinya yang membuat pembaca selalu menunggu edisi terbaru tabloid ini.
Bagi saya C&R adalah sebuah nama yang pernah mengisi sebagian perjalanan sebagai jurnalis. Bukan di tabloid C&R yang baru dinyatakan ditutup oleh pemiliknya, tetapi C&R sebagai sebuah brand yang telah memberikan banyak kesempatan banyak jurnalis untuk menimba pengalaman di sini.
Sebagai jurnalis yang pernah bekerja di media cetak harian, mingguan, majalah, media online, dan infotainment, saya pernah bergabung di infotainment C&R, namun tidak di tabloid. Akan tetapi di awal kelahirannya, setidaknya saya pernah dimintai sumbangan pikiran oleh pemiliknya, Ilham Bintang, yang juga bos, mentor, dan sahabat saya.
ADVERTISEMENT
Suatu hari, di tahun 2001, Ilham meminta saya untuk memberikan saran demi perbaikan Tabloid C&R, saya menyanggupi. Ketika itu saya merumuskan sebuah gagasan untuk C&R. Saya copy rumusan gagasan itu ke dalam CD dan saya berikan kepada Ilham Bintang yang saat itu tengah mengikuti rapat kerja PWI Jaya di kawasan Puncak, Bogor.
Salah satu yang saya sarankan adalah agar C&R yang ketika itu dicetak dengan kertas koran, agar diganti dengan kertas HVS agar terlihat lebih mewah. Saya tidak tahu apakah karena usul saya atau bukan, jika kemudian C&R kemudian mengganti jenis kertasnya.
ADVERTISEMENT
Di tahun 2000-an, C&R tumbuh dengan pesat, beriringan dengan saudara tuanya, tayangan infotainment C&R, yang saya tahu persis proses kelahirannya karena ketika infotainment C&R sedang dipersiapkan, saya sedang menjadi reporter infotainment Buletin Sinetron.
Waktu itu, saya bekerja di satu ruangan kecil di kantor perusahaan bersama Fanny Rahmasari yang kemudian selama bertahun-tahun menjadi presenter Cek dan Ricek. Ternyata kemudian C&R bertumbuh besar, Bulletin Sinetron hanya bertahan beberapa tahun, lalu mati.
Saya meninggalkan Bulletin Sinetron ketika tayangan itu masih ada. Namun saya beberapa kali keluar masuk bekerja di perusahaan milik Ilham Bintang, mulai dari Bulletin Sinetron, infotainment Kroscek, dan terakhir, tahun 2005, infotainment C&R.
Terlepas dari hubungan kerja secara profesional, Ilham Bintang adalah sahabat, bos, sekaligus mentor saya di bidang jurnlistik. Dialah yang memperkaya wawasan saya tentang jurnalistik dan memberi banyak kesempatan untuk mengenal lebih jauh tentang pola kerja, lingkungan kerja, sikap sebagai jurnalis, dan cakrawala dunia film.
ADVERTISEMENT
Berkali-kali dia mengingatkan agar kita, sebagai jurnalis, bisa berpuasa dari hal-hal kecil supaya menjadi besar. Dia membuktikannya dengan mendirikan dan membesarkan Bintang Grup.
Perkenalan saya dengan Ilham Bintamg terjadi ketika dia menjabat sebagai Kepala Bidang Humas Pantap FFI tahun 1987. Ketika itu saya menjadi kontributor Harian Berita Nasional Yogyakarta yang sering datang ke Sekretariat Humas Pantap FFI di Jalan Menteng Raya 62, Jakarta Pusat.
Karena sering datang untuk mengambil bahan tulisan, kami menjadi dekat sampai suatu hari ia meminta saya untuk membantu mengisi rubrik hiburan Harian Angkatan Bersenjata. Ternyata kemudian lebih dari setengah halaman hiburan Harian AB saya yang mengisi.
Tidak hanya itu, Ilham juga meminta saya untuk membuat profil tokoh dan artis. Kesempatan itu ternyata membuka jalan bagi saya untuk mengenal tokoh-tokoh perfilman lebih dekat seperti H. Rosihan Anwar, Drs. Asrul Sani, DR. Salim Said, H. Misbach Yusa Biran, para produser film seperti Gope Samtani, Chand Parwez yang ketika itu masih menjadi distributor dan pemilik bioskop di Bandung, para pengusaha bioskop baik dari Grup 21 maupun independen, aktor-aktor besar seperti Slamet Rahardjo dan banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Ilham Bintang pula yang memberi kesempatan saya untuk meliput event perfilman di luar negeri, seperti Festival Film Internasional Singapura (FFIS ke-5) tahun 1990; Festival Fillm Asia Pasifik (FFAP) tahun 1992 di Seoul, Korea; dan FFAP tahun 1994 di Sydney, Australia. Untuk memperluas wawasan, kata dia.
Sebagai atasan, Ilham Bintang adalah seorang yang sangat bertanggung jawab. Dia tidak pernah membiarkan anak buahnya menanggung sendiri risiko yang dihadapi sebagai konsekuensi dari pekerjaan. Ini saya alami sendiri ketika sejumlah orang film, di antaranya Eros Djarot, almarhum D. Soemardjono dan lainnya, datang ke redakai AB di Jalan Merdeka Barat untuk memprotes tulisan saya, dan meminta kepada Pemimpin Redaksi untuk 'memecat' saya.
ADVERTISEMENT
Tidak sedikit pun redaksi menyalahkan saya akan isi tulisan yang diprotes itu, Ilham Bintang yang mengambil tanggung jawab semuanya.
Setelah FFI mati suri dan Festival Sinetron berumur singkat, kami berpisah. Ilham Bintang berkonsentrasi membesarkan C&R dan saya bekerja di beberapa media lain. Hubungan kami tetap baik, meskipun jauh di mata. Setiap kali bertemu, Ilham selalu menanyakan keadaan saya dan membuka pintu bila ingin bergabung.
Tahun 2002 saya bergabung di infotainment Kroscek yang diproduksi oleh salah satu anak perusahaannya. Hanya 4 bulan bekerja, saya mundur. Karakter saya yang baperan plus tidak bisa memisahkan antara posisi sebagai karyawan dan sahabat, membuat saya merasa tidak nyaman, sehingga kemudian memutuskan mengundurkan diri.
ADVERTISEMENT
Ketika itu Ilham Bintang meminta saya bertahan, tetapi kelemahan saya dalam bekerja, jika sudah tidak tahan secara psikologis, saya akan memutuskan pergi begitu saja tanpa berpikir panjang. Itulah yang terjadi ketika saya kembali bergabung di infotainment C&R pada tahun 2005. Juga hanya bertahan 4 bulan.
Selama lebih dari 10 tahun kami tidak pernah bertemu, dan baru bertemu pada acara pendirian Parfi 56 di Jakarta. Ilham tetap memperlihatkan sikap yang hangat dan bersahabat. Sayang, karena situasinya tidak memungkinkan, kami hanya berbicara sebentar dan tidak pernah tatap muka hingga saat ini. Kami hanya bertemu sebagai teman di Facebook.
Hari ini, ketika membuka Facebook, saya membaca postingan-nya yang menjelaskan tentang rencana penutupan Tabloid C&R. Saya membayangkan betapa berat hatinya mengumumkan hal itu. Tabloid C&R adalah monumen terakhir kebanggaannya yang terpaksa harus ditutup karena benturan zaman yang semakin keras. Sebelumnya, entah berapa bulan sebelumnya, mungkin tahun lalu, tayangan C&R juga telah dihentikan.
ADVERTISEMENT
Secara institusi saya tidak memiliki ikatan apapun dengan Tabloid C&R. Tetapi seperti sudah saya jelaskan di atas, setidaknya C&R sebagai sebuah nama tidak bisa dikesampingkan begitu saja dalam karier saya sebagai jurnalis.
Sekali lagi, bagi saya C&R merupakan simbol eksistensi jurnalis dunia hiburan. C&R seolah mewakili harkat dan harga diri kami sebagai jurnalis dunia hiburan, karena karakternya yang tegas dan mengutamakan kaidah jurnalistik dalam penulisannya, walau pun bisa saja karena tekanan deadline, wartawan yang bekerja di dalamnya menjadi lengah.
Hari ini, ketika Tabloid C&R memasuki edisi terakhir dan dinyatakan akan ditutup oleh pemiliknya, sahabat, dan mentor saya H. Ilham Bintang, saya ikut merasakan pedihnya. Saya tahu persis betapa Ilham Bintang sangat bangga dengan C&R -- baik infotainment maupun tabloid -- yang lahir dari gagasan dan perjuangannya.
ADVERTISEMENT
Saya sendiri merasakan sesak dengan kabar menyedihkan itu. Seperti bunyi lirik lagu Dewa 19, 'Separuh Nafas'. Seperti itulah yang saya rasakan. Sebelum C&R, Tabloid Bintang Indonesia juga dinyatakan tutup. Tetapi penutupan C&R melahirkan perasaan berbeda. Tidak berlebihan bila saya harus mengatakan, "Separuh napasku terbang bersama C&R".