Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Meaning dan Eksistensialisme: Manusia Estetis, Etis, dan Religius
22 Oktober 2023 18:39 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Hermawan Adinata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sebagai manusia, kita menjalani kehidupan melalui berbagai tahap, baik secara fisik maupun secara batin. Di saat kita masih kecil, kita masih belum bisa memikirkan hal-hal besar di luar keinginan kita. Ketika sudah menduduki bangku mahasiswa, kita sudah memasuki dunia baru. Di momen-momen ini, kita mulai memahami apa yang ingin kita lakukan secara sungguh-sungguh dan sebabnya sering kali mulai bimbang dengan diri kita.
ADVERTISEMENT
Di tahap tertentu, seseorang akan mempertanyakan dirinya. Orang akan merasa bimbang dan tidak lagi yakin dengan dirinya sendiri. Dia akan mempertanyakan apa tujuan hidupnya ketika dia hanya menjalankan kehidupan bukan menghidupi kehidupan. Dia akan merasa mengambang atau terombang-ambing dengan berbagai perkara. Di saat inilah dia merasakan hidupnya tidak bermakna dan berusaha mencari sebuah meaning.
Ada orang yang ketika bangun pagi penuh dengan semangat, siap menghadapi apa pun yang dilempar dunia kepadanya. Ada juga orang yang bangun dengan menghela napas, dengan bermalas-malasan keluar dari tempat tidur dan kembali menjalankan rutinitas hariannya. Persamaan dari kedua orang ini? Meaning...
Pencarian meaning atau sering disebut juga sebagai makna atau tujuan hidup, adalah bagian dari kehidupan manusia. Mereka akan bertanya kepada diri mereka apakah yang mereka inginkan dari kehidupan ini. Mereka akan berusaha mencari apa yang menjadi harapan mereka, tujuan mereka, motivasi mereka menjalani kehidupan ini.
ADVERTISEMENT
Momen-momen ini menjadi pusat dan perhatian seseorang untuk bisa memberikan makna baru di hidup jenuh mereka. Bagi mereka yang berusaha terus, mereka akan berjuang untuk mencari jawaban itu. Mereka tidak akan berhenti hingga menemukan jawaban baru dari kehidupan mereka. Dan dari situ, perubahan besar akan terjadi, dan mereka akan menjadi seperti orang baru dalam menghadapi realita kehidupan.
Bagi mereka yang menyerah, mereka hanya akan merasakan keambiguan kehidupan dan perasaan bahwa hidup ini sia-sia. Mereka akan merasa setiap tindakan mereka tidak berarti, bahwa apa pun yang mereka lakukan hampa. Ketika ada hal baru yang menarik perhatian mereka, mereka akan cepat mencoba hal itu. Tetapi mereka juga akan dengan cepat juga melepaskan hal itu ketika menjadi lebih susah.
ADVERTISEMENT
Meaning bisa mengambil berbagai bentuk. Ada yang meaning in life-nya berdevosi membantu orang lain. Ada juga yang mengambil meaning ini untuk bisa mencapai versi dirinya yang paling baik. Ada juga yang meaning-nya itu sesederhana bisa memberikan yang terbaik kepada orang tuanya. Selama semua masih berusaha mencari meaning itu, suatu saat mereka akan menemukan meaning yang paling sesuai dengan diri mereka.
Eksistensialisme memiliki hubungan dengan meaning ini. Menurut Søren Kierkegaard yang sering dianggap sebagai bapak eksistensialisme, memiliki pemahaman bahwa eksistensi manusia memiliki 3 tahap yakni tahapan estetis, etis, dan religius.
Tahapan pertama Kierkegaard adalah estetis. Tahapan ini ditandai dengan orientasi manusia yang sepenuhnya diarahkan pada kesenangan. Pada tahap ini manusia dikuasai oleh keinginan seksual, hedonistik dan mengikuti suasana hati dalam bertindak. Manusia estetis hidup hanya untuk kesenangan, kepentingan sendiri, dan terutama dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Kierkegaard menganggap manusia estetis sebagai manusia tidak berjiwa. Jiwa mereka tidak berakar maupun berisi. Kemauan mereka bertaut pada kecenderungan masyarakat dan zamannya. Tren adalah petunjuk mereka, dan mereka mengikuti dengan saksama. Tindakan ini tidak dilandasi pada gairah, melainkan hanya pada sekadar mengetahui dan mencoba. Bagi mereka, pusat kehidupan terletak di luar.
Manusia estetis tidak terbatas ruang dan waktu. Siapa pun bisa menjadi seorang manusia estetis selama mereka tidak memiliki gairah dalam hidup mereka, mereka tidak memiliki semangat, komitmen, maupun keterlibatan dalam hidup mereka. Mereka merasa mereka hanya pengamat hidup mereka, hanya mengamati dan bercerita tanpa melibatkan diri mereka. Bisa dilihat bahwa mereka tidak benar-benar hidup.
Manusia estetis dianggap hanya memiliki keputusasaan dalam jiwa mereka. Mereka dianggap tidak memiliki apa pun yang bisa menjadi pegangan, pegangan yang bisa dijadikan sebuah akar kokoh dalam menjalankan kehidupan. Mereka sudah tidak tahu keinginan mereka.
ADVERTISEMENT
Mereka hanya mengikuti masyarakat dan zaman, hingga pada akhirnya mereka hampir tidak bisa membuat sebuah keputusan karena begitu banyak alternatif yang ditawarkan. Solusi untuk mereka terletak pada bunuh diri, kegilaan atau masuk dalam tingkatan hidup yang lebih tinggi.
Tahapan kedua Kierkegaard adalah Etis. Pada tahap ini manusia mulai mengalami sebuah pertobatan. Hidup mereka tidak lagi bergantung pada hedonisme dan tren zaman. Mereka mulai menerima kebajikan-kebajikan moral dan mengikatkan diri mereka kepada kebajikan itu.
Ada gairah dalam menjalankan kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai manusiawi. Kehidupan seorang manusia Etis tidak berpusat pada diri sendiri lagi, melainkan pada nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi.
Manusia etis adalah seseorang yang berani dan percaya diri, mampu mengatakan “tidak” pada setiap tren yang berkembang asalkan tren itu berlawanan dengan hati nurani dan kepribadiannya. Mereka akan sanggup menolak tirani dan kejahatan, baik yang bersifat represif maupun nonrepresif selama tirani itu berbalikan dengan keyakinannya. Mereka akan menentang keras kuasa yang mengingkari nilai-nilai kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Tahap ketiga menurut Kierkegaard adalah religius. Tahapan ini adalah tahapan di mana seseorang mengambil sebuah lompatan untuk meleburkan diri dalam realitas Tuhan. Tahapan ini lebih susah untuk dicapai karena untuk melompat menggunakan keyakinan subjektif yang didasari pada iman, bukan objektif. Ketika di tahap Etis, nilai-nilai kemanusiaan bersifat objektif. Sebaliknya, nilai-nilai religius murni subjektif.
Hidup dalam Tuhan adalah hidup di dalam subjektif transenden, tanpa rasionalisasi dan ikatan pada hal duniawi. Namun untuk bisa mencapai tahap ini ada beberapa tantangan yang harus dihadapi antara lain, menyatu dengan kuasa Tuhan yang berparadoks. Paradoks ini mengambil rupa seperti persoalan kehadiran Tuhan yang nyata dan persoalan tentang sifat baik Tuhan. Tidak mungkin ada penjelasan rasional untuk menjelaskan paradoks ini karena paradoks Tuhan bukanlah sesuatu yang rasional.
ADVERTISEMENT
Tantangan kedua yang dihadapi adalah rasa kegelisahan. Kegelisahan ini terarah pada sesuatu yang tidak nyata, tidak pasti, tidak menentu, dan tidak memiliki awal dan akhir. Memutuskan untuk masuk ke dalam paradoks Tuhan ibarat memutuskan untuk masuk ke dalam sebuah hutan yang belum pernah terjamah oleh tangan manusia.
Karena itu, sebelum memutuskan untuk masuk dalam paradoks Tuhan, akan timbul rasa cemas yang mencekam, seakan-akan memasuki hutan itu adalah sebuah keputusan yang sia-sia atau hanya mendatangkan marabahaya.
Hanya keyakinan pribadi yang kuat dan teguh saja, sering tidak berpikir rasional, akan membuat kita berani memasukinya. Demikian pula hanya dengan keyakinan pribadi yang berlandaskan iman kita, berani menceburkan diri dalam Tuhan dengan rasa aman dan bahagia.
ADVERTISEMENT
Ketika kita melihat meaning dari kaca mata Kierkegaard, meaning atau lebih tepatnya pencarian meaning itu sendiri, adalah proses di mana seseorang mulai bergerak dari tahapan estetis menuju tahapan Etis. Sangat bisa dilihat paralelnya antara orang yang belum mengalami pencarian meaning itu dengan orang yang sedang maupun sudah.
Seseorang yang masih belum mencari meaning, cenderung lebih mementingkan diri sendiri, hanya mencari kesenangan buat diri sendiri dan juga gampang tersapu dengan perubahan zaman. Ketika orang itu mulai mencari meaning, orang itu sudah memulai proses untuk bergerak dari tahapan estetis menuju tahapan etis.
Mereka mempertanyakan diri mereka, mereka menjadi kecewa dengan realita yang mereka jalani sekarang. Mereka sungguh meragukan diri mereka dan menjadi tidak termotivasi maupun terarah. Ketika mereka mulai mencari meaning, mereka sudah memulai perjalanan mereka untuk mencapai tahap selanjutnya. Mereka tidak lagi terakar pada tren dan zaman, tetapi terakar pada diri mereka, dengan nilai-nilai mereka.
ADVERTISEMENT
Setelah menemukan meaning itu, perjalanan mereka menuju tahapan etis sudah hampir selesai. Perjalanan mereka selesai ketika meaning mereka menjadi sesuatu yang mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan. Setelah mereka mencapai tahap ini, barulah ada kemungkinan untuk bisa lanjut ke tahap spiritualitas.
Makna dan arti kehidupan hanya bisa mencapai puncaknya ketika kita berserah kepada kehendak Tuhan, ketika kita mau membiarkan diri kita hanyut di dalam kehendak Tuhan. Untuk bisa mencapai titik itu membutuhkan sebuah perjuangan dan penyangkalan diri yang besar. Iman yang sungguh besar dan mendalam yang bisa menopang orang untuk bisa terjun ke dalam kehendak Tuhan.
Sebagai penutup, bisa kita simpulkan bahwa pencarian meaning dalam hidup akan melewati berbagai tahap dan perjuangan. Kita tidak bisa kalah kepada keinginan untuk mengikuti tren dan zaman belaka tanpa berusaha untuk mencari makna lebih besar dan mendalam dalam kehidupan kita. Kita harus terus berjuang untuk bisa bergerak kepada tahapan selanjutnya, hingga pada akhirnya bisa meletakkan diri kita di dalam kehendak Tuhan.
ADVERTISEMENT