Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
3 Ramadhan 1446 HSenin, 03 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Prinsip Best Interest of Child pada Pengangkatan Anak Terlantar
2 Maret 2025 11:34 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Herminindya Rifa Paramartha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Status anak dalam hukum keluarga maupun lalu lintas hukum secara umum merupakan seseorang yang menyandang hak istimewa. Anak dilindungi melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Undang-Undang a quo disebutkan bahwa anak atau seseorang yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dijamin dan dilindungi hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat memiliki peran yang besar dalam tumbuh kembang anak guna mewujudkan tujuan ideal yang terdapat dalam Undang-Undang.
ADVERTISEMENT
Singkatnya, perlindungan terhadap anak tidak hanya menjadi tanggung jawab Negara dan diatur dalam hukum publik, ia juga diatur dalam tatanan hukum privat.
Dalam hukum Internasional, dikenal pula prinsip “Best Interest of Child” atau prinsip “Kepentingan Terbaik bagi Anak.” Prinsip ini terdapat dalam Article 3 Convention of the Rights of the Child (CRC) yang menyebutkan bahwa dalam hukum publik maupun privat dan dalam situasi yang bersifat problematis, kepentingan terbaik anak harus menjadi pertimbangan yang didahulukan. Pada dasarnya, setiap anak memiliki hak untuk diasuh oleh orang tua-nya sendiri, baik oleh ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat. Namun, apabila terdapat alasan dan/atau aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi si Anak dan merupakan pertimbangan terakhir, maka mekanisme pemisahan anak dari orang tua-nya dapat dilakukan. Meskipun begitu, dalam hal terjadi pemisahan dari orang tua kandung, hal tersebut tidak memutuskan ikatan hubungan darah antara anak dengan orang tua kandung.
ADVERTISEMENT
Pengangkatan anak merupakan perbuatan hukum yang mengalihkan kuasa atas anak dari orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat. Terdapat manfaat dari dilakukannya pengangkatan anak supaya anak tidak menjadi terlantar dan mampu dibesarkan dalam kasih sayang yang sepatutnya didapatkan. Adanya pengangkatan anak dapat dilakukan apabila orang tua kandung atau wali atau pengasuh merasa bahwa dengan mengalihkan kuasa atas anak, hal tersebut merupakan keputusan yang didasarkan pada pertimbangan terbaik supaya anak dapat memperoleh lingkungan yang layak dalam mengembangkan potensi yang dimiliki.
Lantas bagaimana dengan anak yang berstatus sebagai anak terlantar yang tidak diketahui asal usulnyadan kemudian akan diangkat sebagai anak oleh seorang pasangan suami istri yang sah? Bagaimanakah perlindungan hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan maupun yurisprudensi? Untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut, penulis akan mencoba menggali sumber hukum yang ada serta melakukan analisa.
ADVERTISEMENT
Dasar Hukum Pengangkatan Anak dalam UU Perlindungan Anak dan Peraturan Pemerintah
Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur mengenai tata cara pelaksanaan Pengangkatan Anak pada Pasal 39. Selain didasarkan pada prinsip kepentingan terbaik bagi Anak, pengangkatan anak dilakukan berdasarkan adat kebiasaan serta ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal tersebut memberikan restriksi di mana Calon Orang Tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon Anak Angkat. Undang-Undang ini juga menyatakan bahwa Pengangkatan Anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Sehingga, dapat ditafsirkan bahwa tiga pertimbangan ini yang akan menjadi hal yang diutamakan hakim dalam permohonan pengangkatan anak: kepentingan anak disesuaikan dengan adat istiadat dan peraturan perundang-undangan, Calon Orang Tua angkat seagama dengan anak angkat serta keduanya merupakan Warga Negara Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kemudian, dalam tingkat Peraturan Pemerintah, dinyatakan bahwa calon Orang Tua angkat bahwa hanya pasangan suami istri yang telah sah menikah, berstatus menikah paling singkat selama 5 (lima tahun), dan tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak.
Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 memberikan rincian lebih lengkap mengenai persyaratan yang harus dipenuhi calon orang tua angkat. Terdapat persyaratan minimal umur, catatan perilaku yang bebas dari tindak kejahatan, mampu secara ekonomi dan sosial, serta syarat sehat jasmani dan rohani. Persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak diperlukan. Calon Orang Tua angkat juga harus membuat pernyataan tertulis yang menyatakan bahwa pengangkatan anak dilakukan demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan, dan perlindungan anak. Kemudian, laporan sosial dari pekerja sosial setempat serta izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial juga diperlukan. Terdapat persyaratan di mana Calon Orang Tua angkat telah mengasuh calon anak paling singkat 6 (enam bulan).
ADVERTISEMENT
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwasanya anak tetap memiliki hak untuk mengetahui asal-usulnya meskipun telah dilakukan pengangkatan anak.
Empat Klasifikasi Hak-Hak Anak Guna Mewujudkan Nilai dari Prinsip Best Interest of Child
Menurut Joni dan Tannamas, dengan merujuk pada Konvensi Hak Anak yang sudah diratifikasi oleh Indonesia, terdapat empat klasifikasi berikut yang harus dipenuhi dalam meuwujudkan prinsip kepentingan terbaik anak:
Hak untuk Kelangsungan Hidup (The Rights to Survival)
Hak ini mencakup hak untuk juga hak terpenuhinya kesehatan dalam artian jasmani dan rohani yang dimiliki oleh setiap anak. Bahwasanya anak memiliki hak untuk menjaga kelangsungan hidupnya dengan orang tua sebagai pihak yang wajib mengawasi dan merawat anak dengan cara memberikan makanan dan minuman supaya anak terjamin kesehatannya hingga usia yang sudah dapat dianggap dewasa.
ADVERTISEMENT
Hak Terhadap Perlindungan (Protection Rights)
Perlindungan yang dimaksud adalah perlindungan dari adanya diskriminasi maupun tindakan kekerasan yang dapat berdampak buruk bagi anak. Secara umum, hak ini berkaitan dengan diskriminasi dan eksploitasi terhadap anak. Tidak diperbolehkan adanya tindakan yang membedakan anak berdasarkan agama, suku, ras, dan budaya serta bahwasanya anak harus diperlakukan setara dengan anak lainnya. Selain itu, perlu diberikan perhatian terhadap anak yang menyandang disabilitas supaya diperlakukan sama seperti anak pada umumnya. Terkait dengan eksploitasi anak, orang tua dilarang memperlakukan anak secara semena-mena guna mewujudkan kepentingan pribadinya semata tanpa memperhatikan kondisi anak, di mana negara juga memiliki kewajiban untuk melindungi hak anak.
Hak Untuk Tumbuh dan Berkembang
Hak untuk tumbuh dan berkembang yang dimaksud terkait dengan hak anak yang tercantum dalam konvensi hak anak yang berkaitan dengan pendidikan (formal maupun non-formal) dan juga standar kehidupan yang layak. Perlu dipastikan anak dapat tumbuh dalam lingkungan yang mendorong perkembangannya secara mental, moral, sosial, dan juga spiritualnya.
ADVERTISEMENT
Hak Untuk Berpartisipasi
Hak untuk berpartisipasi kaitannya dengan keterlibatan anak dalam menyatakan pendapatnya dalam segala hal yang mempengaruhi kehidupan dari sang anak tersebut. Hal tersebut juga berlaku dalam kasus yang melibatkan penentuan hak asuh anak di mana pendapat sang anak sudah sepatutnya dijadikan pertimbangan oleh hakim selain merujuk pada asas yang berlaku pada umumnya.
Perlindungan Hukum Terhadap Anak Terlantar dalam Lalu Lintas Hukum Indonesia
Dalam Pasal 34 ayat (1), disebutkan bahwa: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Adapun bentuk perlindungan hukum terhadap anak terlantar menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 meliputi pengawasan, pencegahan, perawatan, konseling, rehabilitasi sosial dan pendampingan sosial. Perlindungan ini juga diikuti dengan ancaman terhadap sanksi pidana terhadap orang yang melakukan penelantaran terhadap anak sebagaimana dikenakan Pasal 77 B Undang-Undang a quo, “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76B (setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran) maka akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan / atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
ADVERTISEMENT
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Pasal 12 ayat (2) kemudian mengatur mengenai usia anak yang hendak diangkat:
Pada penjelasan PP a quo, yang dimaksud dengan “ada alasan mendesak” seperti anak korban bencana, anak pengungsian dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan “anak memerlukan perlindungan khusus” adalah anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan atau perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
ADVERTISEMENT
Analisa Penerapan Prinsip Best Interest of Child pada Yurisprudensi Indonesia dalam Permohonan Pengangkatan Anak Berstatus Anak Terlantar
Yurisprudensi yang akan dilihat dalam menganalisis penerapan prinsip Best Interest of Child adalah Putusan Nomor 66/Pdt.P/2021/Pn.Srg. Dalam duduk perkara alasan diajukannya permohonan, diketahui bahwa Pemohon adalah Pasangan suami istri yang sah di mana Pemohon pada mulanya menemukan bayi berjenis kelamin perempuan yang ditelantarkan di sebuah masjid di Kota Cilegon. Bayi tersebut kemudian sempat berada dalam pengasuhan pekerja sosial Dinas Sosial Kota Cilegon. Atas dasar perasaan iba, Pemohon lantas mengajukan permohonan pengasuhan anak kepada Kepala Dinas Sosial Kota Cilegon pada tanggal 10 Juli 2021 sebelum akhirnya memperoleh pengasuhan sementara Bayi X dengan surat yang dikeluarkan oleh Kepala Dinsos Kota Cilegon. Diketahui pula fakta bahwa Pemohon kemudian terlibat aktif selama 7 (tujuh) bulan mengasuh bayi yang kemudian diberi nama Nabila Azzahra Khairunnisa.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan uraian singkat kasus, hakim kemudian akan mempertimbangkan beberapa aspek yang digunakan sebagai dasar untuk memutuskan apakah permohonan akan dikabulkan atau ditolak dari fakta sebelum persidangan berlangsung(tahap pra-adopsi) maupun yang muncul selama persidangan berlangsung.
Maksud dan Tujuan
Berdasarkan keterangan yang diberikan Para Pemohon di persidangan, terungkap bahwa para pemohon mengajukan permohonan pengangkatan karena ingin melakukan sesuatu yang baik pada anak terlantar tersebut dan mereka sering mengunjungi anak untuk memastikan hak-haknya dilindungi. Dapat disimpulkan bahwa pengangkatan anak dilakukan demi menjamin kesejahteraan dan kepentingan sang anak di masa depan dan merupakan pilihan yang terbaik dengan didasarkan pada intensi yang tulus berlandaskan kasih sayang.
Alat Bukti
Fakta-fakta berikut muncul informasi yang diberikan pemohon sehubungan bukti surat yang diajukannya:
ADVERTISEMENT
2. Alat bukti keterangan saksi
ADVERTISEMENT
Peraturan Perundang-Undangannya
Adapun ketentuan peraturan perundang-undangan yang dijadikan pertimbangan hakim meliputi:
Dapat disimpulkan bahwa hakim dalam perkara a quo telah menerapkan prinsip Best Interest of Child dengan mempertimbangkan kondisi anak yang masih bayi dan membutuhkan perlindungan dari orang tua yang mampu serta mau mengurus anak dengan baik serta dipercayakan oleh Kepala Dinas terkait dalam hal perizinan awal dalam mengurus anak.
Prinsip Best Interest of Child pada umumnya selain menjadi diskresi hakim, ia juga telah tercermin dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan perlindungan anak.
ADVERTISEMENT