Hari Raya Para Penikmat Kepandiran

Heru Joni Putra
Sastrawan. Sedang menyelesaikan studi Kajian Budaya di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Konten dari Pengguna
19 Januari 2019 17:58 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Heru Joni Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Bagi para penikmat kepandiran, tindakan pelarangan buku adalah suatu peristiwa yang penuh sukacita. Bilamana di suatu hari terjadi penyitaan buku, terserah kapan saja, maka hari itu adalah Hari Raya mereka.
Tampaknya, aksi pelarangan buku merupakan suatu perayaan yang tak terkira pentingnya. Razia buku, bagi mereka, adalah sebaik-baiknya hari: Pertanda bahwa kepandiran belum akan enyah dari muka bumi ini.
Ilustrasi bakar buku, (Foto: Flickr/Rachel Elaine)
Kebebasan menyampaikan pendapat, jaminan atas hak setiap orang untuk berpikir kritis, serta ketersediaan buku-buku, dapat menyebabkan kecerdasan yang tak terbendung dari suatu bangsa. Namun, di negara seperti Indonesia, di mana rezim Orde Baru yang anti-intelektual pernah berkuasa tiga dekade, segala jenis kecerdasan tidak sekadar diawasi tumbuh-kembangnya, tetapi juga senantiasa ditebas ketika bertunas.
ADVERTISEMENT
Lewat kekuatan aparat dan para budaknya, segala hal yang dapat mencerdaskan suatu bangsa, ditumpas sampai ke akar-akarnya: Buku-buku yang disebar di sekolah adalah buku-buku yang sesuai dengan kehendak negara, sementara buku-buku yang dapat memicu sikap kritis pada kekuasaan segera mereka lenyap-tandaskan.
Ilustrasi Lipsus "Lagi-lagi Razia Buku". Foto: Herun Ricky/kumparan
Di tengah berlimpah-ruahnya stok kepandiran di Indonesia, dunia politik kita tetap membutuhkan orang-orang cerdas, tapi kecerdasan yang dibutuhkan itu adalah sejenis kecerdasan untuk mengeksplorasi kepandiran agar bisa menjadi kekuatan politik. Bila tak ada kepandiran yang bisa didaur-ulang oleh para politikus, kontestasi politik di negeri kita mungkin kekurangan pengikut-buta.
Oleh sebab itu, jangan terlalu percaya pada semua orang, apalagi politikus, yang begitu fasih lidahnya bicara soal pengentasan kepandiran dari muka bumi ini. Politik, dalam banyak pengertian, sangat berutang budi pada kepandiran.
ADVERTISEMENT
Panggung politik saat ini dimeriahkan oleh akrobat para politikus yang kebelet berkuasa: Kehendak untuk menguasai rakyat lebih besar daripada laku-tindak untuk mengayomi; visi untuk mengemansipasi rakyat jauh lebih rendah daripada ambisi untuk diberi berbagai penghormatan; segala kekuatan lebih dikerahkan untuk membangun kerajaan politik daripada kesabaran untuk meratakan kesadaran rakyat.
Hanya dukungan total dari kepandiranlah yang dapat membuat politikus-kebelet seperti itu abadi sepanjang masa. Para politikus sangat diuntungkan bila sebagian besar rakyat berdiri di atas kepandiran kolektif, karena dengan begitulah rakyat bisa dikendalikan seenaknya. Suatu kegembiraan hakiki bagi para politikus adalah ketika rakyat benar-benar dibuat seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, ditarik ke mana-mana didorong ke segala arah.
Tanpa hadirnya kepandiran, para politikus-kebelet-kuasa akan merasa gamang. Langkah mereka tertahan bila rakyat sekalian mempunyai sikap kritis. Pikiran mereka tersendat bila rakyat tak mau menggangguk begitu saja pada akrobat bahasa yang mereka mainkan.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itulah, kepandiran kolektif tak henti diciptakan dengan berbagai cara. Mereka telah belajar banyak pada Soeharto. Orde Baru adalah rezim yang sangat ahli dalam menciptakan kepandiran kolektif.
Orde Baru telah menunjukkan bagaimana caranya memutarbalikkan sejarah sebagai alat untuk menakut-nakuti masyarakat. Orde Baru telah menunjukkan bagaimana cara memelintir makna nasionalisme agar sesuai dengan usaha pelanggengan kekuasaan.
Orde Baru telah menunjukkan bagaimana caranya menekan laju pertumbuhan pemikiran kritis dan menaik-pesatkan pemikiran-pemikiran ahistoris dan apolitis. Orde Baru telah menunjukkan bagaimana cara mengikatkan tali ke leher para intelektual agar mereka bisa dikendalikan sesuai kehendak negara.
Orde Baru telah menunjukkan bagaimana caranya, sungguh banyak sekali, untuk menyebarluaskan kepandiran kepada seluruh rakyat Indonesia. Menghambat laju peredaran buku-buku kritis adalah salah satu cara yang diwariskan Orde Baru secara turun-temurun.
ADVERTISEMENT
Generasi politikus sekarang, terutama yang membutuhkan kepandiran sebagai tulang-punggung gerakan politiknya, tak perlu lagi memulai dari awal. Mereka tinggal memamah apa yang sudah dimuntahkan oleh Orde Baru tersebut. Dan itulah yang kembali terjadi.
*
Pada 8 Januari 2019, di Padang, sebuah toko buku dirazia secara brutal. Pengampunya adalah tim gabungan TNI, Kejaksaan, dan lainnya. Buku-buku tersebut dirazia karena diduga sebagai penyebaran paham komunisme. Katanya dugaan, tapi tindakan yang dilakukan sudah melampaui batas dugaan.
Salah satu media lokal di Padang menulis sebuah Tajuk terkait razia buku itu. Tajuk tersebut memang memulai asumsinya dengan sebuah dugaan bahwa buku yang dirazia itu terkait penyebaran komunisme.
Sejauh ini, pihak yang merazia belum mengumumkan apakah dugaan tersebut sudah terbukti atau belum. Artinya, masih dalam penyelidikan, belum ada status resmi.
ADVERTISEMENT
Tapi, sayangnya, Tajuk koran itu melangkah terlalu jauh dari sekadar dugaan. Pernyataan Tajuk itu bertendensi seakan-akan buku yang dirazia tersebut sudah terbukti menyebarkan ajaran terlarang. Bahkan, Tajuk tersebut melompat lebih jauh: sesuatu yang awalnya dugaan terus diarahkan menjadi semacam penyebaran ketakutan tentang bangkitnya komunisme.
Untuk sekelas Tajuk di sebuah koran, tulisan itu tidak menggunakan nalar jurnalistik. Tulisan itu lebih tampak sebagai nalar seorang penerus watak Orde Baru dalam versi seterang-terangnya. Tak ada ikhtiar untuk melakukan verifikasi terhadap dugaan yang disematkan kepada buku-buku tersebut.
Bahkan, penulis Tajuk tidak membaca buku-buku yang dirazia itu sama sekali. Bilamana buku-buku tersebut sudah dibaca, tentu Tajuk yang ditulis oleh petinggi koran tersebut akan beda isinya. Paling tidak, selemah-lemahnya iman-intelektual, penulisnya bakal turut menyayangkan bahwa dari sekian banyak buku yang dirazia itu, ada buku yang sama sekali tidak berkaitan dengan isu komunisme.
ADVERTISEMENT
Koran yang menulis Tajuk tersebut termasuk media dengan oplah tinggi di Sumatra Barat. Kalau sebuah Tajuk ditulis dengan cara seperti itu dan kemudian jadi salah satu referensi atau mungkin standar masyarakat dalam memahami kasus razia buku, maka tak dapat dielakkan bahwa kasus Tajuk koran tersebut menjadi salah satu contoh paling jelas: bagaimana sebuah media massa ikut menjadi bagian dari sorak-sorai dalam hari raya para penikmat kepandiran.
Begitu sulit memercayai bahwa sebuah Tajuk koran menunjukkan dukungan untuk tindakan merazia buku. Pada akhirnya, sesuatu yang tak mereka sadari, razia tersebut mempunyai dampak besar. Tak hanya trauma bagi keluarga yang mempunyai toko buku, tetapi juga bagi masyarakat pendukung setia ilmu pengetahuan.
Semenjak razia, buku-buku yang dijual di toko itu diobral murah. Sebagian dari kita tentu senang bukan kepalang karena dapat buku murah meriah. Tapi ternyata, keriangan mendapatkan buku murah tersebut harus berujung pada kesedihan panjang: sekarang toko buku tersebut tidak ada lagi.
ADVERTISEMENT
Sumatera Barat adalah provinsi dengan jumlah penyebaran kabar-kibul (hoaks) yang lebih tinggi daripada jumlah persebaran buku-buku. Tidak semua wilayah kabupaten atau kota yang mempunyai toko buku.
Di Kota Padang saja, sebagai ibu kota provinsi, hanya ada dua toko buku besar, yakni Gramedia dan Sari Anggrek. Sedangkan toko buku yang telah tutup karena razia tersebut hanya sebuah usaha kecil yang sedang mencoba mengokohkan tempat berpijak.
Sungguh tak disangka bila pada akhirnya toko buku tersebut bubar hanya karena menjual buku yang dituduh mengandung penyebaran komunisme. Toko itu sudah lebih dahulu lenyap-kandas sebelum dugaan atas buku-buku tersebut diputuskan pengadilan secara resmi.
Betapa miris kita melihat kondisi seperti itu—di Padang dan tak hanya di Padang. Setiap kali ada razia buku yang diduga-diduga-diduga menyebarkan paham komunisme, para penikmat kepandiran, kaum yang gemar bertepuk-tangan itu, muncul ke permukaan sambil bersilonjak sejadi-jadinya, bagai beruk mendapat permainan. Mereka berdansa di atas senja kala toko-toko buku alternatif. * Kepandiran bukanlah bawaan dari lahir. Ia bukan pemberian Tuhan selayaknya jenis rambut, tipe mata, ataupun warna kulit. Kepandiran merupakan produk rusak dari kebudayaan manusia. Suatu produk rusak tidak cukup dilihat sebagai kelumrahan atas ketidaksempurnaan manusia belaka; bukan hanya sekadar berarti tidak layak pakai, tetapi juga mesti ditelisik sebab-musabab kerusakannya.
ADVERTISEMENT
Namun, tidak begitu kiranya bagi mereka yang diuntungkan oleh meningkatnya produksi kepandiran. Kepandiran justru dikumpulkan sebanyak mungkin, dikembangbiakkan sedemikian rupa, bahkan dibungkus dengan keindahan moralitas agar mudah dibagi-bagikan layaknya kacang goreng.
Selain itu, segala sebab-musabab kepandiran dijaga-lindungi dari segala ikhtiar untuk mengungkapkannya, bahkan kalau bisa dibuat jadi tabu. Pemikiran yang bertendensi untuk melacak asal muasal kepandiran kalau perlu dilabeli sebagai tindakan sewenang-wenang, di luar batas, bahkan kekurangajaran.
Begitulah nalar yang dipakai oleh para penikmat kepandiran. Bagi mereka, menegakkan bendera kemenangan di atas kepandiran masyarakat adalah kenikmatan yang tiada tandingannya. Kepandiran telah jadi candu kebudayaan mereka.
Seorang pejuang pendidikan rakyat-berderai dan juga pendiri negara ini, Tan Malaka, menuliskan sebuah kalimat dengan tangan berdarah, “Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.”
ADVERTISEMENT
Sementara itu, mereka yang lahir ketika negara ini sudah kokoh tegak-berdiri malah menyalakan kembang-api atas peristiwa pelarangan buku. Di tengah sukarnya meningkatkan literasi di negeri ini, para penikmat kepandiran itu malah berhari-raya di atas kematian toko buku. Mereka itu sesungguhnya adalah perwakilan resmi kemunduran di muka bumi.