PKI, PKI, PKI: Tukang Obat Tahunan Datang Lagi

Heru Joni Putra
Sastrawan. Sedang menyelesaikan studi Kajian Budaya di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Konten dari Pengguna
27 September 2018 16:37 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Heru Joni Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi PKI (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi PKI (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
September sudah sampai di penghujung. Tukang obat tahunan datang lagi. Di mana-mana mereka akan muncul dengan lagu dagang yang sama: “PKI, PKI, PKI!”. Besar atau kecil, tua atau muda, perempuan atau laki-laki, semua orang mendengar lagu itu ke itu saja, berulang kali, entah kapan berganti.
ADVERTISEMENT
Namanya juga orang lagi jualan, tentu tak bisa dilarang. “Yang penting usaha dulu, Tuan,” barangkali akan begitu katanya. Tapi, masalahnya, ada yang sering lupa bahwa tukang obat itu sedang jualan dan kisahnya hanya bualan. Alih-alih memahami apa yang mereka katakan sebagai lagu dagang belaka, ada yang justru mempercayai bahwa kisah bualan yang mereka bawa ke mana-mana itu selayaknya 'wahyu Tuhan'. Tukang obat tahunan tak ubahnya seperti 'nabi akhir zaman'.
Tukang obat itu, sebenarnya, utusan dari masa lalu. Syahdan, di sebuah kerajaan bernama Orde Baru, bertahtalah seorang raja yang suka senyum pada rakyatnya. Tak hanya orang kerajaan, rakyat pun banyak yang menghormati dengan cara 'menjilatinya'.
Raja itu bernama Soeharto Raja Sekalian Alam. Raja tersebut berkuasa, baik di alam nyata ataupun di alam mimpi. Semasa raja tersebut memerintah, rakyat tidak boleh bermimpi kecuali sesuai mimpi yang sudah diatur kerajaan. Loh, kan kita tak bisa menentukan mau mimpi apa? Ya, benar. Tapi pasukan kerajaan urusan pemimpian tidak peduli. Pokoknya, kalau kita bermimpi di luar ketentuan kerajaan, maka siap-siaplah ditangkap dan dibuang ke kandang buaya.
ADVERTISEMENT
Sebegitu sialkah nasib para pemimpi? Ya, benar. Hidup di zaman kerajaan Orde Baru memang untung-untungan. Kalau lagi mujur, selamat dari mulut buaya. Kalau lagi sial, silakan berkemas sebelum lenyap dalam waktu singkat.
Untuk pemuas rasa ingin tahu, inilah sekadar satu contoh dari seribu satu contoh yang ada. Pada suatu hari, terdapatlah seorang anak manusia yang bermimpi bahwa kerajaan akan segera runtuh. Ia menceritakan perihal mimpi tersebut kepada handai-taulan semuanya. Sampai akhirnya ihwal mimpi itu terdengar ke istana. Raja merasa terganggu, apalagi mimpi serupa itu bukan pertama kalinya terdengar olehnya.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana yang gampang dikira, anak manusia itu lenyap oleh pasukan bunga mawar yang langsung diperintah kerajaan. Begitulah kiranya Soeharto Raja Sekalian Alam menguasai rakyatnya, lahir dan batin, jiwa dan raga, hidup ataupun mati.
Nah, tukang obat yang sedari tadi kita sebut-sebut, sesungguhnya adalah pasukan khusus yang diperintah agar tidak ada yang berani mengganggu kekuasaan raja. Tugas mereka berbeda dari tugas pasukan pembunuh, tapi sama pentingnya. Mereka hanya menciptakan rasa takut yang sejadi-jadinya.
“PKI, PKI, PKI,” begitulah mereka bersorak ke segala penjuru negeri dan kerajaan memberikan mereka sekeping dua keping emas sebagai balas jasa. Dan, jangan salah-salah, ketika rakyat sudah menderita ketakutan yang tiada tara, saat itulah sesungguhnya tugas utama mereka dimulai, yaitu menawarkan obat-obatan, penyembuh rasa takut, yang tiada duanya.
Pendiri Partai Komunis Indonesia (Foto: Wikipedia)
zoom-in-whitePerbesar
Pendiri Partai Komunis Indonesia (Foto: Wikipedia)
Konon, segala ramuan yang mereka bawa, meskipun berbeda aroma, campuran, hingga botolnya, khasiatnya cuma satu belaka: mengubah otak siapa saja yang meminumnya menjadi kotoran kuda. Kalau sudah terminum ramuan mujarab tersebut, semua yang dikatakan raja adalah kebenaran yang tak terbantahkan. Jangankan bermimpi, untuk membedakan tangan kanan dan tangan kiri saja tak akan ada yang sanggup.
ADVERTISEMENT
Bila masih saja ada rakyat kerajaan itu yang bisa bermimpi, maka pasukan khusus lainnya untuk menangkap dan melemparkannya ke serikat buaya lapar. Biasanya, bila ada rakyat yang masih keras hatinya dan masih bersitahan untuk terus berpikir, tak manjur terkena obat mujarab itu. Dan orang-orang itulah, yang satu demi satu, diburu pasukan kerajaan tersebut, sampai ke mana pun. Ini bukan lagi menjadi urusan tukang obat.
Akhirnya, tak diduga, sebagaimana mimpi banyak orang yang sudah mati dimakan buaya, kerajaan Orde Baru runtuh juga. Banyak tukang obat yang kelimpungan, tak tentu arah, tak lagi punya pekerjaan. Ibarat layang-layang, para tukang obat itu hanya bisa mengikuti ke mana angin kencang saja.
ADVERTISEMENT
Ketika raja sudah berganti, karena tak punya keahlian lain, akhirnya para tukang obat itu hanya jadi tukang sorak saja. Apa yang sedang ramai dibahas di tengah rakyat, maka itu pula yang dibicarakannya. Begitu nasib tukang obat akhirnya untuk bertahan hidup.
Tapi, ternyata, semua itu hanya sementara. Tukang obat itu berkembang biak dengan cepat seperti penyakit kurap. Pelan-pelan mereka mendapat wilayah untuk berkuasa. Para tukang obat itu menyusup ke berbagai tempat agar bisa mengambil alih kekuasaan dari segala penjuru. Kini para tukang obat berkehendak menguasai negeri.
Namanya tukang obat, warisan yang mereka punya memang hanya lagu dagang saja. Ketika kekuasaan hampir segera mereka raih, ternyata mereka baru sadar bahwa generasi terus berkembang dan kepandaian generasi itu semakin tak terkalahkan. Tukang obat jadi cemas. Mereka tahu bahwa mereka tak punya apa-apa. Isi kepala mereka lebih banyak lumpur hitam. Secuil otak yang tersisa pun hanya mampu berpikir untuk jualan obat.
ADVERTISEMENT
“PKI, PKI, PKI!” Akhirnya kalimat itu kembali diteriakkan. Mereka muncul dari berbagai penjuru negeri dan meneriakkan kalimat itu di mana-mana. Tentu, ada juga rakyat yang terpengaruh olehnya. Bahkan siapa saja yang pernah 'menjilati' Raja Soeharto, turut membantu para tukang obat itu meneriakkan “PKI, PKI, PKI!”.
Para tukang obat dan para pendukungnya terus meneriakkan kalimat itu. Mereka berharap negeri ini ditimpa ketakutan dan kemudian terjadi kekacauan. Dari pagi sampai malam, mereka teriakkan kalimat itu terus-menerus.
Sudah setiap hari, selama bertahun-tahun, para tukang obat meneriakkan kepandaian lama mereka, tapi negeri tak kunjung kacau. Mereka sudah mencari cara lain agar bisa menguasai kembali negeri ini, tetapi tetap saja berujung kegagalan.
Mereka sudah kabarkan ke semua pelosok negeri bahwa ada berjuta-juta orang PKI akan melakukan kudeta, tapi tetap saja lebih banyak rakyat menganggap itu sebagai mimpi di siang bolong.
ADVERTISEMENT
“Istirahatlah Tuan, sepertinya Anda terlalu lelah,” begitu orang berkata. Para tukang obat benar-benar kehabisan cara.
Tapi, tampaknya, mereka tak pernah menyerah. Sesekali, antara sayup dan sampai, kalimat “PKI, PKI, PKI” terdengar juga. Untung saja generasi hari ini akhirnya menyadari bahwa para tukang obat Orde Baru itu hanya lapar saja.
Maka, setiap kali tukang obat itu menggonggong, mereka cukup melemparkan tulang, lantas tukang obat pun diam beberapa saat. “PKI, PKI, PKI,” tukang obat itu menggonggong lagi, sebuah tulang pun dilemparkan kepada mereka. “PKI, PKI, PKI,” begitu seterusnya, sampai hari pun kiamat.
ADVERTISEMENT