Konten dari Pengguna

Solusi Ekstensifikasi Pajak Pasca Batalnya Kenaikan PPN 12 Persen

Herwikson Sitorus
Konsultan Pajak
8 Januari 2025 14:58 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Herwikson Sitorus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pelaporan SPT Pajak Tahunan. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pelaporan SPT Pajak Tahunan. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Presiden Prabowo Subianto melalui siaran persnya tanggal 31 Desember 2024 akhirnya menghentikan polemik yang berkembang di masyarakat terkait penerapan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) mengenai kenaikan PPN 12 persen.
ADVERTISEMENT
Adapun kenaikan PPN 12 persen hanya diberlakukan untuk barang dan jasa mewah yang mulai dijalankan tanggal 1 Januari 2025
Pada pemahaman sederhana ihwal kategori barang dan jasa mewah ini jamak dimanfaatkan atau digunakan oleh masyarakat kaya dari golongan kelas atas, seperti; kapal pesiar, mobil mewah, motor yarch dan rumah yang sangat mewah.
Sementara untuk barang dan jasa yang selama ini digunakan oleh masyarakat kelas menengah dan kelas bawah yaitu kebutuhan pokok masyarakat tidak mengalami kenaikan.
Adapun alasan Presiden Prabowo melakukan diversifikasi dengan menaikkan PPN 12 persen secara bertahap hanya untuk barang dan jasa mewah dimaksudkan untuk menjaga daya beli masyarakat dan mendorong pemerataan ekonomi.
Tujuannya adalah demi menghindarkan masyarakat kelas menengah turun kelas yang berdampak pada bertambahnya jumlah masyarakat miskin di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Keadaan ini secara empirik sejatinya telah dialami Indonesia dalam 5 (lima) tahun terakhir karena sebanyak 9,48 juta masyarakat kelas menengah turun kelas.
Dimana menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah kelas menengah di Indonesia tahun 2019 adalah 57,33 juta orang (21,45 persen) sementara pada tahun 2024 jumlah penduduk kelas menengah turun menjadi 47,85 juta orang (17,13 persen).
Situasi serupa juga terjadi untuk kategori masyarakat kelas bawah atau masyarakat rentan miskin yang mengalami kenaikan dari 54,97 juta orang (20,56 persen) ditahun 2019 menjadi 67,69 juta orang (24,23 persen) pada tahun 2024 dari seluruh total jumlah penduduk.
Artinya jika kenaikan PPN 12 persen diimplementasikan secara menyeluruh pada semua produk jasa dan barang maka berpotensi menambah jumlah masyarakat miskin serta semakin memperlebar kesenjangan ekonomi antara kelas atas dan kelas bawah di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kondisi Aktual
Ketika wacana kenaikan PPN dari 11 persen ke 12 persen mulai digaungkan dan menyebar di masyarakat berbulan-bulan lamanya hingga akhirnya dibatalkan pada malam pergantian tahun. Ada banyak pelaku usaha telah melakukan ancang-ancang dengan mulai menaikkan harga. Khususnya untuk harga bahan pokok, produk UMKM hingga ongkos angkutan transportasi umum yang ikut naik meskipun Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak mengalami kenaikan.
Kondisi tersebut berdampak pada rendahnya daya beli disepanjang bulan Desember 2024 karena banyak masyarakat menahan diri untuk melakukan konsumsi/belanja sebagai persiapan menghadapi kenaikan PPN 12 persen.
Akibatnya ekonomi tidak menggeliat karena permintaan domestik terhadap barang dan jasa tidak secara signifikan mengalami kenaikan layaknya di momen perayaan hari besar Natal dan Tahun Baru ditahun-tahun sebelumnya. Buktinya angka inflasi sepanjang tahun 2024 menurut data BPS hanya 1,57 persen atau terendah sepanjang sejarah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Artinya meski diatas kertas batalnya kenaikan PPN 12 persen merupakan kebijakan yang melegakan bagi masyarakat tapi secara administrasi masih menyisakan pekerjaan rumah bagi pemerintah karena masih harus melakukan penyesuaian terhadap harga barang dan jasa yang sempat naik.
Apalagi terkait gaji dan penghasilan masyarakat tidak mengalami kenaikan membuat pentingnya formula atau skenario baru bagi para stakeholders (pemangku kepentingan) dalam pengembalian terhadap transaksi yang sempat dikenakan PPN 12 persen.
Pun metode pengembalian kelebihan pungutan PPN dapat ditempuh dengan dua cara yaitu pertama, melalui koordinasi antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan perusahaan (pengusaha), baik dilakukan dengan pengembalian langsung kepada wajib pajak atau penerbitan faktur pajak yang baru dengan menyesuaikan format pengembalian PPN 11 persen dan kedua, melalui pengembalian dengan menyesuaikan terhadap situasi aktual di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Alternatif Penerimaan Pajak
Proyeksi penerimaan pajak tahun 2025 ditargetkan bisa tumbuh sebesar 10,1 persen yang jika dikalkulasikan angkanya mencapai Rp 2.189 triliun dari mata Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahun 2025 yang jumlahnya mencapai Rp 3.621,3 triliun. Tentu angka ini sangat besar mengingat untuk pertama kalinya sasaran penerimaan negara dari sektor pajak jumlahnya diatas Rp 2000 triliun.
Selain itu pada dua tahun terakhir pendapatan negara dari sektor pajak mengalami kenaikan yaitu pada tahun 2023 sebesar Rp 1.869,23 triliun dari total APBN sebesar Rp 3.121,9 triliun sementara pada tahun 2024 penerimaan dari sektor pajak mencapai Rp1.932,4 triliun dari total APBN sebesar Rp 3.325,1 triliun.
Pun selama ini penerimaan pajak terbesar negara diperoleh dari pajak penghasilan migas dan non migas, PPN, PBB, cukai hingga pajak perdagangan internasional terkait pajak ekspor dan pajak impor barang atau jasa.
ADVERTISEMENT
Tentu dalam praktiknya tidak mudah merealisasikan target penerimaan pajak tersebut. Apalagi pemerintah baru saja memutuskan pembatalan kenaikan PPN 12 persen yang sebelumnya diproyeksikan menambah penerimaan negara sebesar Rp 70 triliun sampai Rp 80 triliun ditahun 2025.
Selain itu dengan kebijakan kenaikan PPN 12 persen untuk barang dan jasa mewah proyeksi penerimaan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) pada tahun 2025 tinggal Rp16,61 triliun.
Sehingga pada upaya pencapaian target penerimaan pajak Rp 2.189 triliun di tahun 2025, penting bagi pemerintah untuk mencari opsi lain dalam upaya optimalisasi penerimaan pajak. Operasionalisasinya tentu berkaitan dengan intensifikasi pajak yang didapatkan melalui tax amnesty yang tujuannya meningkatkan penerimaan pajak dari penggalian potensi pajak berdasarkan data dari pemerintah atau DJP.
ADVERTISEMENT
Juga melalui ekstensifikasi pajak yang tujuannya penambahan jumlah wajib pajak yang dalam hal ini bisa dilakukan dengan mendorong implementasi pembayaran pajak karbon yang sudah dicatatkan melalui UU HPP Nomor 7 Tahun 2021.
Dimana pajak karbon ini selain mendorong penerimaan negara, secara faktual juga akan memperkuat komitmen negara terkait Paris Agreement yang telah disepakati tahun 2016 tentang komitmen Indonesia terkait pelaksanaan green economy (ekonomi hijau).
Selain itu pajak karbon ini jika dijalankan akan mengurangi angka pengangguran karena secara otomatis akan menyerap tenaga kerja baru.
Selain pajak karbon, ekstensifikasi pajak bisa pula dilakukan dengan membuka ruang terhadap penambahan penerimaan pajak dengan menambal kebocoran pajak dari pendataan sawit ilegal dan tambang ilegal yang selama ini tidak membayar pajak karena kepemilikannya tidak jelas.
ADVERTISEMENT
Artinya secara komprehensif dalam upaya meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak, pemerintah memiliki opsi lain yang lebih populis setelah batalnya kenaikan PPN 12 yaitu melalui kebijakan pajak karbon atau pendataan sawit dan tambang ilegal untuk dipungut pajaknya.
Selain itu, ekstensifikasi pajak lain yang bisa dimaksimalkan dalam upaya menambah penerimaan negara adalah pemerlakukan pajak 2 persen dari total harta orang kaya di Indonesia yang menurut data BPS tahun 2024 jumlahnya mencapai 1,07 juta orang.