Sutopo dan Komunikasi Bencana

Heryadi Silvianto
Praktisi dan Akademisi Komunikasi
Konten dari Pengguna
26 Desember 2018 21:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Heryadi Silvianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kondisi kerusakan di Desa Sumber Jaya, Kecamatan Sumur,Kabupaten Pandeglang. (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kondisi kerusakan di Desa Sumber Jaya, Kecamatan Sumur,Kabupaten Pandeglang. (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Krisis sejatinya sesuatu yang tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan kita, terlebih bencana alam dan sejenisnya. Dalam sejumlah definisi, krisis bermakna the turning point for better or worse. Titik balik untuk lebih baik atau lebih buruk. Manusia dalam kadar tertentu bisa memprediksi dan mengukur dampak krisis berdasarkan apa yang tampak, kemudian mencoba mengambil kesimpulan dari beberapa pola yang pernah ada di masa lalu.
ADVERTISEMENT
G. Harrisan dan White & Mazur menyimpulkan bahwa krisis secara umum dapat disebabkan oleh dua sumber, yaitu dari dalam (internal) dan dari luar organisasi (eksternal). Sedangkan Lerbinger dalam bukunya The Crisis Manager: Facing Risk And Responsibility mengkategorikan krisis dalam beberapa jenis: bencana alam (natural disaster), teknologi krisis, konfrontasi, kedengkian (malevolence), krisis karena manajemen yang buruk (crisis of skewed management value), krisis adanya penipuan (deception), dan kesalahan manajemen (management misconduct).
Indonesia dan Krisis
Foto udara letusan gunung Anak Krakatau di Selat Sunda. (Foto: Antara/Nurul Hidayat)
zoom-in-whitePerbesar
Foto udara letusan gunung Anak Krakatau di Selat Sunda. (Foto: Antara/Nurul Hidayat)
Krisis memang senantiasa mengintai Indonesia setiap waktu, sudah banyak diketahui bahwa negeri subur ini berada dalam cincin Api Pasifik atau Lingkaran Api Pasifik (Ring of Fire), yaitu daerah yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan Samudra Pasifik.
ADVERTISEMENT
Daerah ini berbentuk seperti tapal kuda dan mencakup wilayah sepanjang 40.000 kilometer. Bagai keping uang logam, wilayah yang subur dan kaya secara hayati namun bahaya mengintai tanpa henti.
Sejumlah krisis kebencanaan sepanjang tahun 2018 terjadi, tercatat bencana alam (natural disaster) datang silih berganti dari mulai gempa Lombok, tsunami disertai pencairan tanah atau likuifaksi di Palu dan Donggala, hingga yang terbaru tsunami dan bencana banjir mengempas Anyer dan sebagian Lampung.
Tidak terhitung jumlah korban jiwa dan kerugian material. Sungguh ini merupakan ujian yang tidak mudah. Namun lagi-lagi kita tampak gagap menghadapi bencana alam karena kesadaran kita yang kurang dalam bidang kebencanaan, baik pemerintah maupun masyarakat.
Secara faktual, kesadaran akan bencana tampaknya belum dipahami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Bahkan, di beberapa kesempatan, ironi itu terjadi di lingkup pemegang kebijakan. Berulang kali kita tersadar saat bencana telah terjadi, namun lupa serta lalai setelah bencana berlalu dan kondisi telah normal.
ADVERTISEMENT
Sering kali memori kebencanaan tersimpan rapi di rak dokumen. Berulang kali mengulangi kesalahan yang sama dalam rentang waktu yang berdekatan. Ironis!
Sejatinya krisis tidak serta merta hadir begitu saja dan tiba-tiba, dalam beberapa kesempatan sering kali mengirimkan tanda. Tanda inilah yang menjadi masalah selama ini, karena ‘early warning system’ tidak berjalan sempurna.
Padahal kita sadar betul berada di daerah cincin api, tapi anehnya alokasi dan perhatian terhadap masalah ini sangat minim. Semisal, alat pendeteksi tsunami tidak berfungsi di sejumlah pesisir pantai yang membentang di Indonesia. Pun proses edukasi yang minim terhadap masyarakat di daerah rawan bencana.
ADVERTISEMENT
Sutopo dan Kepingan Bencana
Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengusap matanya. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengusap matanya. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Di dalam situasi krisis biasanya akan memunculkan sosok sentral, dalam sejumlah kesempatan mereka dijadikan rujukan informasi (spokesperson). Dalam beberapa tahun terakhir tidak dapat dipungkiri nama Sutopo Purwo Nugroho tidak terpisahkan dari isu kebencanaan atau krisis di Indonesia. Bukan tanpa sebab, perannya selama ini bukan hanya aktif memberikan informasi terkait kebencanaan, namun disisi lain meng-counter berita yang tidak jelas (hoaks).
Sutopo tampak menyadari bahwa di zaman media digital dan informasi yang serba cepat, bencana terbesar adalah postingan yang salah dan sesat tentang bencana. Karena jika dibiarkan akan menghadirkan situasi yang tidak kondusif serta berpotensi chaos.
Sutopo berhasil meramu Informasi yang akurat dengan jaringan yang kuat, menjadi modal utama dalam memverifikasi beragam informasi. Ditambah respons yang cepat dan engagement yang persuasif dengan khalayak media sosial membuat Sutopo melejit bagai meteor di gelap malam. Memberi petunjuk dan arah yang jelas terkait sejumlah berita hoaks yang beredar di Masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam berbagai kejadian bencana alam, ada saja pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, mereka ‘bermain di air yang keruh’ dengan menebarkan kabar bohong (hoaks) dan isu sesat. Motifnya beragam, dari ekonomi hingga kepentingan politik. Para pelaku penebar hoaks menjahit kejadian yang tidak ada hubungan dengan bencana menggunakan narasi yang menyesatkan dan sensasional.
Sutopo selama ini dikenal menyampaikan informasi bencana dengan sangat baik dan akurat kepada awak media, kualitas itu setara disampaikan saat merangkai kata-kata dalam bait media sosial. Perannya sebagai seorang Humas kalangan birokrat dianggap melampaui standar kompetensi yang ada.
ADVERTISEMENT
Sejumlah lembaga mengganjarnya dengan sederet apresiasi, sebut saja yang terkini penghargaan dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Award 2018 Bidang Komunikasi Bencana Alam yang dinilai telah memberikan pengabdian, jasa-jasa, dan kontribusi yang luar biasa kepada masyarakat, ilmu pengetahuan, dan bangsa.
Kemudian, penghargaan sebagai Tokoh Teladan Anti Hoax Indonesia dari Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia). Dalam tweet-nya, Sutopo berujar, “Hoax bencana yang sering saya lawan dan luruskan adalah untuk masyarakat agar tenang dan cerdas mencermati info bencana yang salah”.
Meski demikian sejumlah kalangan sempat menyesalkan informasi yang disampaikan kepala Humas Badan Nasional Penanganan Bencana (BNPB) itu dalam bencana Anyer dan Lampung yang memberikan pernyataan lewat akun media sosial bahwa gelombang tinggi bukan Tsunami.
ADVERTISEMENT
Dalihnya kekeliruan tersebut terjadi karena merujuk informasi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang mengambil kesimpulan awal bukan tsunami melainkan hanya gelombang tinggi. Sutopo menyadari bahwa unggahannya salah, atas hal tersebut pria asal Boyolali itu meminta maaf dan menghapus tweet-nya.
Akun Twitter Sutopo follower-nya mencapai 188 ribu, tentu saja pesan yang disampaikannya akan memiliki pengaruh dan tidak bisa bebas nilai. Meski akun tersebut milik pribadi.
Pantauan udara wilayah Balaroa yang hancur akibat gempa bumi, Palu, Sulawesi Tengah. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pantauan udara wilayah Balaroa yang hancur akibat gempa bumi, Palu, Sulawesi Tengah. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
Di titik inilah kita menyadari bahwa Sutopo dengan segala kemampuannya tentu memiliki keterbatasan: jangkauan pesan terhadap khalayak sasaran – korban bencana. Padahal kecepatan dan ketepatan informasi mutlak dibutuhkan dalam situasi yang serba terbatas, karena pada akhinya akan menentukan respons yang akan dilakukan.
Atas dasar itu, Sutopo tidak bisa 'one man show', tetapi harus menjadi satu bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem komunikasi kebencanaan. Dirinya sebagai spokesperson adalah etalase, namun supply informasi tetap dari para relawan atau kontributor yang kredibel di lapangan. Tidak boleh ada jarak yang terlampau jauh antara fakta dengan berita.
ADVERTISEMENT
Terlebih dalam era Information Communication and Technology (ICT) informasi tidak bisa dimonopoli sendiri, karena saat ini setiap orang berpotensi menjadi pembuat berita. Sebagaimana tulisan Pemimpin Redaksi kumparan Arifin Asydhad di awal-awal kejadian yang mencoba menerobos 'arus utama' pemberitaan terkait gelombang tinggi dan fenomena bulan purnama di Anyer, meski sempat di-bully namun tetap tegar pada narasi bahwa telah terjadi Tsunami.
Reportasenya dibuat berdasarkan pengalaman langsung ada di tempat kejadian, memperhatikan dampak yang ditimbulkan dan aktif dalam diskursus. Peran komunikasi dalam bencana adalah menyampaikan pesan penting di semua tingkatan dari mereka yang tahu kepada mereka yang perlu tahu dalam batasan waktu tertentu agar mengurangi dampak buruk yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Ini bukan soal benar atau salah, cepat atau lambat, namun terkait usaha aktif dari semua pihak meminimalisir dampak buruk yang terjadi. Penjelasan kumparan terkait sikap untuk menyebut bencana itu sebagai tsunami dapat dibaca di 'Catatan Redaksi: Kenapa kumparan Yakin Terjadi Tsunami di Selat Sunda?'.
Dalam situasi krisis, menumpukkan semua kesalahan kepada satu orang tentu tidak bijak. Dari kesalahan kita menyadari bahwa proses komunikasi dalam situasi krisis maupun bencana tidak bisa bertopang kepada orang per orang, namun harus melalui sistem yang saling terintegrasi satu sama lain.
Sutopo tetap manusia biasa, yang bisa saja keliru dalam menyampaikan informasi. Darinya kita belajar tentang mengukur harapan dan kenyataan, check and recheck wajib dilakukan.
ADVERTISEMENT
Peran Media Sosial dalam Krisis
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo. (Foto: ANTARA/Fahkri Hermansyah)
zoom-in-whitePerbesar
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo. (Foto: ANTARA/Fahkri Hermansyah)
Munculnya media baru seperti internet, email, blog, pesan teks, foto ponsel, dan meningkatnya peran yang dimainkan oleh 'informan pertama'--saksi yang sekarang memiliki kemampuan untuk mengirimkan informasi langsung dari tempat kejadian--sungguh telah mengubah definisi peran historis pemerintah dan media mainstream.
Pada fase pemulihan, ketika masyarakat ditekan oleh kondisi kehidupan yang sulit dan ketika ada kekurangan, publik secara alamiah meningkatkan kritik mereka terhadap administrator dan menyalahkan orang yang mereka anggap sebagai agen tanggung jawab.
Di antara alasan psikologis dan sosial lainnya, penjelasan politis untuk tindakan ini adalah bahwa dalam demokrasi publik bertindak sebagai pengawas dan secara aktif berpartisipasi dalam diskusi untuk mengendalikan dan memengaruhi para pembuat keputusan. Untuk tujuan ini, penggunaan tagar Twitter dalam protes warga telah menjadi alat umum yang dimanfaatkan publik untuk menarik perhatian mereka (Feenstra dan Casero-Ripollés, 2014).
ADVERTISEMENT
Komunikasi melalui media sosial saat ini telah menjadi bagian penting setelah terjadinya bencana berskala besar, tujuannya menyediakan informasi menit ke menit dan juga membuat situs bagi yang selamat untuk memberitahu keluarga mereka tentang lokasi, keberadaan, dan kondisi. Juga memungkinkan menjadi sarana reunifikasi pengungsi dengan keluarga dan orang yang mereka cintai. Mari gunakan dengan bijak dan tepat.
Peran historis pemerintah sebagai penjaga gerbang saat ini merupakan anakronisme. Pun peran media tradisional sebagai satu-satunya saluran informasi yang andal dan disetujui secara resmi telah dikalahkan oleh munculnya media baru.
Alat dan aturan komunikasi berubah, komunikasi bencana harus berkembang untuk memanfaatkan perubahan dan peluang ini. Netizen memiliki potensi baik dan buruk untuk menambah kekacauan selama krisis atau membantu menyampaikan data yang akurat serta melaporkan kondisi faktual. Komunikasi bencana harus memasukkan cara untuk mengelola dampaknya dan jika mungkin menggunakannya untuk kebaikan bersama.
ADVERTISEMENT
Komunikasi di saat Krisis
Pengetahuan akan bencana sejatinya memang perlu dibangun secara sadar dan utuh, tidak boleh parsial dan temporal. Proses membangunnya memerlukan strategi diseminasi informasi yang inovatif dan komunikasi yang tekun. Tidak boleh cepat bosan dan tidak bisa asal-asalan. Terlebih saat krisis terjadi.
Dalam buku Disaster Communications in a Changing Media World disebutkan penting menerapkan prinsip-prinsip manajemen darurat untuk komunikasi selama bencana. Komunikasi adalah kunci keberhasilan mitigasi bencana, kesiapsiagaan, respons dan pemulihan.
Informasi akurat yang disebarluaskan kepada masyarakat umum, pejabat, tokoh masyarakat, dan media sesungguhnya akan membantu mengurangi risiko, menyelamatkan jiwa, harta benda, dan mempercepat pemulihan.
ADVERTISEMENT
Kemampuan untuk berkomunikasi bukan lagi sebuah renungan atau kemewahan; komunikasi yang tepat waktu kini sama pentingnya dengan logistik atau pra-penempatan materi. Merencanakan dan mengendalikan aliran informasi sebelum, selama, dan setelah bencana akan menentukan kredibilitas, kepercayaan, otoritas, dan efektivitas penanganan bencana.