Tsunami Selat Sunda dan Soliditas Nasional

Heryadi Silvianto
Praktisi dan Akademisi Komunikasi
Konten dari Pengguna
2 Januari 2019 14:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Heryadi Silvianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kondisi Hotel Mutiara Carita usai diterjang tsunami di Selat Sunda. (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kondisi Hotel Mutiara Carita usai diterjang tsunami di Selat Sunda. (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Setelah menulis artikel di kumparan berjudul Sutopo dan Komunikasi Bencana pada tanggal 30 Desember 2018, tepat satu pekan pascaterjadi bencana tsunami akibat erupsi gunung anak Krakatau, penulis berkesempatan mengunjungi lokasi bencana Tanjung Lesung bersama rombongan warga Blok Arafah Villa Ilhami Islamic Village, Tangerang.
ADVERTISEMENT
Rombongan menyerahkan bantuan tahap pertama, sadar bahwa bencana tidak bisa diselesaikan dalam satu waktu dan sekejap mata. Apalagi hanya satu pekan, untuk bencana besar: Hampir mustahil.
Tsunami Selat Sunda dan Soliditas Nasional (1)
zoom-in-whitePerbesar
Gambar satu pekan setelah Tsunami menerjang pesisir Tanjung Lesung, tiang listrik yang roboh telah diganti dan instalasi listrik telah tersambung. Ahad, 30 Desember 2018 (Dokumentasi Heryadi Silvianto).
Sejak mengetahui kabar tsunami menerjang pesisir Selat Sunda, pengurus kewargaan mengambil inisiatif untuk menggalang bantuan baik berupa dana maupun kebutuhan logistik. Setelah terkumpul, sebagian besar donasi dibelanjakan untuk kebutuhan personal hygiene dan kebutuhan pokok.
Di antaranya dikemas dalam satu paket goodie bag: pasta gigi, sikat gigi, sabun, shampo, handuk, dan perlengkapan pribadi bagi orang tua maupun anak-anak. Seluruh inventarisir daftar kebutuhan tersebut berdasarkan informasi lapangan yang telah disampaikan sebelumnya.
Tsunami Selat Sunda dan Soliditas Nasional (2)
zoom-in-whitePerbesar
Warga Blok Arafah di Masjid Baitul Izzah mengemas paket bantuan selepas salat zuhur pada hari Sabtu, (29/12/2018).
ADVERTISEMENT
Sesungguhnya proses pengumpulan donasi warga seperti ini bukan kali pertama bagi warga Blok Arafah, sebelumnya dilakukan juga untuk gempa Lombok dan Palu melalui lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT). Adapun, untuk donasi Tsunami selat sunda diserahkan melalui lembaga kemanusiaan lokal bernama Harapan Dhuafa (Harfa), yang sejak tahun 2004 malang melintang dalam urusan kemanusiaan di Provinsi Banten.
Warga sadar bahwa antusiasme membantu harus tetap dalam koridor yang tepat dan ditangani oleh pihak yang kompeten, agar memberi manfaat yang lebih luas. Benar saja, ternyata pola serupa dilakukan juga oleh simpul-simpul kewargaan dari berbagai tempat saat bertemu di lokasi bencana.
Tsunami Selat Sunda dan Soliditas Nasional (3)
zoom-in-whitePerbesar
Penulis bersama koordinator relawan dari Harapan dhuafa (harfa), Lie Arifin, di Posko Utama Labuhan pada hari Ahad, (30/12/2018).
ADVERTISEMENT
Epik di atas sesungguhnya menyampaikan pesan kepada kita semua bahwa kegiatan pengumpulan dan pendistribusian bantuan bencana alam ternyata dilakukan oleh banyak warga, di banyak tempat secara sadar (awareness) dan terorganisasi (well organize). Kita merasakan secara aktif denyut nadi ‘gotong royong’ terasa di tengah-tengah masyarakat kita.
Ternyata akar ini tidak benar-benar hilang dari masyarakat, namun bertransformasi menyesuaikan dengan situasi terkini. Sebuah modal sosial yang patut untuk dikelola dan dirawat. Menurut Prusak L (Field, 2010: 26), modal sosial adalah hubungan yang terjadi dan diikat oleh suatu kepercayaan (trust), saling pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai bersama (shared value) yang mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama secara efisien dan efektif.
Simpul Kebencanaan dan Intermediasi
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanan menyerahkan donasi, penulis mencermati setidaknya ada tiga simpul besar dalam proses pemulihan kebencanaan: Pemerintah, pegiat kemanusiaan, dan korban.
Simpul pertama Institusi pemerintah, lazimnya mereka melakukan peran-peran tradisional seperti membangun shelter pengungsian dan menggerakan struktur yang ada seperti dari mulai tingkat Pusat hingga desa. Mengaktivasi posko kesehatan seperti puskesmas dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD).
Simpul kedua dari bencana yang paling terdampak yaitu korban, sebagian besar sudah kembali ke tempat masing-masing. Meski ada pola transisi yang masih nomaden, pagi hari beraktivitas namun sore hari mengungsi. Pun demikan di saat yang bersamaan masih ada korban yang tetap di pengungsian, salah satu yang penulis lihat di masjid dekat posko Harfa di Labuhan tercatat sebanyak 50 warga.
Tsunami Selat Sunda dan Soliditas Nasional (4)
zoom-in-whitePerbesar
Simpul terakhir adalah kerelawanan, khususnya terkait entitas pegiat kemanusiaan yang tidak hanya berfokus pada relawan atau sejenisnya, tapi masyarakat awam yang tidak terkena bencana (warga relawan). Sepanjang perjalanan ke dan dari lokasi bencana, hilir mudik mobil ambulans dan pikap membawa bantuan.
ADVERTISEMENT
Uniknya sebagian besar kendaraan bantuan tersebut bukan berasal dari institusi pemerintahan, namun dari entitas masyarakat baik yang bersifat komunitas, kewargaan, organisasi masyarakat, hingga keumatan. Termasuk di dalamnya Penulis lihat komunitas ojek online (ojol), partai politik, Dewan Kemakmuran Masjid (DKM), dan organisasi kepemudaan seperti pramuka dan Pemuda Pancasila. ‘Kesibukan dan keriuhan’ kesukarelawanan ini terjadi di sepanjang jalur menuju daerah bencana.
Warga relawan melakukan reaksi kebencanaan secara mandiri (self-organize): Mulai dari menghimpun, mengemas, hingga mendistribusikan. Keseluruhan kerja tersebut dibangun dengan suasana kesukarelaan dan tanpa pamrih. Ternyata perilaku rumpun seperti ini--bukan kerumuman--telah menjadi gaya publik (public style) yang bersifat masif dan menggejala. Tengok saja gelombang bantuan di berbagai daerah bencana. Luar biasa besar.
Tsunami Selat Sunda dan Soliditas Nasional (5)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana pengangkutan paket donasi yang dilakukan secara bersama-sama oleh warga Blok Arafah, dilakukan pada hari Sabtu (29/12/2018).
ADVERTISEMENT
Hubungan antara relawan dan warga relawan karena kesamaan pandangan, bahwa kebencanaan ini harus dikerjakan sama-sama. Menyadari tidak cukup mengandalkan kerja pemerintah. Bagi para relawan kemanusiaan yang telah berhari-hari di lokasi bencana, keberadaan para warga relawan yang telah melakukan aksi nyata ibarat “oksigen semangat” yang sangat berarti. Pelecut motivasi di saat kelelahan dan kebosanan mendera. Sebuah energi positif yang tidak dapat dihitung dengan uang dan angka.
Berbagi Energi Positif
Jika fenomena ini bisa dikelola dengan baik, sebuah potensi yang luar biasa. Penulis memandang fenomena ini tidak sekadar sebagai kearifan lokal (local wisdom) dalam skala tertentu, namun juga berpotensi menjadi modal kuat dalam membangun ‘soliditas nasional’. Penulis beranikan diri mengambil istilah tersebut sebagai cara menggambarkan situasi yang ada.
ADVERTISEMENT
Fajarini (2014: 123), kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Defiinsi lokalitas tidak lagi terbatas pada batasan geografis dan entitas terbatas, namun kini menjelma pada perasaan bersama tinggal di hamparan besar sebuah bangsa.
Kemampuan untuk mengomunikasikan pesan-pesan tentang bencana kepada publik, pemerintah, media, dan pemuka pendapat, dapat mengurangi risiko, menyelamatkan kehidupan, dan dampak dari bencana (Haddow dan Haddow, 2008: 2).
ADVERTISEMENT
Prasanti dan Fuady (2017), mengemukakan bahwa upaya yang harus dilakukan dalam mengatasi hambatan komunikasi yang terjadi guna penanggulangan bencana, diperlukan suatu strategi komunikasi yang interaktif antarmasyarakat dengan mempertimbangkan ketepatan sumber, pemilihan media, dan karakteristik komunikan. Untuk mengidentifikasi elemen tersebut, Zulkarnain (2015), menambahkan bahwa untuk meningkatkan efektivitas jaringan komunikasi diperlukan identifikasi aktor-aktor kunci yang berperan sebagai star, cosmopolite, dan gate keeper dalam jaringan komunikasi tersebut.
Energi yang besar ini perlu iklim yang baik, suka tidak suka pemerintah sebagai ‘holding company’ harus menciptakan public mood ini. Secara reflektif tekun mengirimkan pesan yang jelas dan reaksi yang pantas dalam memandang kebencanaan sepanjang tahun 2018. Bahwa sudah saatnya kita berbenah, tidak cukup hanya dengan ‘road map kebencanaan’ tapi juga ‘action plan’ yang lebih serius.
ADVERTISEMENT
Penanganan bencana selama ini tidak pernah dilakukan dalam sebuah kebijakan yang komprehensif, karenanya pengelolaan bencana selama ini belum berjalan optimal. Perlu ada kajian bencana yang matang, integrasi implementasi, mekanisme pengaturan anggaran bencana pusat dan daerah, edukasi masyarakat, serta strategi penanggulangan pascabencana.