Denyut Nadi Akademisi Muslim

Heri Bayu Dwi Prabowo
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Interdisciplinary Islamic Studies, Konsentrasi Psikologi Pendidikan Islam
Konten dari Pengguna
12 Februari 2021 13:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Heri Bayu Dwi Prabowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi denyut nadi.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi denyut nadi.
ADVERTISEMENT
“Jika kamu ingin dikatakan seorang ilmuwan, sarjanawan, akademisi, minimal sudah baca lima ratus buku” tegas pak profesor kala itu, selagi turut andil memeriahkan milad organisasi IMM ke-55. Jangankan lima ratus buku, kisaran nominal di bawah seratus buku saja sudah bersyukur kalau mampu menghatamkan bacaan, pun belum tentu paham apa yang dibaca. Apalagi di era 4.0, bahkan sudah ada wacana menuju era 5.0, era dimana jumlah bacaan buku bukan lagi sebagai indikator kecerdasan, alias copy paste, njiplak, plagiat adalah jalan alternatif tersingkat dan termudah.
ADVERTISEMENT
Tengok saja, model wacana dan penjabaran artikel kisaran sepuluh tahun ke bawah, anda akan melihat inti pembahasan yang sama dengan frame sedikit berbeda, baik itu subjek, objek, maupun metodologi yang dipakai. Tapi, marilah kita menikmati arus yang sedang bergejolak, tanpa memicingkan mata, apalagi gatal-gatal alergi, karena ini semua terdapat pelajaran bagi siapa pun yang sadar, atau minimal mau memahaminya.

Arus Wacana

Tidak ada hal baru di bawah kolong langit, adagium singkat penuh makna. Tradisi ahlu al-hadits menamainya dengan sanad, tradisi akademik menamaninya dengan geneologi, sedangkan tradisi Jawa menamaninya dengan jere mbaeh. Artinya, Pengaruh dan mempengaruhi dari buah pikiran seseorang itu terus menjalar sepanjang masa, jika anda mengatakan “sebentar lagi akan ada tamu,” ketika kupu-kupu masuk ke dalam rumah, seketika itu juga anda mewarisi tradisi orang Jawa.
ADVERTISEMENT
Adalah John Haught (870-950), seorang filsuf sains yang memetakan hubungan antara agama dan sains. Baginya, relasi antara sains dan agama terjadi dalam empat bentuk, yakni relasi konflik, relasi kontras, relasi konfirmasi, dan relasi kontak. Relasi konflik menggambarkan ketidakserasian antara sains dan agama, hal ini terjadi pada abad pertengahan dan pencerahan. Adapun relasi kontras menunjukkan berdirinya sains dan agama secara mandiri, sesuai bagian dan jalurnya masing-masing.
Sedangkan relasi konfirmasi menjadikan agama sebagai landasan etis kepada sains (Islamisasi pengetahuan, Ismail al-Faruqi). Dan relasi terakhir adalah relasi kontak, relasi yang menandakan kesejajaran antara sains dan agama, artinya sains menopang agama, dan agama menopang sains (seperti konsep sosiologi agama Max Weber, dan konsep sosiologi Islam Murtadha Muthahhari).
ADVERTISEMENT
Tokoh selanjutnya berasal dari tanah air tercinta, seorang guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bernama Amin Abdullah, sebagai kelanjutan dari John Haught. Melalui gagasan integrasi-interkoneksi keilmuan, Ia mengajukan konsep hubungan antara agama dan ilmu (sains) dengan corak dialogis dan integratif. Tiga kunci untuk menggambambarkan hubungan itu tercermin melalui term semipermeable, intersubjective testability, dan creative imagination.
Semipermeable, menandakan hubungan antara agama dan ilmu saling menembus atau saling merembes sebagian, bukannya tersekat oleh dinding pembatas yang tidak memungkinkan untuk berkomunikasi satu sama lain. Artinya, masing-masing saling membuka diri untuk saling berkomunikasi dan menerima masukan dari disiplin di luar bidangnya. Hubungan ini bersifat klarifikatif, komunikatif, afirmatif, korektif, verifikatif dan transformatif.
Sedangkan Intersubjective testability, menandakan hubungan dan peran besar antara subjek dan objek kajian. Konsep hasil pengamatan bukanlah bebas nilai dari si subjek, melainkan dibangun dan dikonstruksi oleh subjek itu sendiri. Oleh karena itu, pemaknaan terhadap objek harusnya menggandeng berbagai macam komunitas keilmuan, tujuannya untuk menguji tingkat kebenaran atas penafsiran dan pemaknaan terhadap objek kajian yang ditemukan ole salah satu subjek (ilmuwan). Dan
ADVERTISEMENT
Creative imagination, menandakan adanya daya untuk berimajinasi diluar kebiasaan. Bagi sebagian ilmuwan, imajinasi seringkali menjadi pijakan untuk membuat sesuatu yang baru, menggabungkan berbagai konsep sebelumnya, baik terdapat keterkaitan di antara meraka maupun sama sekali tidak ada keterkaitannya sedikitpun. Istilah lain untuk menggambarkan term ini adalah konsep ijtihad para mujtahid.
Tentunya, masih terdapat berbagai konsep hubungan antara agama dan sains (ilmu) di luar sana, entah apa pun itu hasil opini seseorang belaka, penelitian akademis atau bahkan luapan mistis masyarakat kejawen, weton. Namun, kiranya dua tokoh terdahulu sudah memadai akan arus wacana yang sedang bergejolak, di zaman postmodernism, post-truth. Dinamika wacana inilah yang diistilahkan dengan “denyut nadi,” adapun “akademisi muslim” dalam tulisan ini diarahkan pada para kader se Banyumas Raya.
ADVERTISEMENT

Ambil Peran

Bagian akhir tulisan ini diarahkan untuk mendongkrak keterkaitan zaman postmodernism dengan tagline PC IMM Banyumas periode 2020/2021. Sebuah rekonsiliasi antara arus wacana yang sedang berkembang –khususnya bagian akhir berupa integrasi dan interkoneksi– dengan tiga poin tagline yang diangkat, intelektual berbudaya, intelektual organik dan intelektual profetik.
Bilamana wacana yang dibangun untuk memasifkan gerakan intelek dengan kajian rutin, menjernihkan keilmuan sesuai bidang studi masing-masing, dan memacu pada pemberdayaan manusia berdimensi transendental, humanisasi dan liberasi, maka langkah awal untuk mewujudkannya adalah dengan menanamkan metodologi keilmuan yang serasi bagi seluruh kader.
Seketika cara pandang mereka berada dalam satu tujuan, langkah berikutnya akan lebih mudah untuk mengorganisirnya, caranya dengan menebar benih-benih kebebasan mereka untuk menemukan korelasi antara intelektual berkeadaban –sesuai bidang studi– dengan berbagai temuan di level titik temu antara disiplin ilmu pribadi dengan disiplin ilmu lain.
ADVERTISEMENT
Terakhir, apa yang hendak diinginkan masing-masing kader maka dibiarkan saja apa adanya, entah temuannya itu bersifat semipermeable, intersubjective testability, maupun creative imagination. Semoga, melalui tulisan singkat ini dapat melahirkan, menemukan, atau bahkan menciptakan buah pikiran baru dari para kader se Banyumas Raya. Sangat berbahagia bilamana itu terwujud dalam bentuk karya, baik berupa buku, artikel, opini, esai, antologi, dan apa pun jenisnya, selamat mencoba. Terima kasih dan cukup sekian, salam hangat dari alumni IMM angkatan 2015.