Konten dari Pengguna

Ibu, Bukannya Aku Tidak Sayang Kamu. Tapi, Ibu Telah Membuang Rokokku.

22 Desember 2017 17:02 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hesti Widianingtyas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ibu, Bukannya Aku Tidak Sayang Kamu. Tapi, Ibu Telah Membuang Rokokku.
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Alih-alih melanggengkan stereotip manak macak masak, "Hari Ibu" sepatutnya diubah menjadi Hari Perempuan Indonesia. Sebab, menurut sejarahnya, "Hari Ibu" dimulai sejak Kongres Perempuan Indonesia yang diselenggarakan pada 22-25 Desember 1928.
ADVERTISEMENT
Dalam kongres tersebut, 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera, berkumpul di pendopo Dalem Jayadipuran, Yogyakarta, untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, terutama dalam bidang pendidikan dan pernikahan.
Akan tetapi, pada 1959, Soekarno melalui Dekrit Presiden No. 316 menetapkan 22 Desember sebagai "Hari Ibu." Tidak hanya itu, makna peringatannya pun berubah. Kini "Hari Ibu" diperingati untuk mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih kepada sosok perempuan yang telah mengandung, melahirkan, dan merawat anaknya.
Memang tidak ada yang salah dengan pengungkapan kasih sayang pada seorang ibu. Tapi, bukannya hal itu bisa dilakukan tiap saat?
Untuk saya, distorsi kata dan makna peringatan 22 Desember menjadi suatu keresahan tersendiri. Lebih-lebih, "Hari Ibu" bisa dikatakan suatu akibat dari penetrasi kultural-filosofis budaya Barat melalui ide Mother's Day-nya.
ADVERTISEMENT
Bukan berlagak anti Barat, namun berubahnya makna, dari perjuangan hak dan kesetaraan menjadi perayaan rahim dan vagina, menjadi sebuah kontemplasi tersendiri di tengah masifnya diskriminasi terhadap perempuan.