Pembentukan Identitas pada Novel "Akar" Karya Dee Lestari

Hesty Nuraini
Lulusan Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Negeri Surabaya, bekerja sebagai staff Pusat Bahasa UMSurabaya
Konten dari Pengguna
27 Februari 2023 16:09 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hesty Nuraini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dee Lestari mewakilkan sebuah upaya pembentukan identitas diri pada seorang tokoh bernama Bodhi dalam Novel "Akar". Menurut Dee, menggali identitas diri…pembentukan identitas pribadi , adalah hal yg sebenarnya mutlak dilakukan oleh manusia pada khususnya…., tanpa melihat atau menoleh kepada hal-hal dasar yg hanya membingungkan dan membuat perselisihan karena berebut benar. Kembali kepada hakekat manusia pada dasarnya layaknya daun yang jatuh tertiup angin. Artinya bahwa pada hakikatnya daun tersebut mempunyai asal-usul dan asalnya jelas bukan dari tiupan angin tersebut. Kesejatian hidup tak memerlukan perubahan, namun juga tak menampiknya. Dia rebah pada semua kesederhanaan yang ada di sekelilingmu. Maka, carilah, dan kamu akan mendapatinya. Ketuklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Mintalah, maka kau akan diberi. Seorang bayi yang di suatu pagi tergeletak di pintu Wihara. Dipungut, diasuh, dan dididik oleh seorang Pandita, Guru Liong. Merasa bahwa karma pada hidup masa lalunya sangat berat. 18 tahun dididik dengan ketat, termasuk penguasaan terhadap sebuah ilmu bela diri, Bodhi mengalami penyempurnaan bathin. Pemurnian spirit. Termasuk sejumlah pengalaman uniknya yang "merasa" menjadi ulat, tikus got. Karena kejadian tersebut Bodhi memutuskan untuk keluar dari Wihara tersebut dan hal itu sudah pernah dimimpikan oleh Guru Liong bahwa Bodhi akan pergi dari Wihara untuk menemukan kesejatian (hlm. 48). Dari sinilah perjalanan Bodhi untuk mencari kesejatian atau Identitas diri dimulai.
ADVERTISEMENT

Paspor Sebagai Salah Satu Identitas Diri

Dalam novel "Akar" dikisahkan bahawa Bodhi akan akan melakukan perjalanan ke penjuru Asia Tenggara sebagai upaya pembentukan identitas diri. yang kemudian Guru Liong menyebutkan perjalanan Bodhi adalah sebagai pencarian kesejatian atau bisa dikatan dengan pencarian identitas.
Bodhi meninggalkan Wihara dan Guru Liong untuk melakukan perjalanan ke penjuru Asia Tenggara, masalah pertama yang dihadapi Bodhi untuk mewujudkan perjalanan tersebut adalah paspor. Seperti yang kita tahu bahwa untuk membuat paspor perlulah beberapa data diri termasuk nama lengkap dan tanggal lahir. Bodhi sebagai seseorang yang tidak pernah tahu dan tidak pernah mempermasalahkan tanggal kelahirannya, pengurusan paspor menjadi hal yang sangat ribet. Pada akhirnya, Bodhi pun memiliki paspor dengan tanggal lahir “resmi,” yaitu 25 Desember 1978 (hlm. 54) setelah dipaksa menyebutkan tanggal lahir oleh si pembuat paspor, ompung Berlin. Karena pada awalnya Bodhi tidak mengetahui tanggal lahirnya, dia hanya mengetetahui tempat, bulan dan tahun lahirnya. Sehingga kemudian dengan serampangan ompung Berlin menuliskan tanggal lahir Bodhi 25 Desember 1978. Seperti diketahui, 25 Desember oleh umat Kristen diyakini sebagai hari kelahiran Yesus Kristus. Lagi-lagi di sini terjadi persilangan atau hibriditas budaya, dalam hal ini adalah Budha dan Kristen. Hibriditas Budha dan Kristen di sini dapat dibaca sebagai universalitas agama. Maksudnya, agama pada dasarnya mengajarkan universalitas bahwa ruh agama membawa perdamaian dan menjunjung tinggi kemanusiaan. Bukan sebaliknya, saling membenci dan saling menyalahkan. Dalam hal ini, agama tidak lagi dipahami sebagai keyakinan atas satu kebenaran tunggal yang dimiliki oleh masing-masing agama, tapi lebih ditekankan pada spiritualitas.
ADVERTISEMENT
Persilangan kembali terjadi ketika Bodhi “dipaksa” oleh Ompung Berlin, si pembuat paspor palsu, menyebutkan nama belakangnya, Bodhi bingung karena dia tidak mempunyai nama belakang, kemudian dia berfikir untuk menemukan nama belakangnya sambil memasukkan tangannya kedalam saku bajunya sambil memegang tasbih dan kemudian Bodhi memilih menggunakan nama Liong, ya Bodhi Liong (hlm. 54). Kali ini hibriditas yang terjadi ialah antara Indonesia (Jawa) dan Cina. Ompung Berlin sempat dibuatnya heran, “Ia pun menulis sambil menggerundel. Matamu sebesar mata kerbau, mukamu tak ada Cina-cinanya, tapi nama Liong yang kaupilih. Cari gara-gara ‘kali kawan ini!) (hlm. 54). Hal-hal tersebut tentu bukanlah tanpa makna. Ompung Berlin dapat dianggap sebagai seseorang yang meskipun hidup dari jasa memalsukan identitas, tetap berada di dalam kerangka berpikir yang sangat konvensional. Baginya, identitas tidak bisa dikonstruksi begitu saja karena tetap harus mendasarkan diri pada realitas dan kesesuaian; dalam hal ini, Bodhi yang memiliki penampilan fisik Jawa dianggapnya tidak sesuai meyandang nama Liong yang terkesan sangat Cina. Di sini tampak adanya hibriditas di dalam diri Bodhi. Hibriditas Bodhi bukan lagi hibriditas yang menempatkan Bodhi sebagai individu campuran beberapa ras secara biologis, tapi lebih ditekankan pada Bodhi sebagai individu yang memiliki konstruksi sedemikian rupa sehingga dirinya adalah sebuah penyatuan berbagai budaya.
ADVERTISEMENT

Efek Multikulturalisme pada Pembentukan Identitas

Dalam perjalanan pencarian identitas diri, Bodhi berkeliling Asia Tenggara. Bodhi bertemu dengan orang-orang dari beragam budaya. Pertemuan-pertemuan tersebut tidak mendatangkan efek saling menghancurkan di antara mereka, tapi justru memberikan semacam pencerahan. Banyak perbincangan yang berkaitan dengan mempertanyakan identitas, khususnya agama, yang terjadi di antara mereka. Hal tersebut meskipun ada yang disampaikan dengan nada bercanda, tetap memiliki kedalaman makna. Di dalam pertemuan antara Bodhi dengan Tristan, backpacker asal Australia, misalnya,
Tristan menyerahkan sebuah buku: Lonely Planet ‘Thailand.’ Travel Survival Kit.
Aku menerimanya setengah tak percaya. Seumur hidup belum pernah punya buku sebagus itu. Tebal, licin, warna-warni.
This is our ever-changing bible, Bodhi. Nothing dogmatic, ia tertawa. So, siap-siap melepaskannya kapan saja! (hlm. 59)
ADVERTISEMENT
Kata-kata Tristan memang tampak sebagai canda, tapi apabila dicermati lebih jauh dan lebih dalam, ada makna yang tersembunyi. Bagian tersebut memang tidak memperlihatkan adanya pembicaraan yang secara langsung berkaitan dengan agama, tetapi bila cermati, kutipan diatas terdapat kesinambungan antara travelling guide book dan Bible. Dimana Tristan menyebut travelling guide book sebagai ever-changing bible. Seperti yang kita tahu bahwa bible adalah kitab suci kristen. Hal tersebut menunjukkan bahwa agama layaknya sepatu yang bisa dikenakan atau ditanggalkan kapanpun pemiliknya menginginkannya. Pemikiran tersebut memang tampak ekstrem jika dipahami secara sempit, tetapi jika dipahami secara pemikiran yang lebih luas, hal tersebut mengandung pemikiran bahwa agama pada dasarnya adalah sesuatu yang sederhana. Maksutnya, agama bukanlah hal yang menakutkan yang membelenggu kebebasan penganutnya. Dengan begitu, agama menjadi kehilangan maknanya ketika penganutnya justru merasa menderita oleh keberagamaannya. Perbincangan senada juga terjadi antara Bodhi dengan salah satu pekerja di perkebunan ganja di Laos,
ADVERTISEMENT
Kamu ingin selamanya jadi pemetik in this FUCKING EDEN?! Be the God’s loyal gardener?!
Bhua-ha-ha-ha—!! kami tertawa keras sekali.
Enak aja! I’m the Adam! bantahku. Bukan tukang kebun!
Ah! Luca manut-manut dan menunjuk-nunjuk mukaku. Adam can never stay forever in Eden. Kamu tahu itu kan, you crazy Buddhist? Cepat atau lambat, Adam pasti terusir keluar!
We, humans, atau setidaknya mereka yang percaya legenda Adam dan Hawa harus bersyukur karena Hawa makan apel dan Adam tergoda ikutan makan, tukas Luca. Saya tidak pernah menganggap hawa melakukan hal yang buruk. Tidak sama sekali. Apel itu membuka pikiran mereka berdua, dan pikiran menjadi jalan mereka untuk kembali ke Firdaus. Life is all about how to contror our minds and how to make use of our limited knowledge (hlm. 156).
ADVERTISEMENT
Pada bagian ini tampak semakin kokoh pemahaman tentang keberagamaan yang telah didiskusikan pada bagian sebelumnya. Ketika mereka sedang bercanda, dengan spontan Bodhi menyebutkan bahwa dia adalah Adam, bukan tukang kebunnya. Dari situ, cerita Adam dan Hawa membawa pemahaman bahwa memeluk suatu agama seyognya tidak dijadikan suatu tindakan turun-temurun antargenerasi, tapi harus disertai dengan kesadaran dan pemahaman menyeluruh atas tindakan itu sendiri. Segala sesuatu yang pada awalnya bersifat dogmatik pun pada waktunya akan dipahami sebagai sesuatu yang senantiasa membuka ruang untuk dipertanyakan kembali karena manusia bukanlah makhluk yang serba terberi, melainkan makhluk yang dianugerahi akal pikiran.
Tidak berhenti sampai di situ, perjalanan Bodhi berkeliling Asia Tenggara juga mempertemukannya dengan Kell. Kell adalah manusia abadi. Sama seperti Bodhi, Kell sedang melakukan pencarian kesejatian. Bedanya, apabila Bodhi mencari kesejatian dalam rangka menemukan makna hidup, Kell mencari kesejatian dalam rangka membebaskan dirinya dari derita dunia sebagai manusia abadi. Kell yakin Bodhilah y
Pembentukan identitas.pexels.com
ang akan membebaskan dirinya. Hanya saja, untuk melakukan itu Bodhi harus terlebih dulu belajar menato karena dengan tato yang kelak dirajahkan Bodhi ke tubuh Kell itulah Kell memperoleh kebebasannya. Kell pun mengajari Bodhi menato hingga mencapai taraf yang dianggap Kell pantas untuk merajahkan tato ke-618 di tubuhnya. Salah satu pemakai jasa tato Bodhi adalah Star, perempuan pengembara berdarah Timur Tengah dan Eropa Timur. Di tubuh Star, Bodhi menatokan jalinan akar yang kemudian oleh Kell disebut sebagai Tree of Life. Dalam beberapa kebudayaan, Tree of Life secara umum adalah simbol pencerahan yang dialami manusia dari keadaan yang lebih rendah menuju pembebasan atas segala belenggu duniawi. Dengan begitu, tato yang dibuat Bodhi pun selain bermakna akar segala sesuatu, juga mengacu pada tahap “kesempurnaan” yang dicapai manusia. Dalam keyakinan Buddha, manusia tidak dapat mencapai kesempurnaan selama ia masih terikat oleh hal-hal duniawi yang mengakibatkan mereka senantiasa berada di dalam penderitaan atau samsara. Hal itulah yang pada dasarnya dialami Kell. Meskipun hidupnya serba enak tanpa harus menjadi budak kayak orang-orang lain, sepenuhnya dihidupi tunjangan tanpa perlu menggelandang di subway (hlm. 105), Kell merasa dirinya berada di dalam samsara. Kell pun pada akhirnya bisa menemukan kebebasan dari keabadiannya setelah Bodhi menatokan Omkara di tubuhnya.
ADVERTISEMENT